14. Pertemuan (1)

198 26 0
                                    

Suara gemerisik dedaunan itu mendominasi. Dengan gesekan angin yang mampu membuat suasana hati siapapun kembali tenang. Namun tidak bagi Hinata, karena sebaik-baiknya situasi alampun, tak dapat memberikan sedikitpun percikan kedamaian baginya saat ini.

Pria di hadapannya, Akasuna Sasori, masih menatap Hinata dengan pandangan yang menyiratkan keterkejutan. Tak heran, karena partner bekerjanya kali ini bisa dibilang cukup aneh.

"Tunggu. Aku tak terlalu mengerti. Bisakah kau menjelaskannya dengan lebih... Er.... Terperinci...?"

Hinata terkikik pelan sembari menghapus bekas tetesan air mata. "Kupikir aku sudah menceritakannya dengan baik."

"Tapi, menurut kata-katamu yang sebelumnya, kau seperti menjelaskan... Bahwa yang menyerangmu adalah Sasuke, benar?"

"Yap, benar sekali."

"Lalu, mengapa sekarang Naruto yang menyakitimu, hime-sama? Dia yang salah?"

Dengan anggukan kecil, Hinata kembali memulai kisahnya.

***

Kupikir saat itu, kami benar-benar melakukan kesalahan. Ya, aku dan Sasuke. Keadaan parkiran kebetulan sedang sepi, dan kami tidak mengindahkan kamera pengawas yang kemungkinan besar menyorot seluruh kejadian dengan sangat detail. Ah, sejujurnya aku tak terlalu memperhatikan letak kamera pengawas itu, jadi aku tak tahu apakah kami benar-benar terekam?

Intinya, saat itu pikiran kami benar-benar menguap entah kemana. Bercumbu layaknya para pelacur dan penyewanya di luar sana. Bemain dengan tubuh masing-masing, bahkan berani menyentuh apa yang tidak seharusnya disentuh.

Jika aku sudah dibutakan oleh nafsu dan keinginan untuk melampiaskan kesedihan, lain halnya dengan Sasuke. Dalam suasana yang terlenapun Ia bisa mengendalikan dirinya dan menyudahi semua sebelum benar-benar sampai di tahap yang berbahaya.

Ia mendorongku keras dengan nafas yang masih memburu, aku sangat mengingatnya. Ekspresinya itu, penuh dengan kesedihan dan prihatin. Ia menggeleng kecil kemudian merapikan pakaiannya yang sudah berantakan.

Sebelum pergi, Sasuke menyisakan jaket hitamnya dan melemparkan padaku. Dia bilang hari ini cukup dingin, aku bisa sakit jika berjalan-jalan dengan pakaian yang sudah koyak sana sini.

Hanya sampai situ. Ya, hanya sampai situ. Sasuke pergi meninggalkanku yang hanya dapat menangis. Terisak seperti bocah, merindukan kehangatan namun pantaskah aku mendapatkan kehangatan itu? Aku sudah dengan bodohnya menyerang laki-laki lain, sedangkan aku memiliki seorang kekasih. Aku memiliki dia, aku memiliki Naruto-kun!

Hari-hari menjadi begitu berat. Rasa canggung sudah tidak terelakkan lagi. Mungkin aku jadi lebih pendiam dari biasanya. Dan Sasuke? Pria itu seakan tak merasakan apapun, tak menunjukkan perbedaan yang berarti. Ia tetap cuek seperti biasanya dan memandangku datar seperti biasanya pula.

Sampai malam itu tiba, ketika Naruto-kun datang ke rumah dengan keadaan yang sudah berantakan. Ia masih menggunakan seragam, namun beberapa kancing tak terpasang dan basah entah karena keringat atau cairan lainnya. Wajahnya bersemu merah dan rambutnya acak-acakan. Benar-benar seperti orang gila dan terus membicarakan sesuatu yang tak aku mengerti.

Satu hal yang begitu kuingat, tubuhnya mengeluarkan bau asing yang tak kukenali. Tidak seperti biasanya. Tidak harum layaknya Naruto sebelum-sebelumnya.

Ia menarikku masuk ke mobil. Aku terus menanyakan keadaannya, bagaimana bisa Ia menjadi kacau seperti ini? Sampai mungkin Ia lelah dengan pertanyaanku, jadi Ia membanting tangan di atas kemudi mobil.

Totally FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang