“Memang tidak, tapi membuat wajahmu memerah. ”
Aku bergeser ke samping meja, berusaha terlihat tidak terkesan, padahal itu tidak benar. Aku menyilangkan kaki dan menggunakan lututku sebagai meja. “Kau bekerja?”
“Ya, ini toko komik milik paman ku. Hitung-hitug membantuku melanjutkan sekolah. ”
Aku beranjak dari pinggir meja dan berdiri di hadapannya. Sebenarnya aku heran dengan tugas yang diberikan Mr.Lay ini, beliau meminta kami semua untuk mewawancarai teman sebangku sendiri.
Melakukan penelitian, apakah teman kami memiliki gangguan jiwa atau tidak. Benar-benar materi yang berbeda 180° dengan materi di Indonesia.
“Sone bilang kau anak senior. Berapakali kau gagal dalam mata pelajaran kelas sepuluh? Satu kali? Dua kali?” tanyaku pas teringat ucapan Sone sepulang sekolah kemarin.
“Do Bok Son itu bukan juru bicaraku.”
“Kau ingin menyangkal kalau kau gagal?”
“Sudah kukatakan, aku tidak bersekolah setahun kemarin.” matanya mengejekku. Aku menjadi semakin ketus.
Padahal dia tadi tidak pernah bilang begitu.
“Kau pembolos?”
Sehun meletakkan tongkat kayunya diatas meja dan menggerakkan telunjuknya sebagai isyarat agar aku mendekat. “Mau dengar rahasia?” katanya dengan nada misterius.
“Aku belum pernah sekolah sebelum ini. Satu lagi? Ternyata sekolah tidak sebegitu membosankan seperti yang kusangka.”
Dia berbohong. Semua orang bersekolah. Ada undang-undangnya. Dia berbohong untuk membuatku marah.
Sepertinya dia memang memiliki gangguan jiwa. Aku dapat pasien yang sempurna.
“Kau pikir aku bohong,” kata Sehun dengan senyum lebar.
“Kau tak bersekolah sebelum ini? Sama sekali? Kalau itu benar, apa yang membuatmu memutuskan untuk bersekolah tahun ini?”
“Kamu, Clary.”
Jantungku berdegup kencang seperti orang ketakutan. “Itu bukan jawaban.”
Tentunya Sehun melangkah mendekat, karena tiba-tiba tubuh kami hanya dipisahkan oleh selapis udara tipis.
“Matamu, Clary. Mata yang dingin, kelabu, dan sulit sekali ditolak.”
Dia menelengkan kepalanya kesamping, seolah ingin mempelajari diriku dari sudut yang baru. “Dan kau itu orang Indonesia.”
Bukan karena terkejut dengan komentarnya, melainkan sebagian dari diriku menolak terhadap ucapannya itu, aku mundur. Dia memang gila.
“Selesai. Aku pergi dari sini.”
Ada keinginan kuat untuk berbicara lebih banyak lagi dengannya. Namun, mengapa dia senang mengolok-olok aku?!
“Sepertinya kau tahu banyak tentang aku,” kataku basa-basi terbaik tahun ini.“Lebih dari seharusnya. Kau tampaknya tahu persis apa yang harus kau katakan untuk membuatku tidak nyaman.”
“Kau memudahkan aku bersikap seperti ini.”
Percikan api kemarahan menjalar dalam diriku. “Kau mengaku bahwa kau melakukan ini dengan sengaja?”
“Melakukan apa?”
“Mengolok aku.”
“Katakan 'mengolok' lagi. Bibirmu tampak seksi saat kau mengucapkannya.”
Sinting.
“Aku sudah selesai. Teruskan saja pekerjaanmu. Dan aku tak suka duduk disampingmu,” kataku.“Aku tak suka menjadi partnermu. Aku tak suka senyummu yang sombong.”
Aku bertanya-tanya, apakah aku sedang berbohong. Kalau ya, aku ingin menendang diriku sendiri.“Aku tak suka kamu.”
“Aku senang Mr.Lay menyatukan kita.” katanya dengan smirk kearahku.
Dia gila, benar-benar membuatku gila.
“Aku akan berusaha agar Mr.Lay mengubah keputusannya,” balasku.
Sehun berpikir ucapanku sangat lucu sampai-sampai giginya kelihatan saat dia tersenyum. Dia menjulurkan tangannya kearahku, dan sebelum aku sempat menghindar, dia menarik sesuatu dari rambutku.
“Busa sabun cuci piring,” katanya, lalu melemparkannya ke lantai.
Saat dia menjulurkan tangan tadi, aku melihat tanda dipergelangan tangan sebelah dalam. Itu goresan tanda lahir, bentuknya seperti tetesan cat berwarna merah.
“Posisi yang kurang menguntungkan untuk sebuah tanda lahir.” kataku.
Dengan santai tapi tanpa disembunyikan, Sehun menarik lengan bajunya hingga menutupi pergelangan tangannya.
“Kau lebih suka kalau dibagian tubuh yang lebih pribadi?”
What the?
“Aku tak suka dibagian manapun.” aku tak yakin dengan nada suaraku sehingga aku mencoba lagi. “Aku tak peduli apakah kau punya tanda lahir atau tidak.”
Dan aku mencoba sekali lagi.“Aku tak peduli dengan tanda lahirmu, titik.”
“Ada pertanyaan lagi?” tanya Sehun. “Komentar?”
“Tidak.”
“Sampai ketemu di kelas besok.”
Aku ingin mengatakan kalau dia tak akan bertemu denganku lagi. Tapi aku tak mau menelan ludahku sendiri.
📝📝📝
Tbc.
Lanjut atau unpub? Masih ga pede ama bahasa yang begini :')Votement ya ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Lies ¦ Oh Sehun (Slow Update)
Fanfiction"Takut?"-sehun "Tidak." -Clary "Bohong." -Sehun "Aku tidak takut denganmu."-Clary "Tidak?"-Sehun "Mungkin aku hanya takut akan....akan-" -Clary "menyukaiku?"-Sehun Siapin hati biar kalian ga baper hehe. ©Dewinazhh, 16 june, 2018.