Malaka Menguak Tabir

30 3 0
                                    

Malaka kampung halaman ku, negri tempat aku dilahirkan serta di besarkan terlihat indah dari atas geladak kapal yang membawa aku dari Samatrah.

Kebingungan bercampur rasa ingin mengetahui apa dan kenapa serta siapa aku sebenarnya, bergejolak di dalam pikiran.

Secara perlahan namun pasti kapal yang aku tumpangi bersandar di pelabuhan Malaka, akupun bergegas menuruni kapal sambil memantau barang dagangan yang aku beli di Samatrah.

Perjalanan panjang dan penuh dengan drama bagiku, bukan baru kali ini aku melakukan perjalanan ke Samatrah untuk mencari barang dagangan buat aku jual kembali di Malaka.

Namun perjalanan kali ini adalah sebuah perjalanan yang sangat berkesan, dengan berbagai pertanyaan yang ada di kepala aku pun sampai di rumah tercinta.

Senyuman Ibu menyambut kepulanganku, pelukan hangatnya membuat tenang jiwa dan raga, rasa lelah sekejap hilang, aku pun segera memeluk kembali Ibu tercinta.

Meluangkan sejenak waktu berbincang mengenai perjalanan ku ke Samatrah dengan di temani secangkir kopi bersama Ibu, membuat aku sejenak melupakan pertanyaan yang masih menggelantungan di pikiran.

Seketika itu klik, rasa untuk mengetahui apa sebenarnya makna perbincanganku dengan pemilik kamar sewa dan pelayannya muncul, namun pasti bukan ke pada Ibu aku harus bercerita.

Ibuku sudah di pastikan tidak akan menjawab pertanyaanku, sebab Ibuku adalah asli penduduk Malaka, sementara Ayahku telah kembali ke panggkuan Allah SWT.

Bergegas aku mohon izin kepada Ibu untuk menuju rumah Atok, yang pasti mengetahui sejarah Samatrah, aku masih bingung dengan apa yang ku dengar dari pemilik kamar sewa dan pelayannya di Samatrah.

Kebetulan rumahku dan rumah Atok tidak terlampau jauh, hanya di pisahkan jalan kampung saja.

Setibanya di rumah Atok, tidak aku temui dirinya di rumah, akupun bertanya pada Puan dimana keberadaannya, ternyata Atok berada di Ladang melihat pekerja yang sedang memanen jagung.

Menyusul Atok ke Ladang pun menjadi pilihan bagiku, benar saja sampai di Ladang aku menemukan Atok yang sedang duduk santai di pondok.

Dengan senyumannya Atok yang sudah berumur 89 tahun namun masih sehat menyapaku, "Apa cerita, engkau baru tiba kah dari Samatrah", akupun menjawab bahwasanya aku sampai baru pagi hari, aku juga bercerita telah berbincang hangat di temani secangkir kopi sebelum ke rumah Atok dan ternyata tidak ada dirumah, sehingga aku menyusulnya ke Ladang.

Menunggu waktu yang tepat untuk bertanya dan menyampaikan prihal perbincanganku dengan pemilik kamar kos dan pelayannya di Samatrah ke pada Atok, sebab aku paham betul perangainya yang tidak ingin di ganggu saat bekerja, walaupun hanya mengawasi para pekerjanya memanen jagung.

Waktu Azhar telah tiba, terdengar sayup sayup suara muadzin mengumandangkan Adzan, Atok mengajakku menunaikan Sholat di Langgar dekat Ladangnya.

Akhirnya aku menemukan moment itu, setelah semua jagung di panen dengan perlahan aku mendekati Atok dan mulai mengutarakan niatku berjumpa dengannya.

"Pertanyaan engkau, akan ku jawab setibanya kita dirumah", sambil berjalan aku menganggukkan kepala atas perkataan Atok.

"Djohan sebenarnya aku tidak menginginkan membuka lembaran lama, yang telah aku simpan puluhan tahun lamanya"

"Namun ketika engkau menyampaikan bahwa kau bertemu dengan Gilang Nasakti di Samatrah serta ia menceritakan sejarah masa lalu Samatrah mau tidak mau kau harus mengetahuinya", ucap Atok sambil membuka sebuah peti tua kecil yang terlihat memiliki ukiran indah.

Samatrah Bumi MalayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang