Mungkin Malaikat(3)

53 12 0
                                    

Sepulang sekolah aku langsung ke rumah sakit dan sesuai instingku, Umi telah disana. Ia mengelus pundak Abi untuk memberi semangat.

"Assalamualaikum." Aku menghampiri mereka dengan wajah datar seperti biasanya.

Abi menatapku lembut seperti ingin meminta maaf. Saat Abi merentangkan tangan kirinya, aku mengerti. Kini aku berada dalam pelukan Abi, dan seketika air mata ini jatuh untuk sekian kalinya.

"Abi juga tidak tahu tentang hal ini, nak. Abi tidak tahu kenapa Rahmat merahasiakan ini pada kita." Kata Abi dengan suara seperti menahan tangis.

"Dokter tadi bilang agar kami harus segera mencarikan ginjal baru untuknya. Tapi kami masih belum menemukannya." Lanjutnya lalu mengajakku duduk dikursi tunggu dekat ruangan kak Rahmat.

"Abi, kalau saja dulu kakak tidak memberikan satu ginjalnya padaku, aku yakin dia takkan seperti ini." Gumamku saat melihat kak Rahmat dari jendela kaca ruang itu.

"Aira, semua adalah takdir. Toh meskipun kakak mu tidak memberikan ginjalnya padamu, kalau ini takdir pasti akan terjadi." Abi menepuk pundakku.

Tak lama setelah itu, seorang berjubah putih memanggil Abi. Ternyata ia Dokter Fauzan.

"Assalamualaikum." Sapanya ringan dengan menyalami Abi dan tersenyum pada kami.

"Waalaikumsalam." Jawab kami secara bersamaan.

Jangan tunjukkan keausahanmu pada orang lain karena sesungguhnya Allah akan memberi jalan untuk keluar dari kesusahan itu. Dan begitulah yang selalu diajarkan Abi pada kami. Karena kata Abi kita punya Allah yang akan terus membantu kita, mendengarkan setiap curahan hati kita dan menjawab segala pertanyaan.

"Tadi aku bertemu Dokter Rian, katanya kalian sedang ditimpa musibah ya? Aku turut berduka."

Abi tersenyum mendengar semua itu. Ya sebuah senyum terharu karena masih diperhatikan. Sedikit tentang Dokter Fauzan, ia adalah teman Abi waktu SMA. Tapi aku sedikit mengorek-orek tentang hal ini dan aku menemukan fakta bahwa Dokter Fauzan dulu saingan Abi untuk mendapatkan Umi.

"Terimakasih, Zan." Akhirnya Abi mengeluarkan suara.

"Apakah kondisi Rahmat sangat parah ya? Sampai-sampai temanku ini kehabisan kata."

Aku mengerti maksud Dokter Fauzan adalah untuk menghibur kami, tapi dia tidak tahu bahwa kami sangat terpuruk saat ini.

Azan maghrib berkumandang dari mushala didekat bangunan ini. Dokter Fauzan mengajak kami untuk jamaah di mushola itu. Ia senang sekali berbicara dan sepertinya ia pandai menghibur orang. Buktinya Abi sekarang mau tak mau harus tersenyum mendengar apa yang dikatakannya.

***

Fajar kembali terbit, semburat cahayanya menyisihkan bulan yang tengah dalam peraduannya.

Aku berjalan menyusuri setiap jalan setapak ditaman ini. Lampu taman kini telah dimatikan karena hari kian terang.

Akan tetapi, aku tak bisa melihat dengan jelas. Ya pantas saja itu terjadi, karena Ahad ini aku tidak memakai kacamata.

"Assalamualaikum, Humaira." Seorang lelaki menyapaku.

"Waalaikumsalam." Jawabku.

"Kamu kesini sendiri ya?" Tanyanya lagi.

Aku merasa jadi tidak enak. Bukan karena aku sendiri tapi, dia bukan mahramku. Seharusnya dia tahu itu kan?

Dari Sebuah PerpisahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang