Setelah Wan Sama Heba di makamkan, DjohananSaman terus mempersiapkan Kota Biru Biru agar siap menghadapi serangan dari musuh.
Bulan Ramadhan yang menjadi sebuah masa dimana pemeluk Agama Islam menjalankan Ibadah Puasa akhirnya tiba, aku pun menyambut dan melaksanakan puasa Ramadan di Kota Biru Biru.
Dibulan yang penuh dengan keberkahan aku selalu bermunajat kepada Allah SWT agar di berikan keberhasilan atas usahaku memerdekakan Samatrah.
Sebuah wajah yang aku kenal dan aku juga merindukannya terlihat datang menjumpaiku bersama prajurit yang aku tugaskan menjaga kota Tuha.
Maha Suci Allah SWT, ayah Ibuku datang dari Malaka menjumpai cucunya yang sedang berjuang di tanah leluhur.
Dengan senyum aku berlari dan memeluk Kakekku, yang sudah lama aku tidak berjumpa dan mendengar kabarnya.
Pertemuan kami berdua berlangsung hangat, tidak lupa aku menanyakan kabar Ibu dan sanak saudara lainnya di Malaka.
"Djohan, kedatangan aku kemari bukan cuma untuk melihatmu, namun aku menemuimu juga membawa surat dari Sultan Malaka yang di tujukan kepadamu."
Aku pun terkejut mendengar ucapak Kakek kepadaku.
"Maaf Kakek apa yang dituliskan oleh Sultan Malaka, sehingga harus Kakek yang menyampaikannya kepadaku secara langsung."
Akupun menerima dan membaca surat dari Sultan Malaka kepadaku, dalam surat yang dituliskan, Sultan Malaka meminta aku untuk menyerah dan kembali ke Malaka.
" Demi Allah SWT!, aku tidak akan memenuhi ke inginan Sultan Malaka ini Kakek."
Kakekku hanya tersenyum kepadaku, dan menjelaskan bahwa dia mendukung sepenuhnya perjuanganku.
"Djohan aku hanya menyampaikan surat ini kepadamu, perjuanganmu aku akan dukung dan aku akan turut dalam barisan pasukanmu."
Mendengar perkataan Kakek kepadaku membuat aku semakin bergelora dalam melakukan perjuangan.
"Berita akan kegemilanganmu sudah terdengar hingga Malaka, para petinggi Militer disana yang memiliki hubungan dengan Samatrah dan mengenal Mulia Djohan sedang bersiap mendukung pergerakanmu"
"Hal ini pula yang membuat Sultan Malaka mengirkan surat kepadamu dan meminta mu kembali ke Malaka"
"Para petinggi Kerajaan Uropa telah datang menghadap Sultan untuk memintanya turut serta menghentikan perjuanganmu"
"Namun Sultan Malaka masih enggan turut serta hingga beberapa Jendral yang memiliki hubungan dengan Samatrah dan mengenal Mulia Djohan buyutmu, akan bergabung dengan pasukanmu, hal itu membuat Sultan mengirimkan aku untuk menyampaikan surat ini kepadamu."
Allhamdulillah, rasa syukur yang aku panjatkan atas berita buruk dan baik yang aku dapatkan dari Malaka, sebuah surat dari Malaka yang meminta ku berhenti namun berita baik mengenai perjuanganku datang bersamaan.
Jendral Amangpun datang ke kamp pasukanku bersama Mangeso, Mahligai dan para tetua suku Heba yang ada di kota Biru Biru.
Aku bertanya dalam hati apa maksud kedatangan mereka kepadaku saat ini, apakah mereka mau berhenti berjuang.
"Daulat Tuanku, aku Amangpun beserta keluargaku dan para tetua datang menghadapmu ingin menyampaikan prihal yang sangat penting"
"Jendral, sampaikanlah apa yang menjadi maksud dan tujuanmu menemuiku"
"Daulat Tuanku, aku bersama keluargaku dan tetua Heba ingin memeluk agama yang kau anut, keinginan ini murni dari hati, kebaikan dan kehebatan Agama yang kau anut tercermin dari prilaku santunmu dan prajuritmu, serta keberanian dirimu dan prajutitmu."
Sekali lagi di bulan yang penuh berkah aku mendapatkan berita yang luar biasa, aku pun menunjuk Guru Dahlan untuk memandu Jendral Amangpun serta yang lainnya untuk mengucap Syahadat dan memeluk Islam.
Kota Biru Biru yang menjadi kampung halaman suku Heba telah berubah menjadi kota Islam, semua penduduk Biru Biru memeluk Islam.
Berita Islamnya Jendral Amangpun beserta suku Heba di kota Biru Biru dengan cepat tersebar, bukannya Samatrah namun hingga ke Malaka.
Menurut informan yang kali ini hanya aku dan Guru Dahlan yang mengetahui siapa dirinya dan asal usulnya, aku menyebarkan informasi ini dan menerima informasi dari dunia luar untuk keperluan perjuanganku.
Kehebohan terjadi di kalangan suku Heba yang berada di luar kota Biru Biru, kabar yang mengenai Jendral Amangpun yang memanggil diriku dengan sebutan Daulat Sultan juga ikut tersebar.
Jendral Amangpun merupakan sosok orang yang terbuka dan mau menerima kelebihan orang lain walaupun orang tersebut lebih muda daripada dirinya.
Melalui Jendral Amangpun ia telah mengakui keberadaan ku sebagai pemimpin Samatrah, menurutnya keberadaan aku dan pasukanku membuat dirinya, keluarganya dan suku Heba memiliki harapan baru.
Jendral Fabio tidak lagi mau menunggu untuk menyerang Kota Biru Biru, terlebih kabar Islamnya penduduk kota Biru Biru dan Keluarga Jendral Amangpun bisa membuat masyarakat Samatrah memberikan dukungan dan ikut dalam perjuanganku.
Lagi dan lagi, informasi sangat di perlukan dalam masa peperangan seperti ini, meyakini aku tidak lagi memiliki kekuatan pasukan seperti yang mereka perkirakan sebelumnya, kekuatan mulai disusun untuk menyerang kota Biru Biru.
Setelah aku menimbang segala aspek dan kekuatan pasukanku dan pasukan musuh aku pun mulai mengambil sebuah keputusan yang teramat sulit buat penduduk Kota Biru Biru.
Aku memutuskan untuk menarik semua pasukan menuju Tanah Bertuah sambil menunggu bantuan dari para Jendral Malaka yang mau mendukungku.
Tuan Guru Dahlan aku minta untuk membawa para penduduk Heba yang mayoritas anak anak dan orang tua untuk pergi menuju Tanah Bertuah.
Sementara aku dan beberapa pasukan akan mencoba menghalau pasukan musuh di Kota Biru Biru.
Namun Jendral Amangpun tidak setuju dengan keputusanku, ia menyarankan biar dirinya yang menahan musuh di Kota Biru Biru.
Akupun mulai membuat strategi agar jejak menuju Tanah bertuah tidak diketahui oleh pasukan musuh.
Setelah perdebatan panjang dengan Jendral Amangpun mengenai siapa yang harus tinggal di Kota Biru Biru, Guru Dahlan mulai membawa para penduduk termasuk Mangeso dan Mahligai meninggalkan kota Biru Biru menuju Tanah Bertuah.
Tepat tanggal 21 Ramadan, pasukan musuh mulai mendekati Kota Biru Biru, Jendral Amangpun bersiap menghalau musuh bersama 100 orang prajurit.
Ketika itu hari masih pagi, dentuman meriam mulai terdengar menggempur kota Biru Biru yang hanya menyisakan 50 orang untuk bertahan.
Pasukan musuh yang dipimpin Jendral Franco dan Fabio heran melihat perlawanan yang tidak begitu hebat.
Kapal kapal musuh masuk menuju sungai sungai di pinggir kota Biru Biru, perlawanan hanya dilakukan dengan meriam yang berhasil kami dapatkan pada peperangan sebelumnya.
Jendral Amangpun terlihat mengayunkan pedangnya menghadapi pasukan musuh yang mulai merangsek masuk ke Kota Biru Biru.
Aku dan beberapa prajurit terbaikku membantu sang Jendral, ia merasa terkejut karena ia berfikir aku sudah menuju Tanah Bertuah.
Pasukan Musuh kami giring memasuki tengah Kota, jumlah musuh semakin banyak tidak seimbang dengan jumlah pasukan yang ada di kota Biru Biru.
Strategi yang aku mainkan kali ini bukan untuk mengincar kemenangan, Jendral Amangpun menatap kepadaku memberi isyarat untuk segera pergi menuju Tanah Bertuah.
Jendral Amangpun membawa bahan peledak dan berlari ke arah pasukan musuh sembari meledakkan dirinya, yang membuat banyak korban berjatuhan di pihak musuh.
Aku dan pasukan yang tersisa kemudian membakar kota Biru Biru dan beberapa pejuang dari suku Heba mengikuti apa yang dilakukan oleh Jendral Amangpun.
Hanya berdoa dan menatap pengorbanan Jendral Amangpun beserta pejuang Heba yang mengorbankan dirinya demi sebuah awal yang baru.
Aku bersama pasukan meninggalkan kota Biru Biru menuju Tanah Bertuah, kembali menyusun strategi serta menunggu kedatangan bala bantuan dari Malaka.
*****
![](https://img.wattpad.com/cover/148192410-288-k876365.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Samatrah Bumi Malaya
Ficción históricaKesultanan Samatrah dan penguasa yang hilang, kekuasaan dan tahta tidak akan pernah tertukar.