Pada jam tujuh, langit diselimuti warna biru pekat, dan aku menutup resleting jaketku untuk mendapatkan kehangatan. Sone dan aku berjalan dari gedung bioskop menuju lapangan parkir. Kami baru saja menonton film.
“Itu tadi,” kata Sone, “adalah film paling menyeramkan yang pernah kulihat. Janji, kita gak akan menonton apapun yang mendekati horor lagi.”
Aku sih setuju saja. Apalagi aku merasa bahwa seseorang akhir-akhir ini terus mengintaiku disekolah. Haha benar, itu Sehun.
“Oke!” aku praktis berteriak. “Kemana kita selanjutnya?”
“Oh, ne. Jadi ke perpustakaan?” Sone membuka pintu mobil. “Kau akhir-akhir ini gampang marah, kau tahu? Bahkan lusa lalu kau memarahiku yang menunggumu lama di loker.”
Aku masuk ke kursi penumpang. “Salahkan filmnya.”
“Aigo, maksudku bukan cuma malam ini, aku merasa,” kata Sone dengan lekuk bibirnya yang nakal, “Ga seperti biasanya kau menjadi uring-uringan selama setengah jam terakhir saat pelajaran biologi lusa lalu.”“Yang ini juga gampang. Salahkan Sehun.”
Mata Sone tertuju ke kaca spion. Dia membetulkan posisinya agar bisa melihat giginya dengan baik. Sone menjilatnya, lalu membuat senyum buatan. “Harus kuakui, sisi gelapnya membuatku berminat.”
Aku tak punya keinginan untuk mengakuinya, tapi Sone tidak sendirian. Aku merasa terhanyut oleh Sehun dengan cara yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Seolah ada besi magnet diantara kami. Berada di dekatnya membuatku merasa tertarik ke sudut bahaya. Rasanya dia bisa menarikku ke sudut itu kapan saja.
“Ucapanmu membuatku ingin.... ” aku berhenti, berusaha memikirkan apa persisnya yang ingin kulakukan akibat ketertarikan kami pada Sehun. Itu sesuatu yang tidak menyenangkan.
“Katakan kepadaku kalau menurutmu dia tidak tampan,” kata Sone, “dan aku janji ga bakal menyebut namanya lagi dalam pembicaraan kita.”
Aku mengulurkan tangan untuk menghidupkan radio. Di antara banyak hal, pasti ada sesuatu yang lebih baik untuk dilakukan daripada merusak malam ini dengan mengundang Sehun.
Meskipun diam-diam aku tertarik dengannya. Duduk di sampingnya selama enam jam setiap hari, lima hari seminggu, sudah lebih dari yang bisa aku tahan. Aku tak akan melepaskan malam-malamku juga.
“Well?” desak Sone.
“Dia mungkin tampan. Tapi aku orang terakhir yang tahu. Aku hakim yang ga adil dalam kasus ini, maaf.”
“Maksudmu?”
“Aku ga memahami kepribadiannya. Ketampanan ga bisa menutup kepribadian.”
“Bukan tampan. Dia... Berbahaya. Seksi.”
Aku memutar mata. Sone benar-benar terobsesi dengan roti sobek.
Sone menekan klakson dan menginjak rem begitu sebuah mobil menyalip di depannya. “Apa? Kau ga sependapat denganku, atau cowok yang punya roti sobek bukan tipemu?”
“Tipeku yang seperti Chanyeol oppa,” kataku. “Aku tak serendah itu menyukai setiap cowok yang punya roti sobek.”
Sone tertawa. “Say, kau lebih rendah, kau itu kaku. Mana mungkin cowok seperti Chanyeol bisa suka denganmu.”
“Itu ga benar.” kata-kata itu keluar secara otomatis. Begitu terucap, aku baru meragukan keakuratan ucapanku sendiri. Aku belum pernah benar-benar naksir dengan seseorang. Ada yang aneh denganku. “Masalahnya bukan itu, tetapi....cinta. Aku belum pernah menemukannya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Lies ¦ Oh Sehun (Slow Update)
أدب الهواة"Takut?"-sehun "Tidak." -Clary "Bohong." -Sehun "Aku tidak takut denganmu."-Clary "Tidak?"-Sehun "Mungkin aku hanya takut akan....akan-" -Clary "menyukaiku?"-Sehun Siapin hati biar kalian ga baper hehe. ©Dewinazhh, 16 june, 2018.