Dokter (12)

14 1 0
                                    

Rahmat POV

Setelah istirahat sehari penuh badanku kembali segar dan siap untuk melakukan aktivitas seperti biasanya, membantu Pak Burhan. Ya... Setidaknya seperti itu kegiatanku karena tidak ada jam di Universitas. Hari ini pak Burhan memintaku untuk datang ke Rumah Aditama. Ya, selama ini aku hanya membantunya di rumah sakit, tidak ditempat itu.

"Assalamualaikum" Kataku setelah memencet bel rumah yang sangat besar ini.

"Waalaikumussalam." jawab seorang wanita paruh baya yang sekarang membuka pintu.

"Eh, Pak Rahmat ya? Silahkan masuk sudah ditunggu Tuan dan Pak Burhan." wanita itu tersenyum dan menuntunku kesebuah ruangan yang tak kalah lebarnya dengan lapangan voli.

"Assalamualaikum." ucapku lagi.

"Waalaikumussalam." Jawab dua orang yang ku yakini adalah Pak Burhan dan Pak Ridwan itu.

"Ah, ini lho Rid, tangan kanan saya."
Seperti biasa sikap Pak Burhan yang ceria dan cenderung blak-blakan lah yang pertama kali menyambutku.

Pak Ridwan tersenyum menanggapiku yang sedikit menunduk untuk menghormatinya.

"Tidak perlu seformal itu, nak. Silahkan duduk, kaki mu tak akan kuat kalau berdiri terus." candanya. Dan aku hanya tersenyum lagi lalu duduk.

"Ahahahaha." tiba-tiba Pak Ridwan tertawa, aku tak tahu kenapa.

"Mas, benar apa yang kau katakan. Dia kalau malu seperti perempuan. Ahahahaha."

"Sudah ku bilang. Kamu sih nggak percaya."

"Iya iya.. Sekarang percaya. Tapi nak Rahmat, kenapa kamu tidak bicara?" Pak Ridwan kini menatapku serius.

"Oh, maaf. Sebelumnya, bapak mungkin telah menge-"

"Stop!" Pak Ridwan memotong perkenalanku. "Jangan terlalu formal, nak. Panggil Papa aja ya?" perintahnya lagi.

"Baiklah. Sa-"

"Papaaaaaaaaaa......." kini suara seorang gadis lah yang memotong pembicaraan ku.

"Eh, sebentar ya Mas, nak Rahmat. Iya sayang?" Pak Ridwan menengok kebelakang. Refleks, aku pun juga mengikuti arah pandangannya.

Astaghfirullahal adzim! Pekikku dalam hati. Bagaimana tidak? Apa yang baru saja ku lihat? Entahlah, aku tak mau mengingat-ingat.

"Papa.. Aku mau shopping bareng temen-temen aku, terus nonton bioskop sama Rama, boleh kan?"
Astaghfirullahal adzim.. Nada gadis ini, entah kenapa membuatku merasa nggak enak.

"Boleh. Tapi pulangnya jam berapa? Jangan malem-malem ya sayang?"

"Iya. Papa.. Eh, bentar deh." gadis itu berhenti bicara.

Entah kenapa aku merasa dia malah mendekat kearahku. Dan entah kenapa aku malah jadi deg-degan.

"Kak" panggilnya dan refleks lagi, aku menatapnya.

"Akhhhh.. Ternyata bener! Kak Rahmat kan? Kakak , kak Rahmat kan? Ya ampun kak, dunia memang sempit ya? Nggak nyangka bisa bertemu kakak dirumahku!" gadis itu tampak gembira dan duduk disamping Pak Ridwan.

"Nggak jadi. Aku batalin rencana shoppingnya." aku tidak tau apa yang sedang ia lakukan. Ya, aku menunduk. Naif bukan? Tapi ini hijabnya laki-laki.

"Dia itu lho,pa.. Yang Rara ceritain dulu.. Yang udah bantu Rara supaya Rara nggak telat sampai disekolah.."
Ya Allah, aku benar-benar nggak bisa biasa dengan nada bicaranya.

"Oh, yang kamu maksud penyelamat itu ya?" Pak Ridwan menanggapi putrinya.

Pak Burhan yang kenal aku pun berdeham.

"Heem, mungkin sebaiknya kamu ganti dulu, Ra." perintah Pak Burhan.

"Kenapa?"
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.

"Ya ampun! Rara lupa kalau kak Rahmat beda!" gadis itu pun berlari.

Sambil mengingat-ingat. Oh, jadi dia gadis yang dulu hampir ku tabrak itu ya.

"Oh ya, nak Rahmat. Raisa adalah anakku satu-satunya. Jadi maklumlah, kalau sikapnya sedikit manja."

"Iya. Tidak apa-apa kok, pa."

"Ah! Gitu dong. Panggil papa aja! Eh, tapi umur papa ini masih muda lho.. Baru 38 tahun!"

"Hah?"

"Iya, emang nggak kelihatan apa? Dan Mas Ridwan ini dulu adek kelasnya ayah aku. Jadi terlihat dekat kan?"

"Heem, pantas saja. Saya malah sempat berfikir kalau pak Burhan adalah ayah Papa."

"Hey, nak.. Aku memang sudah tua. Tapi jiwaku masih muda."

"Iya iya, yang bentar lagi bakal gendong cucu ke tiga." Pak Ridwan tampak sedikit murung.

"Ahahahaha. Makanya nikahkan saja putrimu itu sekarang!"

"Bentar lagi, kalau lulus SMA bakal langsung kunikahkan kok!" balas Pak Ridwan tak mau kalah.

"Eh, tentang nikah. Nak Rahmat sudah punya calon belum? Abis kata mas Burhan kamu belum nikah ya? Karena apa?"

"Untuk sekarang saya belum punya, mungkin karena belum waktunya saya mendapatkan jodoh."

"Ah, begitu ya. Jadi, kriteria seperti apa yang nak Rahmat mau?"

"Kalau saya sendiri tidak mempunyai kriteria yang harus dicapai. Karena saya yakin siapapun jodoh saya adalah yang terbaik bagi Allah dan juga saya."

"Wah.. Lelaki idaman... Siap coba yang nggak mau sama kakak, kalau omongan kakak aja manis banget..."
Yaa, muqalibal qulub, tsabit qalbi.

"Kakak umurnya berapa sih?"

"23"

"Akh?! 23?! Yaki belum mau nikah kak? 23 itu udah tua lho.. Hehe.. Papa aja punya aku di usianya 21, iya kan papa?"

"Iya sayang."

"Eh, bentar deh. Kakak itu anaknya Kakek, apa cucunya? Perasaan anaknya kakek udah pada nika semua deh, cucu-cucunya juga masih kecil-kecil. Terus kakak kesini mau ngapain?" Raisa diam lagi.

"Jangan-jangan, kakak mau nglamar Raisa ya? Kan Raisa udah pernah bilang ke kakak kan? Raisa udah punya dan bentar lagi mau tunangan.." celotehnya nggak jelas aku hanya diam melongo. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan.

"Huft. Hahahaha!" seketika tawa pecah antara Pak Burhan dan Pak Ridwan.

"Aduh, cucuku yang manis. Sayangnya nak Rahmat ini tidak ingin melamarmu. Ia disini akan menggantikan kakek yang sudah tua ini sebagai dokter pribadi keluarga ini." jelas pak Burhan.

"Oh, jadi gitu." Raisa menghela nafas pendek.

"Dokter?!" pekiknya tiba-tiba.

"Iya sayang." jawab pak Ridwan.

"Ok, kalau begitu. Selamat datang dikeluarga Aditama kak Rahmat... Untuk perayaannya Raisa minta kak Rahmat datang diacara makan malam nanti sore. Fiks pokoknya nggak ada penolakan."

***

Assalamualaikum, bagaimana part ini? Gaje? Tentu saja. Hehe.. Tapi makasih ya untuk readers ku. Semoga selalu dalam ke istiqamahan terhadap Allah swt.

Dari Sebuah PerpisahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang