Janjiku(2)

64 14 4
                                    


Abi mondar-mandir didepan ruang ICU dengan wajah pucatnya. Beliau terlihat sangat khawatir. Ibu memeluk Farisa yang sedang menangis. Sedangkan aku, aku hanya berdiri mematung menahan tangis. Baru kali ini aku melihat kakakku dalam keadaan seperti ini.

Ruangan itu begitu pucat, ditambah lagi dengan tirai biru bening membagi ruangan menjadi dua dan salah satunya adalah tempat kakakku berbaring.

Ada apa ini? Mengapa seperti ini? Ada apa dengan kakak? Hei kak, jawab aku, kak?

Seorang berjubah putih keluar dari ruangan pucat itu. Ia meminta Abi ikut keruangannya. Aku merasa curiga, ada apa? Kenapa tidak langsung bicara didepan kami? Apa sebegitu rahasianya itu? Ah tidak, paling kakak cuma telat makan.

Abi menghampiri kami dengan wajah sedih. Beliau tampak sangat terpukul, biayanya terlalu besarkah? Tidak, tidak mungkin. Abi bukan orang yang seperti itu.

Setelah sekian lama dalam keheningan, akhirnya dokter itu mempersilahkan kami masuk kedalam ruangan yang tengah didiami Kak Rahmat. Aku lega saat melihat kakak tersenyum padaku. Ia menggerakkan telunjuknya, berisyarat agar aku mendekat. Aku pun mendekat padanya.

"Tenang saja, kakak tidak apa-apa kok." Bisiknya padaku.

Entah mengapa, air mata ini sulit sekali untuk ditahan agar tak menetes.

"Kakak, kumohon jangan seperti ini. Aku tak kuat, aku tak bisa melihat kakak seperti ini." Aku berkata pelan dalam tangisku yang pecah.

"Kau ini kenapa, kakak cuma kelelahan saja kok." Kak Rahmat memegang kepalaku.

"Aira, ikut Abi sebentar ya?"

Aku mengusap air mataku dan berjalan mengikuti Abi.

"Aira besok kan sekolah, jadi Aira, Isa sama Umi, pulang dulu saja. Biar Abi yang menjaga Rahmat." Abi memegang pundakku.

"Hem, iya Bi. Aira tunggu Umi dan Isa di parkiran ya? Assalamualaikum Abi." Kataku sambil mencium punggung tangan Abi.

"Waalaikumsalam." Jawabnya.

***

Aku menatap kamar kosong diruangan Kak Rahmat. Memang ruangan ini selalu seperti itu, Kak Rahmat pulang setiap Sabtu, Minggu dan waktu libur lainnya. Kakak juga pernah satu bulan pulang sekali.

Kamar kakak memang lebih kecil dari kamarku. Furniturnya terbatas hanya ada meja belajar dan satu lemari. Ranjang kakak juga kecil, ya disesuaikan dengan ruangannya.

Aku membuka laci meja kakak, ternyata kosong. Akupun melihat tas kakak yang masih tergeletak dilantai. Ransel hitam itu pun kubukan dan satu persatu ku keluarkan pakaian kakakku yang mungkin harus segera dicuci. Sampai pada pakaian terakhir, aku melihat amplop putih yang sebelumnya telah dibuka. Ah, mungkin ini adalah surat rekomendasi ke Madinah. Pikirku, karena Sabtu kemarin kakak bilang kalau ia mendapat rekomendasi dari sekolahnya untuk melanjutkan ke Madinah. Tapi Kak Rahmat kan menolaknya, jadi kenapa masih ia bawa? Aku penasaran dan membuka amplop itu.

Deg!!

"Cuci darah?" Aku memekik dalam diam.

Sepintas teringat 3 tahun yang lalu, saat aku baru masuk SMP. Waktu itu, aku terpaksa dirawat di rumah sakit karena kedua ginjalku tak dapat berfungsi lagi. Tapi kakak ku yang baik hati itu, merelakan satu ginjalnya untukku. Tapi aku tak tahu bila akhirnya akan seperti ini. Kenapa bisa ini terjadi? Cuci darah, sejak kapan kakak melakukannya? Kenapa?

Dari Sebuah PerpisahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang