Pertemuan dan Awal dari Sesuatu

46 5 1
                                    

Sebuah pulau yang di kenal dengan nama Samatrah menyimpan banyak sumber daya alam di dalam perut buminya dan merupakan lahan yang subur, masyarakat yang hidup di pulau ini sama sekali tidak mengalami kesulitan dalam kehidupan, hasil panen melimpah serta emas yang banyak di sediakan bumi dari dalam perutnya, namun perampasan daerah dari satu suku dengan suku lainnya menjadi sebuah momok bagi masyarakatnya.

Hanya suku yang bisa menaklukan suku yang lainlah yang mampu bertahan, perang antar suku dan perebutan wilayah tidak pernah berhenti, suku yang kalah akan kembali menyerang suku yang menaklukannya ketika generasi mereka kembali dewasa dan cakap untuk berperang, hal ini pula yang membuat kebiasaan para penakluk suku menghabisi seluruh suku atau pembantain massal terjadi di setiap peperangan, hingga akhirnya hanya ada satu suku yang berkuasa namun sangat kejam dan semena mena memperlakukan suku suku kecil yang takluk di bawah kepemimpinannya.

Suku Heba, adalah suku yang berhasil mendominasi di Samatrah, suku suku yang telah ditaklukkan menyerah dan berjanji tidak akan melakukan perlawanan dengan syarat generasi mereka di biarkan hidup, namun populasi suku suku yang di taklukan di atur oleh Suku Heba sebagai sang penakluk.

Wan Heba, sebagai kepala suku memerintahkan bawahannya, untuk mengatur sedemikian rupa agar suku suku yang di taklukannya bisa di kontrol populasinya dan suku suku taklukannya harus di dominasi kaum wanita dan orang tua.

Apa yang dilakukan Wan Heba adalah bentuk penjajahan yang sungguh sangat menyiksa bagi suku suku yang berhasil di taklukannya, dari 100 suku yang di kenal dunia luar hanya tersisa 4 suku dan 1 suku dominan Heba di Samatrah, perkara keyakinan termasuk yang diawasi oleh Wan Heba, kepercayaan selain yang di percaya oleh suku Heba tidak diperbolehkan di anut oleh masyarakat Samatrah.

Suku Heba, penguasa dan penakluk Samatrah, Suku Nasakti, Aman, Angin, dan Sibakti, menjadi penghuni Samatrah, setiap suku yang telah di taklukan, di biarkan menempati kampung mereka masing masing namun dengan pengawasan ketat, suku Heba sebagai suku terbesar tidak di benarkan menikah dengan suku suku taklukan, hal ini dilakukan Wan Heba untuk menjaga agar tidak terjadi pemberontakan.

Pernikahan setiap suku taklukan harus di ketahui oleh pemerintahan di setiap kampung yang di jabat oleh Suku Heba, jika ada pernikahan yang tidak di laporkan maka pasangan pengantin bisa dibunuh, jika ada petinggi suku Heba menyukai wanita suku yang ditaklukan maka keluarganya harus merelakannya, dan si wanita hanya dijadikan pemuas nafsu belaka, tidak jarang wanita dari suku yang di taklukan mati dan di buang begitu saja tanpa ada rasa kemanusiaan.

Penaklukan Samatrah oleh Suku Heba dilakukan selama puluhan tahun, dari 100 suku yang pernah ada hingga menyusut menjadi 5 suku, namun tidak semua suku suku yang telah hilang atau di taklukan habis, sebagian dari suku suku yang telah di taklukan dan tidak memiliki kampung di Samatrah mengungsi ke pulau seberang yang bernama Malaka.

Di Malaka anggota suku yang tersisa membentuk kesatuan dan melebur dengan warga lokal penghuni Malaka, beberap orang tua selalu menceritakan mengenai kampung halaman mereka kepada anak anaknya, namun para orang tua tidak pernah menyarankan anak anaknya untuk kembali menetap di Samatrah, mayoritas keluarga yang berasal dari Samatrah menyembunyikan asal usul mereka kepada keturunannya agar keturunannya tidak mendapat masalah ketika berkunjung atau berdagang ke Samatrah.

Malaka dan Samatrah memiliki penduduk yang mempunyai ciri fisik dan bahasa yang sama, hanya saja Malaka lebih maju dikarenakan Islam telah menyebar dan menjadi agama resmi Kesultanan Malaka, sehingga rakyat mayoritas memeluk agama Islam, bagi orang Malaka, Samatrah adalah wilayah kaya dan makmur yang di pimpin oleh penguasa yang kejam, beberapa kali Kesultanan Malaka mencoba menginvansi Samatrah namun gagal, kekuatan militer Suku Heba tergolong besar, tidak hanya di darat suku Heba juga memiliki armada laut yang tangguh.

Ekspedisi penaklukan Samatrah beberapa kali di lakukan oleh Kesultanan Malaka namun gagal, suku Heba sebagai penguasa Samatrah kerap mendapat bantuan dari sekutunya Kerajàan Ingland dan Portnoth, dua kerajaan yang terletak di Uropa menjalin hubungan dagang dengan Suku Heba.

Kekejaman demi kekejaman menghiasi kehidupan suku suku kecil yang di taklukan oleh suku Heba, kehidupan masyarakat Samatrah secara ekonomi tidaklah bisa dikatakan baik, masyarakat yang berasal dari suku kecil atau sikalah dalam penuturan suku Heba, tidak bisa memiliki harta yang melimpah.

Apa yang dimiliki oleh suku suku kecil hanya sebatas untuk memenuhi kehidupan sehari hari, jika ada yang berlebih maka akan segera di ambil oleh penguasa daerah dan di laporkan kepada Wan Heba, suku suku kecil benar benar di bawah tekanan.

Djohanan Saman seorang pedagang dari Malaka pergi ke Samatrah untuk membeli hasil bumi Samatrah berupa kapur barus, emas, dan rempah rempah, serta barang barang yang dibutuhkan di Malaka, perjalanan laut hanya memerlukan 1 hari 1 malam dari Malaka ke Ibukota Samatrah Kota Labuan Heba, ini adalah perjalanan kesekian kalinya mengunjungi Samatrah.

Dalam benaknya ia seakan akrab dan kenal dengan Samatrah, namun ia selalu mengacuhkan rasa itu karena menurutnya ia sama sekali tidak ada hubungan dengan Samatrah, di Ibu kota Samatrah hanya terdapat warga yang tinggal berasal dari suku Heba, sedangkan suku suku kecil lainnya hanya sebagai pelayan yang aktifitasnya sangat terbatas dan tidak di perbolehkan berinteraksi dengan orang luar Samatrah.

Sebagai seorang pedagang dan muslim yang taat, Djohanan tidak pernah melakukan kecurangan dalam berdagang dan selalu memenuhi kewajibannya sebagai umat di setiap waktu ibadah datang, kesulitan mencari Masjid yang memang tidak ada di Samatrah membuatnya Sholat di kamar sewanya.

"Tuan, saya seperti tidak asing dengan wajah anda"

Tanya seorang pelayan di tempatnya menyewa kamar, seorang lelaki tua dengan kulit yang keriput namun memiliki wibawa dari wajahnya, sambil tersenyum aku hanya berlalu dan menganggap perkataan kakek tua itu sebagai angin lalu, sangat jarang seorang pelayan berani menegur tamu selama aku di Samatrah, mungkin orang tua tersebut merindukan anaknya di kampung pikirku dalam perjalanan menuju pasar utama di Kota Datar.

Setelah segala barang yang aku perlukan untuk ku jual kembali setibanya di Malaka telah aku dapatkan aku pun kembali ke kamar sewa yang akan menjadi tempat peristirahatan hingga pagi menjelang, dan kapal ke menuju Malaka akan berlayar.

Sesampainya aku di depan pintu kamar, aku di kejutkan dengan kakek yang tadi pagi menyapaku, kali ini sang kakek tidak sendiri, ia ditemani pemilik kamar sewa, semakin bingung aku dengan apa yang terjadi, sepengetahuanku pemilik atau seorang tuan jarang sekali bisa jalan berdampingan dengan pelayan atau pekerjanya di Samatrah yang mengenal pembagian kelas dan strata sosial.

"Perkenalkan aku Alun Heba, pemilik kamar sewa ini, aku dan kakek ini ingin berbincang dengan mu anak muda"

Ucapan pemilik kamar sewa ini membuat aku semakin bingung dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi, tanpa kecurigaan sedikitpun aku mempersilahkan keduanya masuk ke kamarku.

Hal yang membuat aku terkejut adalah ketika duduk di kamarku majikan dan pelayannya ini duduk sama tempat, hal yang sangat di luar kebiasaan adat istiadat Samatrah yang aku tahu.

"Ada apa Tuan Alun ingin berbincang dengan pedagang kecil dari Malaka sepertiku"

"Kamu Djohanan Saman dari Malaka"

"Ia benar Tuan, dari mana tuan mengetahuinya"

"Nama dan asalmu ada di buku tamu"

Sambil tersenyum aku menganggukan kepala kepada ke dua tamuku ini.

"Kau pasti terkejut melihat kelakuan ku yang sangat bertolak belakang dari apa yang kamu tahu mengenai Samatrah"

"Benar, aku heran bukan kepalang mengenai prilaku yang kau perbuat pada kakek ini, hal seperti ini hal biasa di kampung halamanku Malaka tapi tidak disini Samatrah"

"Apa yang kau katakan benar Djohan, justru karena hal itulah aku ingin mengajakmu berbincang"

Tuan Alun banyak bercerita mengenai Samatrah padaku, dan semakin membuatku bingung bukan kepalang mengenai sejarah singkat Samatrah yang aku dapatkan dari Tuan Alun dan kakek pelayan yang ternyata bernama Gilang Nasakti.

Setelah berbincang lama dengan kedua tamuku akupun beristirahat dan keesokan harinya segera bergegas pulang menaiki kapal laut menuju Malaka, kebingungan dan keheranannku akan Samatrah aku bawa berlayar pulang ke Malaka.

Samatrah Bumi MalayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang