Sudah dari setengah jam yang lalu, pintu itu terus diketuk.
Hening. Tak ada jawaban ataupun tanda-tanda bahwa kamar yang kini tengah dikelilingi banyak orang itu menyembunyikan sosok di dalamnya.
Namun, semua itu salah. Di dalam sana, seorang anak kecil berumur 7 tahun masih saja terus meringkuk di atas tempat tidur. Wajahnya suram, seolah awan mendung hadir di atas kepalanya hanya untuk membuat suasana hati gadis itu memburuk.
Ia tahu, sangat tahu. Orang-orang di luar begitu mengkhawatirkannya, begitu ingin melihat sosoknya keluar dari kamar. Tapi sayang sekali, tak ada yang mau mengerti bahwa sang gadis mungil ini sedang membutuhkan ketenangan.
"Sakura, keluarlah, sayang. Ada tamu yang ingin bertemu denganmu."
Ketukan terus saja terdengar keras, disertai dengan ucapan lembut seorang wanita dari luar. Namun hal itu sama sekali tak membuat Sakura berniat untuk menunjukkan dirinya. Ia justru menarik selimut lebih ke atas lagi.
"Sakura Haruno! Keluarlah atau kudobrak pintunya!!" Teriak wanita tadi setelah berkali-kali menahan emosi.
"Anoo.... Sakura, apa sebaiknya kita keluar saja?" tanya seorang gadis berambut pirang yang duduk di samping ranjang Sakura. Wajah manisnya mengecut, sarat akan kekhawatiran yang berlebih. Selama ini, memang hanya ia yang diperbolehkan masuk ke kamar Sakura. Menemani gadis musim semi ini menyendiri, walau tahu bahwa Tsunade sudah meledak-ledak di luar sana.
"Ino, kau saja yang temui mereka. Bilang saja kalau aku sedang tidak enak badan," sahut Sakura kemudian, sembari menarik selimut hingga seluruh bagian tubuhnya tak tampak lagi.
Bulu kuduk Ino berdiri seketika.
"Kalau akhirnya begini, kenapa kau tak bilang dari tadi saja sebelum Bibi marah??" serunya ditelan rasa takut yang meledak lebih dari pada sebelumnya.
Cklek.
Pintu terbuka, menampakkan wajah masam Ino yang dipaksa tersenyum. Ia begitu takut jika berhadapan dengan Tsunade yang sedang memunculkan kedua tanduknya. Serasa akhir hidup sudah sangat dekat.
"Ino! Di mana Sakura?! Suruh dia keluar sekaraaaang!"
Menekan rasa takutnya, Ino segera menutup pintu kamar Sakura rapat-rapat.
"Sa... Sakura sedang tidak enak badan, Bibi. Tolong jangan ganggu dia," ucap gadis malang itu ragu-ragu. Namun bukannya merasa iba, emosi Tsunade justru semakin memuncak tanpa belas kasihan. Jiwa singa betina yang bersemayam di tubuhnya tak akan pernah bisa dibendung oleh siapapun.
"Menyingkirkan! Gadis manja itu--"
Belum sampai Tsunade memaksa masuk ke dalam kamar, seorang wanita berambut gelap panjang menepuk bahunya pelan. Pendar mata wanita itu begitu lembut. Ia menggeleng pelan, seolah mengatakan bahwa Tsunade tak akan pernah bisa mengajak Sakura bicara jika masih dalam emosi seperti ini.
"Bicaralah baik-baik dengannya. Sakura juga masih berada di posisi seorang anak yang kehilangan kedua orang tua. Jangan marahi gadis itu."
"Mikoto-san...."
"Tak apa, temui saja dia."
Ino menatap Tsunade takut-takut. Beruntung, karena kali ini ia luput dari semburan Bibi galak itu.
"Ino, kemari, sayang," ucap Dan, suami dari Tsunade sendiri. Berbeda sekali dengan si singa betina, Dan jauh lebih halus dan ramah.
"Sakura?"
Ia dihadapkan dengan gulungan selimut yang tak bersuara. Tsunade yakin Sakura ada di dalamnya, masih dalam mode merajuk.
"Sakura, dengarkan aku. Keluarlah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Totally Fate
FanfictionMereka tak bersama. Mereka tak saling peduli. Mereka tak pernah bersatu. Namun sebuah janji dibentuk, mewujudkan kedua takdir mereka. Janji yang tak pernah menjadi dugaan. Tak pernah menjadi harapan. Namun menjadi ikatan yang teramat erat. **** *Cha...