Makan Malam (13)

44 1 29
                                    

Tak ada yang dinamakan suatu kebetulan dalam dunia ini. Karena segalanya adalah takdir yang telah Allah tetapkan. Begitu juga dengan pertemuan kau dan aku.

***

Masih terlalu sore, tapi Rahmat telah mengenakan stelan khasnya yaitu celana hitam dan kemeja navy membalut tubuh bagian atasnya. Sedangkan Aira, ia mengenakan gamis coklat dan jilbab serupa. Yah, seperti ini gaya busana mereka, dimana sang kakak lebih menyukai warna-warna langit, dan sang adik lebih menyukai warna-warna bumi.

"Kenapa kau tidak memakai gamis navy yang kakak belikan kemarin?"

"Uumm, ku pakai besok sore untuk acara khitbahanku, kakak."

"Astaghfirullah, iya ya. Kakak lupa. Kalau mulai besok adekku ini tidak tinggal dengan kakak lagi."

"Yaa Allah. Siapa yang bilang sih? Tentu saja Aira sama Ali bakal tinggal bareng kakak disini setelah nikah. Sebelum kakak menikah, tapi." Aira memukul lengan kakaknya.

Yah, mana mungkin tega dia. Rahmat yang notabenya laki-laki, dan belum memiliki wanita untuk dikhitbah, tinggal sendiri di rumah yang lumayan luas ini sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa mengurusnya sendiri? Memang Rahmat bukanlah sosok pria yang manja. Sebagai seorang dokter ia malah kelewat mandiri. Tapi itu saja tak mau dijadikan alasan Aira meninggalkan kakak tercintanya itu. Alasan terkuatnya adalah, Aira tidak mau Rahmat merasa sendiri.

Ia sudah lelah melihat kakaknya yang sejak SMP tidak tinggal serumah. Dan Rahmat pun baru tinggal tak sendiri semenjak dua tahun yang lalu ketika Aira masuk univnya. Kalau saja Aira tak masuk disana mungkin dia pasti akan sendiri terus.

"Kakak, tapi Aira kok rada gimana gitu."

"Maksudnya?"

"Iya.. Aira ngerasa aneh aja. Baru kali ini kakak di undang makan malam. Seperti apa sih, keluarga yang menjadi tempat kakak bekerja?"

"Gini ya dek. Kalau Papa nya ya orangnya ramah, bahkan lebih muda dari Abi. Kalau mamanya, kakak belum tahu. Terus, kalau anaknya-"

"Berapa tahun kak?" Aira memotong pembicaraan Rahmat.

"Siapa yang mengajarimu memotong pembicaraan orang lain, sayang?"

"Ah, maaf kak. Refleks."

"Ok, kakak maafkan. Umurnya baru 17." jawab Rahmat.

"Ukhti apa akhi?"

"Ukhti tapi." Rahmat berhenti bicara.

"Kids zaman now ya? Ok Aira paham kok kak. Dah, ah. Yuk berangkat." Aira menggandeng tangan Rahmat dan membawanya keluar rumah.

***

Raisa kini mengenakan pakaian biasanya yaitu, dress dengan lengan pendek dan rambut yang disanggul tinggi sehingga nampak leher indahnya.

"Papa, kenapa kak Rahmat belum datang sih?" gerutunya kesal karena tokoh utama malam ini belum datang.

"Sabar dong, sayang." seorang wanita yang tak kalah cantik datang dengan anggunnya mengenakan gamis merah hati dan jilbab yang panjang mendekati mereka berdua.

"Assalamualaikum." katanya lagi sambil mencium tangan Ridwan.

"Waalaikumussalam, istriku yang cantik sudah datang ternyata. Ayo sini cerita, bagaimana hari-hari mu tanpa suamimu di rumah ibu?" Ridwan mempersilahkan Haura, istrinya untuk duduk disebelahnya.

"Ish, kumat ya. Mama kan di rumah ibu kan, karena ibu sakit. Minggu lalu kamu juga pergi kan ke London sendiri."

"Hahahaha, iya istriku yang cantik. Terima kasih telah datang diacara makan malam ini."

"Ah, pada drama! Gimana kalau makan malamnya batal? Kak Rahmat aja belum datang!" Raisa yang merasa terkacangi kini angkat bicara.

"Kamu kok nggak sabaran banget sih, sayang? Udah, gini aja. Gimana kalau pertunangan kamu sama Rama dipercepat aja? Umm, seminggu lagi kan kamu pengumuman sama wisuda? Gimana malamnya aja langsung diadakan pertunangan?"

"Ih, mama nggak ada hubungannya sama makan malam tau..."

"Bukannya gitu sayang. Emang nggak ada hubungannya. Tapi mama khawatir sama kamu dan Rama. Kau tau kan, sayang. Setan itu selalu mengepungmu dari segala sisi. Bagaimana kalau kamu sama Rama khilaf dan melakukan sesuatu yang malah akan merugikan kalian?"

Raisa terdiam, raut wajahnya berubah.

"Kamu kenapa, sayang?" tanya Ridwan.

Raisa hanya menggeleng.

"Sayang, apa kamu belum siap melayani Rama sebagai suamimu? Tapi kamu sudah sama dia lebih dari 5 tahun lho sayang." Hawa jadi khawatir dengan putri semata wayangnya itu.

"Tuan, nyonya, nona. Pak Rahmat sudah datang dan menunggu di ruang tamu." seorang pembantu masuk didalam ruang keluarga itu dan kembali mencairkan suasana.

"Ok, bi. Sekarang siap-siapkan saja makan malam dimeja makan ya!" perintah Ridwan.

"Udah, ayo kita sambut tokoh utama kita malam hari ini." Ridwan tersenyum dan menggandeng mesra istrinya.

"Ya gitu kalau ada mama dirumah. Anaknya dilupain."

"Makanya cepet nikah sayang." Hawa mencubit pipi anaknya.

Hawa bukanlah wanita yang kurang akan agama. Tapi ia masih tak bisa memaksa putrinya untuk mengenakan hijab seperti dia saat ini. Raisa adalah anak yang nangis 2 hari tanpa berhenti dan tak mau makan ketika Hawa suruh dia berhijab. Dan karena kejadian itu, sampai saat ini Raisa belum mengenakan hijabnya.

***

"Waaaaahhhhh! Jadi dia yang bakal kakak jadikan istri?!" Raisa sudah berteriak histeris ketika ia melihat Rahmat duduk dengan wanita cantik.

"Ya ampun kakak.. Kakak pinter banget sih, cari istrinya? Wih.. Kulit kakak lembut banget sih? Pake apa? Ya ampun.. Putih banget juga..." tanpa basa-basi, Raisa menjabat tangan Aira.

"Kakak namanya siapa? Terus kakak mau nikahnya kapan?"

Aira tersenyum.
"Hehe.. Kamu lucu sekali sih? Aku ini adeknya kak Rahmat. Bukan calon istrinya.." Aira mengelus pipi Raisa.

"Hah? Jadi kak Rahmat masih belum punya cewek ya? Yah ,kirain gimana."

"Haha.. Namaku Humaira, kamu Raisa kan? Kakak udah cerita kok. Tenang saja."

"Akh, kak Aira ya?"

"Tidak, panggil saja Aira. Aku belum tua-tua banget kok. Untuk dipanggil kakak."

"Ahahahaha.. Ok Aira... Yang manis. Gimana kalau kita menjauh dari sini. Gimana kalau kita di taman?"

"Sayang, katanya tokoh utamanya nak Rahmat? Kenapa malah ganti?"

"Ih, mama.. Aku mau sama Aira dulu... Kita kan sama-sama cewek. Oh ya, Aira. Kita makan malam di taman aja ya? Ok pliss" Raisa kini bicara dengan Aira lagi.

"Iya, aku ngikut kamu deh."

Dan ya, begitu lah akhir makan malam hari ini, dimana sifat sanguinis dari kedua manusia dikeluarkan dan saling sapa dan bicara tanpa mempedulikan siapa yang seharusnya jadi tokoh utama.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 23, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dari Sebuah PerpisahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang