Satu minggu
Telah berlalu hari demi hari yang penuh dengan makna, sebab setiap lembaran misteri terjawab satu demi satu.Tanah Bertuah sebuah tempat tersembunyi, yang menjadi benteng Umat Islam di Samatrah, memiliki penduduk yang sangat mematuhi aturan yang telah dibuat.
Selama hampir beberapa dekade masyarakat di Tanah Bertuah menutup diri dan tidak melakukan interaksi dengan dunia luar, demi keamanan mereka.
Migrasi awal ke Tanah Bertuah hanya di lakukan oleh 20 Kepala Keluarga, yang terdiri dari berbagai macam profesi, mulai dari guru, dokter bahkan panglima perang, hal ini yang membuat masyarakat Tanah Bertuah bisa hidup dengam isolasi yang mereka lakukan sendiri.
Akhirnya waktu menikmati indahnya Tanah Bertuah harus berakhir, aku dan para pasukan yang telah di persiapkan segera akan keluar dari Tanah Bertuah, menuju medan perang yang cepat atau lambat pasti akan di hadapi.
Malam terakhir di Tanah Bertuah tidak aku sia siakan untuk menikmati indahnya bintang bintang langit, di malam terakhir itu pula aku dan Guru Dahlan beserta Pamanku, membicarakan Jalan yang akan kami gunakan untuk keluar dari Tanah Bertuah.
Aku dan Guru Dahlan sepakat jalan yang kami lalui saat datang bukanlah pilihan terbaik, dikarenakan kali ini kami akan membawa 112 kuda yang masing masing di tunggangi satu orang.
Terlebih jalan yang kami lalui bukan jalan yang bisa di lewati oleh kuda, namun sambil tersenyum Pamanku menjelaskan, rute untuk keluar Tanah Bertuah kali ini akan berbeda, kami akan menempuh jalan yang berupa hamparan dan hutan rimba, namun memakan waktu yang lebih lama jika menuju Ibu Kota.
Jalan alternatif yang di berikan Pamanku adalah jalan yang mengarah ke bekas tanah suku Heba di Kota Biru Biru, yang saat ini sudah di tinggalkan, dan hanya tersisa puing puing kota yang telah di tinggalkan oleh sebagian besar penduduknya.
Menurut Paman jalan inilah yang paling baik, sebab kuda kuda kami akan bisa melewatinya, serta di sepanjang jalan akan mudah menemukan makanan, walau untuk mencapai Ibu Kota harus lebih lama lagi, waktu yang dibperlukan bisa 2x lipat dari waktu tempuh awal kami ke Tanah Bertuah.
112 Manusia mengendarai kuda dengan perlengkapan perang seadanya, terdiri dari 30 orang pemanah, 40 kaveleri 10 tenaga medis 5 juru masak 15 pandai besi dan bangunan, serta 9 jago pedang, 3 orang ahli strategi perang.
Dalam benakku aku sepertinya percaya tidak percaya dengan misi ini, laksana angan angan wak dollah bagiku, bagaimana 112 orang mau menaklukkan sebuah Kerajaan besar.
Namun lagi lagi aku meyakini bahwa perbuatan dan cita citaku mendapat restu dari Allah SWT, usiaku yang tergolong muda ya baru 19 tahun namun harus mengemban misi besar, tidak jarang membuat aku tertawa di balik kelambu malam.
Tanah Bertuah semakin jauh terlihat, kabut mulai menutupinya, matahari di ufuk timur semakin meninggi, perjalanan kami hentikan setelah berjalan kurang lebih 5 jam.
Pamanku mengarahkan kami di sebuah lembah, yang terdapat sungai dengan air yang segar, serta pepohonan buah yang nikmat rasanya, prajurit yang bertanggung jawab dalam masalah kemaslahatan bersama pun bertindak.
Para prajurit dengan lambang bakul nasi dan lauknya ini lantas melakukan perburuan untuk di jadikan santapan 112 orang termasuk sang juru masak sendiri.
Perburuan Hewan untuk di makan oleh kami aku intruksikan untuk di bantu oleh prajurit lainnya, aku tidak ingin 5 orang juru masak ini nanti sakit karena keletihan haru berburu dan memasak, sebab keberadaan mereka sangatlah vital.
Akhirnya setelah 2 jam kami bersendau gurau dengan Guru Dahlan dan Pamanku, nasi beserta daging Rusa bakar telah siap untuk di makan, mengisi tenaga guna melanjutkan perjalanan yang masih jauh dari kata selesai.
Setelah berdiskusi panjang dengan Guru Dahlan dan Pamanku, kami sepakat tidak melanjutkan perjalanan dan berkemah karena cuaca yang sudah mulai memburuk.
Rombongan kami pun mendirikan tenda di lembah nan indah setelah 5 jam perjalanan dari tanah Bertuah, kami tidak menginginkan hal yang buruk terjadi jika memaksakan diri melanjutkan perjalanan dalam kondisi alam yang tak menentu.
Benar saja dugaan kami, langit semakin gelap, hujan turun dengan derasnya, tenda kami seakan mau ikut terbang di bawa kuatnya angin, kuda kuda tidak bisa diam di tengah deru hujan dan petir yang menyambar kencang di langit gelap.
Jarak pandang sangat terbatas, sehingga menyulitkan kami untuk beraktifitas, aku lantas meminta kepada seorang prajurit untuk membawa kuda dan prajurit lainnya menuju ke sebuah gua yang aku lihat sebelum memasuki lembah ini.
Benar saja, ternyata Gua yang terletak di atas Lembah merupakan pilihan terbaik buat kami semua, tidak lama setelah prajurit yang aku kirim melihat kondisi gua kembali, kami pun memindahkan semua perbekalan termasuk tenda dan kuda ke dalam Gua yang ternyata sangat besar.
Setelah semua berhasil di pindahkan ke dalam Gua terdengar suara seperti sesuatu yang teramat keras menderu deru, suaranya menggelegar, lalu salah satu prajurit melihat apa yang terjadi di luar.
Dengan nafas tergopoh gopoh prajurit tersebut melaporkan bahwa lembah tempat awal beristirahat tadi telah rata dengan air, dan tidak bisa dilihat lagi mana darat mana sungainya, semuanya berubah menjadi sungai di bawah lapor sang prajurit kepada kami semua.
Allhamdulillah aku tidak akan pernah berhenti mengucap syukur, keputusan untuk pindah ke Gua ini ternyata benar, dan tidak seorangpun yang merasa keberatan, pindah menuju Gua dengan cuaca hujan dan badan yang basah.
Namun semua kebasahan itu terbayarkan oleh hangatnya api unggun di dalam Gua batu yang nyaman, serta terhindar dari derasnya air bah yang mengamuk.
112 orang selamat untuk hari ini pikirku, aku masih terus memikirkan ekspedisi ini, aku masih terus bertanya apakah aku akan berhasil, walau acap kali aku mampu meyakinkan diriku sendiri.
Hari demi hari aku lalui bersama 111 orang lainnya dan menjadi 112 termasuk diriku, tiada hari tanpa kenangan indah bersama mereka.
Aku sadar aku adalah Panglima mereka dan aku bertanggung jawab akan keselamatan mereka, seorang Panglima yang berumur 19 tahun, mencoba memenuhi takdir moyangnya.
5 Hari perjalanan dari Tanah Bertuah akhirnya aku dan 111 orang lainnya beserta kuda dan perbekalan kami sampai di pinggiran kota biru biru.
Sebuah kota tempat asal mula suku Heba, yang saat ini sudah di tinggalkan sebagian penduduknya untuk menetap di kota Datar atau di Labuhan Heba.
Terlihat hanya orang tua dan anak kecil yang banyak terlihat di kota ini, mereka seakan takut melihat 112 orang dengan pakaian perang keluar dari balik Hutan Rimba yang sepanjang mereka hidup belum pernah ada satu orangpun keluar dari balik Hutan Rimba yang penuh dengan Nenek atau Harimau.
Kebingungam mereka semakin menjadi ketika melihat bendera Harimau dengan dua kalimat Syahadat yang mengapit disertai panji hitam yang bertuliskan kalimat Tauhid.
Salah seorang penduduk lantas menyangka kami adalah pasukan musuh yang akan membunuh suku Heba dan menguasai Samatrah.
Lantas aku segera turun, dan menjelaskan bahwa aku dan pasukanku bukanlah musuh seperti yang bapak tua sangka.
Sang bapak tua langsung memberi tau kami bahwa Kerajaan Samatrah telah tiada, Istana Merah telah porak poranda, Ibu Kota hancur lebur, suku Heba di bantai dan di habisi, suku suku kecil lainnya ada yang berpihak pada musuh karena kebencian mereka terhadap suku Heba.
Dari penjelasan sang Bapak Tua sudah hampir 2 bulan lamanya Kerajaan Samatrah jatuh, Raja dan adik adiknya di kabarkan melarikan diri dan bersembunyi, untuk mengatur siasat melawan musuh.
Dengan refleks aku mengangkat pedang dan memasukkannya kembali ke sarungnya, menandakan kekesalanku akan peristiwa yang telah terjadi.
Di hari awal peperangan masih teringat jelas bagiku, bagaimana gagahnya angkatan laut Samatrah menghalau kekuatan musuh terlebih angakatan laut Kesultanan Malaka ikut membantu Kerajaan Samatrah.
Aku tidak menyangka bahwa Kerajaan Samatrah akan hancur di tangan sekutu mereka yang kini menjadi musuh, peristiwa ini juga sedikit merubah pemikiranku tentang bagaimana mencapai tujuanku membebaskan Samatrah.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Samatrah Bumi Malaya
Fiksi SejarahKesultanan Samatrah dan penguasa yang hilang, kekuasaan dan tahta tidak akan pernah tertukar.