Selesai latihan, seluruh anggota PMR selanjutnya membubarkan diri dan hendak pulang ke rumah masing-masing. Aku masih berdiri di depan pintu gerbang sekolah untuk menunggu angkot. Suasana sudah mulai gelap, karena hari menjelang waktu maghrib.
''Bayu!''
Terdengar seruan seseorang dengan suara yang cukup tinggi. Aku pun serentak mendongak ke arah pemilik suara tersebut, dan di seberang sana aku melihat ada kakak kelas pembimbing itu. Dia tampak tenang dan lancar menyebutkan namaku.
''Kak Ilham ...'' ujarku seraya memperhatikan cowok berhidung mancung itu yang bertengger gagah di atas motornya, dia perlahan mendekati aku.
''Kok, belum pulang?'' tanya pemilik rambut ikal itu dengan enteng.
''Ya, Kak ... aku lagi nunggu angkot!'' jawabku.
''Memang pulangnya ke mana?'' Si Mata Bening ini bertanya kembali.
''Mmmm ... Cipinang!''
''Ohhh ... ayo, bareng aku, aja! Kebetulan aku lewat situ, kok ...''
''Ah, yang benar, Kak?!''
''Iya, ayo naik ... biar aku antar pulang kamu!''
''Tidak usah, Kak ... aku tidak mau ngerepotin Kakak!''
''Udah ... tidak usah sungkan ... ayo, cepatan naik!'' Kak Ilham bersikukuh agar aku ikut dengannya, bahkan dengan setengah memaksa dia membujukku. Karena aku merasa tidak enak, akhirnya aku menuruti permintaannya. Aku pun naik di belakang jok motornya.
''Pegangan yang kenceng, Bay!''
''Oke, Kakak!''
Sejurus kemudian motor yang dikemudikan Kak Ilham melaju dengan sangat kencang. Di sepanjang jalan, Kak Ilham banyak memberikan pertanyaan tentang pribadiku. Awalnya aku ragu dan segan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Kak Ilham, tetapi karena menghargai dia sebagai seniorku, aku pun terpaksa menjawab semua pertanyaannya. Walaupun terkesan mengintrogasiku, tetapi terkadang Kak Ilham menyelipkan humor ringan yang bisa membuatku tersenyum.
Kak Ilham memang terlalu banyak ber-cas-cis-cus. Namun demikian, setiap celotehannya itu tidak membosankan. Ada saja topik yang dibahas, dari masalah cewek-ceweknya, teman se-gank-nya, hingga soal guru-guru yang tergolong killer pun tak luput diperbincangkan, aku cukup menjadi pendengar yang baik buat dia.
Dan semenjak hari itu, Kak Ilham jadi sering mengantarkan aku pulang setiap kali aku habis mengikuti kegiatan latihan PMR. Tak hanya itu, setiap jam istirahat makan siang, dia pasti menyempatkan diri menemui aku dan mengajakku makan bareng di kantin. Dan dia jugalah yang mentraktirku.
Entahlah ... ada maksud apa di balik semua ini, aku merasa dia terlalu baik menunjukan sikapnya terhadapku. Aku bingung dengan semua itu, tetapi aku masih menganggapnya biasa saja, walaupun sebenarnya sudah melenceng dari kewajaran.
Makin hari aku dan Kak Ilham semakin dekat, dan semakin jauh pulalah aku mengenalnya. Semua kegiatan dan teman-temannya di sekolah aku juga mengetahuinya. Dia jago bermain basket, dia juga salah satu siswa yang menjabat di pengurusan OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Kak Ilham itu cukup populer di sekolah, karena aktif di beberapa kegiatan ekstrakulikuler. Diam-diam aku mengaguminya. Cuma sebatas kagum dan hanya memuji, tidak lebih!
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan.
Dan tak terasa, kini tiba saatnya pelantikan anggota PMR dengan mengadakan persami (perkemahan sabtu minggu). Hari pertama, aku mengikuti kegiatan ini, aku bisa menjalankan dan menyelesaikan tugas dengan baik. Namun, karena banyak acara dan kegiatan yang menguras fisik, pada hari kedua kondisi tubuhku menjadi drop dan jatuh sakit. Sehingga pada malam puncak pelantikan terpaksa aku tidak mengikutinya. Semua anggota PMR junior melakukan malam perenungan dan meninggalkan tenda. Sementara aku yang sedang tidak enak badan terpaksa harus berdiam diri dan bertugas menjaga tenda. Namun, satu hal yang cukup membuatku heran, ternyata Kak Ilham juga lebih memilih jaga tenda dan menemani aku, padahal sebagai salah satu panitia dan senior PMR seharusnya dia wajib mengikuti acara tersebut untuk menggembleng para junior-nya.
''Kenapa Kak Ilham tidak ikut malam perenungan, Kak?" tanyaku.
''Karena aku ingin menjagamu, Bay!'' jawab Kak Ilham mengharukan, tetapi alasan ini tidak cukup masuk akal.
''Ah ... Kak Ilham bisa aja ... aku baik-baik saja kok, Kak!''
''Beneran kamu baik-baik saja, Bay?'' Kak Ilham mendekati aku dan memeriksa suhu tubuhku dengan menempelkan telapak tangannya di leher dan keningku. "Tuh ... badan kamu masih panas, kok ... kamu masih demam, 'kan?'' lanjutnya berkomentar.
Aku terdiam dan memandang Kak Ilham dengan sejuta pertanyaan yang muncul dalam benakku.
''Udah, deh ... kamu sebaiknya istirahat saja, Bay!'' Kak Ilham menarik badanku dan membaringkannya di atas tikar, lalu dengan telaten dia menyelimuti tubuhku dengan selembar kain sarung.
''Kenapa Kakak baik sekali kepadaku?'' ujarku perlahan. Kak Ilham tidak langsung menjawab dia hanya menatapku sejenak, lalu tersenyum. Cowok berwajah lonjong ini berbaring di sampingku.
''Karena kamu adalah junior-ku ...'' jawab Kak Ilham sambil memandangku lekat-lekat.
''Junior Kakak 'kan tidak hanya aku, Kak ...'' tukasku.
''Ya, benar ...''
''Terus ... kenapa Kakak memperlakukan aku se-spesial ini?''
''Apa kamu tidak suka ... atau kamu keberatan, Bay?''
''Tidak ... aku senang ... dan tidak keberatan!''
''Kalau begitu ... tidak ada masalah, 'kan?''
Aku meringis dan mengangguk, lalu aku memalingkan pandanganku ke atas langit-langit tenda dan berusaha membuang pikiran negatif tentang diri, Kak Ilham. Aku memejamkan mataku seraya berguman dalam hati, aku bingung ... aku tidak tahu ... sebenarnya ada udang apa di balik batu hatinya Kak Ilham? __Aneh!
Saat aku mulai menutup kedua mataku, saat itulah aku merasakan tangan Kak Ilham mengusap-usap lembut keningku, aku tak bereaksi dan membiarkan Kak Ilham mengurut lengan dan kakiku. Aku pura-pura tertidur pulas dan menunggu apa yang akan dilakukan oleh Kak Ilham selanjutnya.
Semenit ... dua menit ... belum ada aksi yang mencurigakan, hingga di menit ketiga aku merasakan ada kecupan mesra yang mendarat di keningku dari bibir Kak Ilham. Sontak saja, aku jadi terkejut dan serentak membuka mataku, lalu dengan refleks aku mendorong tubuh Kak Ilham dan menampar pipinya.
PLAKKK ... PLAAKKK!
''Apa yang kau lakukan padaku, Kak?!'' teriakku dengan nada sangat kesal.
''Sorry, Bay ... aku cuma mengekpresikan perasaanku,'' ujar Kak Ilham dengan wajah memelas dan memohon ampun.
''Apa maksudmu, Kak?''
''Jujur ... aku suka dan sayang sama kamu, Bay!''
''Hah, apa!'' Aku melototkan mataku.
''Jadi, Kakak gay?'' imbuhku sambil menggeleng-gelengkan kepala karena merasa tak yakin dan tidak percaya.
''Pergi kau!'' usirku sambil mendorong tubuh Kak Ilham keluar dari tenda.
''Tinggalkan aku sendiri!'' lanjutku dengan suara keras. Tegas.
''Bayu ... maafkan aku, aku benar-benar sayang dan cinta sama kamu ... please ...'' Kak Ilham tampak berkaca-kaca, matanya memancarkan sebuah ketulusan. Namun, pengakuannya ini membuatku jadi muak dan membencinya.
''Aku benci Kakak!'' ungkapku tegas sembari membuang mukaku dan masuk kembali ke dalam tenda, lalu dengan perasaan yang bercampur aduk aku membenamkan mukaku di bawah tas rangselku.
Aku tutup kuping serta mataku dan tidak mau mendengarkan apa pun yang dijelaskan Kak Ilham. Kalimat terakhir yang kudengar dari mulutnya hanya kata, ''I Love You'' sebuah kalimat yang cukup menjijikan yang terngiang di indra pendengaranku, sebelum akhirnya dia pergi. Entah ke mana, aku tidak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
H O r M O n
Historia CortaUntuk 13++ ''Tanyakan pada dirimu ... apakah kamu tidak memiliki rasa sedikit pun terhadapku?'' ujar Kak Ilham masih dengan nada geram. ''Jika benar kamu tidak mempunyai perasaan itu ... aku rela untuk mundur ... dan tidak akan mengganggumu lagi!''...