13

1.5K 113 7
                                    

Aku tidak bisa bergerak, bahkan aku menahan nafasku sejenak. Aku masih berusaha mencerna keadaan. Jungkook?

Mengapa aku?

Dia menghentikan ciumannya yang tak diindahkan olehku. Klasik, tapi my first kiss... he even not my first love, so why he deserve my first kiss?

Aku bisa melihat tatapannya yang berubah. Apa dia menyadari ketidaksukaanku akan tindakannya barusan?

Aku bisa saja menyukainya, tapi tidak lebih dari saudara. Aku sangat mengenalnya, tapi bukan berarti aku harus berakhir memiliki hubungan spesial dengannya. Apa aku salah menyayanginya hanya sebatas teman? kalau pun lebih, aku hanya bisa menyayanginya sebagai saudaraku. Tidak lebih.

Ketimbang memikirkan apa yang harus aku lakukan akan tindakannya padaku, aku berusaha untuk memikirkan hal itu nanti saja. Karena aku lebih khawatir melihat luka yang berada di dirinya dan Jimin. Aku memerhatikan Jungkook. Seluruh badannya babak belur. Jimin memukulnya hingga begini? Padahal aku akan mengira, tubuhnya tidak separah ini mengingat dia sangat jago berkelahi.

"Aku akan ambilkan obat," ujarku pelan. Berusaha mengendalikan suaraku yang bergetar. "Jangan memukulnya lagi." Lanjutku.

"Why?" aku tidak bergerak sedikitpun, tahu bahwa dia masih ingin menyelesaikan kalimatnya. "Why him?"

Aku tidak pernah berkata bahwa aku memilihnya, mengapa dia menyimpulkan semaunya? "Kookie," panggilku, nyaris terdengar seperti ingin menangis. "Hentikan," sambungku, "tolong."

"Aku tahu," lanjutnya, tak mengindahkan permintaanku, "Aku melihat bagaimana kau menatapnya. Tatapan itu. Kau akan--" Dia tidak melanjutkan kata-katanya.

Aku menggeleng. Bukannya aku tidak setuju, kepalaku hanya pusing sehabis melihat perkelahian tadi. Melihat mereka babak belur seperti itu, membuatku khawatir. Aku tidak bisa memikirkan itu sekarang. Hal seperti itu mungkin saja terjadi, tapi bukankah yang harus kulakukan sekarang adalah yang menurutku penting?

"Aku tidak tahu, Kookie. Kumohon jangan seperti ini, aku harus mengobati kalian."

Baru saja akan bergegas, Jimin datang menghampiri kami. Oh Tuhan, kenapa aku tidak sadar? Dia bahkan jauh lebih parah dari Jungkook. Seharusnya aku membantunya berdiri tadi. Dia bahkan berjalan dengan susah payah, wajahnya dipenuhi lebih banyak luka. Hatiku semakin merasakan pilu melihat dia yang masih dapat menorehkan senyum padaku.

"Ayo aku obati." Ucapku pelan, sembari memerhatikan tiap inci wajahnya. Aku tak tahu tapi rasanya aku ingin menangis sekarang juga. Wajahnya benar-benar penuh lebam. Dan sudut bibirnya seperti habis mengeluarkan cukup banyak darah.

"Aku baik-baik saja," ujar Jimin lembut. Tatapan dan senyumnya menyiratkan rasa sedih dan sakit. Ya Tuhan, aku tak ingin melihatnya menatapku seperti ini. Dia menatapku seakan setelah ini dia tak bisa melihatku lagi.

Dia menyentuh rambutku, sentuhannya sangat pelan, seakan rambutku adalah sesuatu yang rapuh. "Terima kasih," suaranya seperti dicekik. Dia harus minum. Aku tak suka suaranya seperti ini. Dia seperti bukan Jimin.

Aku tak bisa melihatnya seperti ini. Tapi aku bahkan tidak bisa bergerak sedikitpun. Tatapannya seakan mengunciku. Seperti memintaku untuk tetap berada di dekatnya. Aku merasakan sentuhan lembutnya di permukaan pipiku. Aku tidak bisa memandang kemana pun kecuali tatapan teduhnya.

"Aku menyukaimu."

Dan aku tahu, ucapannya lebih dalam dari itu.

Aku bisa merasakan makna yang jauh lebih dalam dari itu.

Mungkin Jungkook benar, aku akan jatuh padanya sebelum menyadarinya.

Aku rasa, saat aku ingin menjadi temannya, bukanlah rasa sesungguhnya. Itu hanya awal di mana aku mulai membuat diriku untuk masuk ke dalam hatinya. Mungkin aku tidak ingin mengenalnya sebagai teman, mungkin itu hanyalah sugesti untuk menutupi bahwa aku ingin memiliki orang yang seperti itu di dalam hidupku, seumur hidupku.

Mungkin aku jatuh padanya sebelum aku sadar rasanya jatuh.

Terlalu banyak hal yang terjadi, dan melihatnya terluka seperti ini membuatku tidak bisa mengendalikan diri dengan benar. Aku tak ingin menangis lagi di depannya. Tidak di saat dia seperti ini.

Dia menjauhkan tangannya dariku. Membuat gestur segera pergi dari hadapanku.

Jangan,

Tanpa dibayangkan pun, aku tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang telah menjadi bagian penting dari hidupmu. Aku tidak ingin dia pergi dariku.

"Stay." Ucapku lirih. Aku menahan salah satu tangannya. "Please stay."

Dia berbalik, menatapku. Aku melihat binar matanya, dan aku tahu, ia akan selalu bersamaku. Dan ini akan menjadi awal dari kisah kami.

END

Jimin?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang