Dari Sebuah Perpisahan(10)

37 9 1
                                    


Dari sebuah perpisahan yang mengawali semuanya. Setiap dentingan waktu, yang menemani bekunya hari. Dari sebuah perpisahan dan membuat sebuah perpisahan yang menambah kuat perasaan.

"Assalamualaikum." Rahmat mengetuk pintu dari luar.

"Waalaikumsalam. Bentar kak, aku buka dulu." Aira melepas mukenanya dan menuju pintu.

"Maaf ya kakak pulang telat lagi." Rahmat duduk disofa navy-nya.

"Nggak papa. Kakak udah shalat?"

"Udah, tadi kakak mampir di masjid. Kamu sendiri gimana?"

"Udah kok kak. Tadi aku malah lagi tadarus."

"Aduh... Pinternya adek kakak ini.." Rahmat mengacak rambut Aira dengan gemas.

"Kakak mau mandi? Airnya Aira siapin dulu ya?"

"Ya."

Aira bangkit dan menuju dapur. Sedangkan Rahmat melamun, banyak praktek yang harus ia jalani minggu ini. Tugas skripsinya juga sudah hampir selesai disusun dan rencananya lima bulan lagi ia akan  mendapat gelar sarjana kedokteran. Tapi bukan itu yang membuatnya melamun, akan tetapi ia kembali mendapat beasiswa melanjutkan S3nya tapi di fakultas teknologi komunikasi. Ia bingung, haruskah ia mengambil itu?

"Kak, udah siap nih airnya." Aku mau tidur ya? Besok aku ada kuliah pagi." Aira menyembulkan kepalanya dari kamar Rahmat.

"Iya, dek." Rahmat pun masuk kamarnya dan Aira juga memasuki kamarnya.

Dalam hati ia tak enak dengan adiknya itu, karena selama ia tinggal dengannya, Aira lah yang mengurusi keperluannya.

Andai aku sudah beristri. Bisiknya dalam hati.

Bagaimana pun juga, Rahmat adalah seorang lelaki biasa. Angan itu sering terbesit dalam benaknya, namun sayangnya ia belum menemukan seseorang yang dapat mengisi lubang kosong dihatinya.

Disisi lain, seorang pemuda menurunkan kopernya dari pesawat dan berjalan menghampiri dua orang yang telah menunggunya. Wajah pemuda itu tampak berbinar. Dipeluklah dua orang itu dengan sangat erat.

"Yah, nda, kenapa kalian masih menjemputku? Kan aku udah bilang aku pulangnya malam."

"Bunda udah kangen tahu sama kamu! Makannya dia nggak bisa tidur pengen segera ketemu kamu." seorang lelaki dari mereka menggandengnya. Dan yang wanita mengambil tas kopernya.

***

"Ra, Ali pernah ngabarin kamu nggak sih?" Rahmat menelangkupkan garpu diatas sendok yang terlangkup lebih dulu.

"Nggak pernah tu kak."

"Hampir dua tahun, memang perasaan kamu masih sama?" Rahmat mengajak bercanda.

"Tetap nggak beda kak, Aira rasa malah semakin besar saja cinta Aira pada Ali." Jawab Aira yang membuat Rahmat tersenyum.

"Tapi kak, besok kalau Aira udah nikah kan pasti aku nggak mungkin lagi tinggal sama kakak." Lanjut Aira, kini wajahnya berubah masam.

"Kakak cepet nikah gih, biar ada yang ngurusin kakak sama kontrakan ini."

"Sabarlah dek, ini kakak lagi proses. Kalau kamu udah nikah, baru kakak bakal nikah." Jawab Rahmat.

"Jadi kakak udah punya calon?" Aira menatap serius kakaknya itu.

"Ih apa sih dek, rahasia lah. Pokoknya kamu tenang aja, abis kamu nikah langsung aku susul deh..."

Rahmat tidak berbohong, ia memang berencana untuk segara mencari istri. Ia tahu, Aira tidak akan tega meninggalkannya meskipun Aira sudah bersuami. Rahmat tidak ingin seperti itu.

Dari Sebuah PerpisahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang