Part 5

561 48 2
                                    

"Jangan lari!"

Suara dibelakangnya itu membuatnya harus menoleh kearah belakang dengan tetap untuk memfokuskan langkah larinya secepat mungkin. Pemuda dengan topi koala itu berhenti sejenak ketika ia berada di persimpangan jalan. Mata rusanya menengok ke kanan dan ke kiri dengan ribut. Ia menggigit bibir bawahnya untuk sesaat. Memegang erat tali tas miliknya dan kemudian memutuskan untuk berbelok kearah kanan. Si mungil itu kembali berlari dengan secepat yang mungkin dia bisa. Menatap kearah belakang sesekali untuk memastikan jarak antara dirinya dan juga orang-orang yang mengejarnya itu.

Si mungil dengan wajah yang manis itu berhenti sejenak untuk menormalkan deru nafas miliknya. Kembali menimbang kearah mana ia akan lari atau setidaknya menemukan tempat untuk sembunyi.

Ia kembali menggigit bibir bawahnya, kali ini terlihat lebih kuat. Wajahnya terlihat gugup dan juga takut diwaktu yang sama. Tubuhnya terlihat menimbang untuk kemana setelah ini.

Uh, Sial sekali, batinnya.

Harusnya ia lebih berhati-hati tadi ketika ia memutuskan untuk kabur dari rumah tanpa sepengetahuan dari orang itu, dan harusnya juga dia juga sudah bisa tahu kalau dirinya tidak bisa kabur kemanapun.

Dia—Luhan sedikit menggerutu ketika dirinya tidak menemukan tempat bersembunyi sama sekali. Menghentakkan kakinya kesal sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menyeberang jalan walau pada kenyataannya lampu untuk para pejalan kaki belum menyala. Suara klakson terdengar nyaring ketika saling bersahutan antara satu mobil dengan mobil lainnya. Luhan tidak menghiraukan itu, mungkin dirinya lebih baik tertabrak mobil dan mungkin akan mati saat ini.

"Brengsek! Apa kau tidak punya mata?!" Luhan membungkuk untuk meminta maaf ketika pengemudi truk itu tiba-tiba berhenti di depannya dan memaki-maki dirinya. Luhan hanya ingin kabur secepatya sebelum suruhan orang itu lebih dekat.

"Luhan! Berhenti disitu!"

Luhan menengok kearah belakang ketika suara itu kembali terdengar. Disana—diseberang jalan dengannya—dua pemuda sebaya dengannya menunduk untuk menormalkan deru nafas mereka,. Luhan tahu mereka pasti kesal karenanya. Tapi sungguh, Luhan hanya ingin keluar untuk beberapa saat dari rumah.

Luhan mengabaikan itu semua. Mengabaikan teriakan dua pemuda itu yang terus menyuruhnya untuk berhenti. Ia terus berlari. Berbelok kearah parkir sebuah café ketika ia mendengar suara dua pemuda yang mengejarnya itu terdengar.

Luhan meringkuk, meringsut kearah body samping mobil dan memeluk tasnya. Berharap tidak ada yang menemukannya ketika bersembunyi disini. Si mungil itu mencoba meneralkan nafasnya yang tersenggal-senggal. Ia terlalu jauh berlari. Luhan yakin betisnya kini sudah membesar—mungkin bisa untuk membuatnya terlihat seperti pemain sepak bola.

"Apa mereka sudah pergi?" Luhan bergumam yang tidak lebih dari sebuah bisikan. Dia sedikit melonggokkan kepalanya untuk melihat apakah para pengejarnya tadi sudah jauh. menenggok ke kanan dan ke kiri dan kemudian tersenyum lega. "Akhirnya…"

Berdiri dan kemudian meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku setelah olahraga larinya tadi. Pemuda mungil itu berbalik dan kemudian tubuhnya menabrak seseorang.

"Appo.." Luhan meringgis sakit ketika pantatnya mencium lantai beraspal area parkir café ini. Luhan menatap pemuda yang kini berada di hadapannya dengan tatapan kesal. Kesal sekali. Pemuda itu membuatnya jatuh dan hanya menatapnya dengan tatapan datar tak berekspresi. Harusnya dia menolongnya, memberinya sebuah uluran tangan dan membantunya untuk berdiri, bukan berdiri seperti patung begitu.

Wind Oh SehunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang