#13. Darah Menuju Tanah Bertuah

9 1 0
                                    

Setelah Kota Biru Biru menjadi lautan api, aku dan pasukanku menyusul Guru Dahlan bersama penduduk Kota Biru Biru yang mayoritas Anak anak dan Orang Tua menuju Tanah Bertuah.

Aku memperkirakan bahwa Guru Dahlan beserta penduduk Kota Biru Biru hampir sampai ke Tanah Bertuah, mereka telah berangkat dua hari sebelum Kota Biru Biru menjadi lautan api.

Pamanku, Gilang Nasakti ternyata menunggu di pinggiran Kota Biru Biru bersama 10 orang prajurit, akupun melanjutkan perjalanan menuju Tanah Bertuah dengan Pamanku.

Langit sudah mulai gelap, aku dan pasukanku beserta pamanku beristirahat, aku melarang dibuat api unggun, banyak yang menanyakan keputusanku, mengapa aku tidak membolehkan mereka membuat api unggun untuk menghangatkan badan dan memasak.

"Cahaya dari api ini, bisa menjadi penyelamat dan sekaligus menjadi akhir perjalanan kita Menuju Tanah Bertuah"

"Keberadaan kita dan pasukan musuh belum terlalu jauh, samar samar mereka akan bisa melihat cahaya di tengah ke gelapan"

"Coba kalian lihat, dari tempat kita berada saat ini, kita masih bisa melihat cahaya api dari sisa sisa Kota Biru Biru."

Mendengar penjelasanku, mereka bisa memahami maksudku, kami berbuka dengan hanya memakan bekal seadanya yang tidak perlu api untuk mengolahnya, begitupula ketika sahur.

Malam semakin larut, setelah melaksanakan sholat tarawih, aku menyarankan beberapa prajurit berjaga secara bergantian, sementara yang lainnya beristirhat.

Tidak ada tenda yang manaungi, hanya Langit yang menjadi atap dan tanah menjadi alas aku dan pasukanku beristirahat.

Malam itu, aku pun berkesempatan berbincang dengan Pamanku, aku menanyakan sejak kapan ia menjadi seorang Muslim, dan mengapa ia begitu menginginkan aku berjuang membebaskan Samatrah.

"Djohan, ketika Kakek Buyutmu meninggal, dan aku beserta keluargaku mengungsi ke Tanah Bertuah"

"Tanah Bertuah secara tidak langsung membuat aku memenuhi ajakan dari Kakek Buyutmu untuk memeluk Islam"

"Islam sebuah jalan, dimana jalan yang menuju sebuah kebaikan yang sebenarnya"

"Aku takjub dengan Islam yang meruntuhkan sekat sekat kesukuan yang selama ini menjadi belenggu dalam masyatakat"

"Ketika kau seorang Muslim maka kau adalah saudaraku, ketika kau sakit maka saudaramu akan ikut tersakiti, begitupula ketika kau senang."

Mendengar penjelasan Pamanku tentang alasannya memeluk Islam membuat aku semakin bersyukur dengan nikmat Iman dan Islam yang hingga hari ini masih aku nikmati.

Perbincangan antara aku dan Pamanku semakin menarik, ia menceritakan bagaimana ketika Kakek Buyutku memerintah di Naraja, yang saat ini sudah menjadi hutan karena tidak ada lagi penduduk yang tinggal.

Naraja ditinggalkan oleh penduduknya ketika Wan Heba berkuasa dan melakukan pembantaian massal, suku Naraja adalah suku yang menjadi target untuk di bersihkan.

Naraja menjadi kota dengan mayat yang bergelimpangan, sebagian kecil dari Suku Naraja kemudian menyelamatkan diri pergi dan menyembunyikan identitas mereka.

Sementara Suku Pamanku, Nasakti bisa dikatakan menjadi salah satu Suku dengan jumlah populasi paling sedikit, namun dikarenakan kekayaan yang mereka punya, bisa selamat dengan memberikan upeti kepada Wan Heba, dan harus rela ketika para Pejabat, bahkan Raja menginginkan anak gadis mereka menjadi selir atau sekedar wanita hiburan.

Menurut Pamanku, banyak wanita suku Nasakti yang bunuh diri ketika dihamili tanpa pernikahan oleh para pejabat Kerajaaan.

Bahkan banyak juga yang menjadi gila, dan sebagian yang mampu lari keluar dari Samatrah lebih memilih mati di dalam pelarian daripada tersiksa.

Samatrah Bumi MalayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang