🎼Perasaan yang aneh

226 66 43
                                    

Aku dan orangtuaku sudah menetap di Seoul sekitar seminggu yang lalu. Kediaman kami adalah salah satu yang terbesar di Seoul. Tak bisa dipungkiri bila aku terlahir sebagai anak orang kaya.

Di Indonesia pun, perusahaan milik keluargaku berkembang pesat. Keuangan yang dihasilkan benar-benar memuaskan.

Aku sekarang sedang menghabiskan senja sambil duduk-duduk dikursi dapur, ditemani PR biologi dan Bi Inyem, pelayan kami. Dia turut diajak pindah dari Jakarta kesini.

Pekerjaan menuntut orangtuaku untuk selalu berada dikantor, dan mereka menggaji Bi Inyem untuk memasak dan membersihkan rumah. Tetapi aku yakin tugas utamanya adalah mengawasiku, layaknya orangtua.

"Bagaimana di sekolah, non?" tanya Bi Inyem dengan logat jawa yang khas. Dia berdiri didepan wastafel, menggosok pinggan kaserol yang menghitam akibat lasagna yang gosong.

"Aku punya partner yang baru."

"Ini berita bagus, atau buruk?"

"Partner yang aku mau adalah Sone, bukan dia."

"Yaah," Bi Inyem semakin keras menggosok sehingga lemak di lengan atasnya bergoyang-goyang."Artinya kabar buruk."

Aku menarik napas tanda setuju.
"Ceritakan kepada Bibi tentang partner barumu. Kali ini cewek seperti apa dia?"

"Cowok. Tinggi, mata hitam, menjengkelkan."

Dan sangat misterius. Mata Sehun seperti bola hitam. Mengambil segalanya dan tidak memberikan apapun. Bukannya aku kepo tentang dia. Karena aku tak suka yang tampak dari luar, rasanya aku tak ingin mengintip yang didalam.

Hanya saja, ini tidak sepenuhnya benar. Aku sangat suka yang terlihat dari luar. Otot-otot di tangannya yang panjang dan ramping, bahu yang lebar tetapi tidak merayu, dan senyuman yang separuh jenaka separuh merayu. Dia sempurna, seperti oppa yang selalu ku tonton di drama.

Jam delapan waktu kerja Bi Inyem selesai dan dia izin beristirahat di kamarnya. Dan tinggal aku sendirian didapur.

Aku tidak lapar. Bahkan sama sekali tidak kesepian. Tetapi aku merasa agak cemas dengan tugas biologiku.

Aku sudah memberitahu Sehun bahwa aku tak akan menelepon. Dan enam jam yang lalu aku benar-benar bermaksud begitu. Tetapi sekarang yang terpikir adalah bahwa aku tidak mau mendapat nilai jelek. Biologi itu gampang-gampang susah, tau.

Aku segera mengambil ponsel disaku bajuku. Kutatap angka-angka yang masih terlihat ditanganku. Sambil berharap cemas, aku menekan nomornya.

Pada dering ketiga, Sehun menjawab, "Ada apa?"

Aku berkata terus terang,"Aku ingin bertanya apakah kita bisa bertemu malam ini. Aku tahu kau tadi mengatakan sibuk, tapi-"

"Clary." Sehun menyebut namaku sebagai awal sebuah lelucon, "Omo, kupikir kau tak akan menelepon. Selamanya."

Aku benci karena harus menelan ludah sendiri. Aku benci karena Sehun mengungkitnya. Aku benci Mr.Lay dan tugas yang membuat gila ini. Aku membuka mulut berharap memperoleh jawaban cerdas, "Bagaimana? Bisa bertemu atau tidak?"

Sweet Lies ¦ Oh Sehun (Slow Update) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang