Bagian 10

244 7 0
                                    

"Masuk, aku ingin menunjukkan sesuatu bukannya ingin mengurungmu di sini" sejenak Hanni merasa lega tapi ada rasa tidak enak saat Haikal mengatakan ingin menunjukkan sesuatu di kamar mayat.

....

"Ibu! Ibu, bangun! Hanni kagen ibu" Teriakan keras di sertai tangis yang menyayat hati bergema di kamar mayat tersebut; kain putih itu terbuka hingga memperlihatkan wajah pucat Lihana dengan beberapa luka sayat di sana.

"Haikal, apa kau yang membunuh ibuku?!" Haikal diam, tangan kekar itu ia lipat di depan dada sambil mengamati wajah Hanni yang bersimbah air mata.

"Jawab!"

"Iya! Kalau aku yang membunuhnya, kau mau apa Jalang kecil?!" dengan kasar Haikal mencengkram pipi Hanni.

"Jangan menyentuhku!" Cengkraman Haikal terlepas, amarahnya sudah sampai di ubun-ubun karena perlawanan Hanni.

"Dan kuperingatkan padamu, jangan pernah memanggilku Jalang!, aku bukan jalang! Kau lupa? Kau yang merenggut kesucianku, seorang jalang tidak mungkin masih perawan. Kau selalu menyetubuhiku, aku jijik dengan sentuhanmu Brengsek!" Tangan Haikal mengepal, berani sekali gadis itu meneriakinya.

"Kau jijik?! Yang benar saja, kau bahkan mendesah saat aku memasukimu. Dasar jalang"

"Itu karena aku takut padamu! Tapi tidak lagi, aku tidak akan pernah takut padamu tuan Haikal Sanjaya.." Hanni melangkah lebih dekat kearah Haikal. Matanya memerah karena tangis yang sudah mengering seiring rasa benci yang menyelinap masuk ke dalam hatinya; kebencian itu hanya di tujukan untuk Haikal.

"..Sekarang bebaskan aku sesuai janjimu waktu itu" Bukan ini yang di kehendaki Haikal, Shit, dia menyesal menghukum Hanni dengan cara ini.

Lidah Haikal kelu, dia tidak ingin membebaskan Hanni, tidak! Dia tidak mau kehilangan gadis itu.

"Janji a—"

"Berhentilah berpura-pura, aku mendengar semuanya! Bebaskan aku, kau sudah menemukan ibuku bukan?" Tanpa menunggu jawaban Haikal, Hanni melangkah pergi meninggalkan kamar mayat sambil sesekali menyeka air mata yang menetes.

***

Di biarkannya air mata itu mengalir di pipinya, dadanya amat sesak karena rasa benci yang begitu mendalam di sana.

Haikal. Dia begitu membenci pria itu! Mata tajamnya, sentuhannya, Hanni membenci semuanya.

"Hiks..hiks.." Tangisan Hanni kian mengeras sehingga menjadikannya pusat perhatian.

Sadar dirinya di perhatikan, Hanni menenggelamkan wajahnya di lipatan lutut untuk merendam tangis yang perlu ia keluarkan.
Bahunya bergetar, kata-kata tak akan bisa mendeskripsikan perasaan Hanni saat ini.

"Berhentilah menangis! Kau membuat gendang telingaku pecah tau" Hanni mendongak, wajah pria di sampingnya itu terasa familiar tapi siapa..

Hanni terlihat berfikir sampai...
Matanya melebar, pria itu adalah Daniel. Oh God, double shit! mengapa kesialan terus menyelimuti hari-harinya.

"Kau mau kabur karena malu? Baru sadar kalau tingkahmu itu memalukan!" Mendengar Daniel mengatakan itu dada Hanni terasa di tusuk oleh pedang, sakit.

"Ak.."

"Nih dan nih" Daniel menyerahkan selembar kertas lalu sapu tangan setelah itu ia pergi sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana. So cool!

Mata Hanni membulat, surat pemanggilan orang tua.. Tamatlah riwayatnya.

Help me (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang