(6) Calon Mami Mail

6.1K 739 1
                                    

"Akhirnya kamu mau pulang juga?"

Hadi Rahardjo menyamhut anak semata wayangnya di ruang tamu, anak buahnya tadi sudah mengabarkannya jika Mail akan pulang ke rumah. Setelah anak itu kabur dari rumah karena tidak ingin melanjutkan kuliah di luar negeri, Mail yang terlahir dari keluarga Sultan sejak jaman Hadi kecil tentu menjadi kebanggaan juga kesulitan baginya. Bangga karena keluarganya bukan orang sembarangan tapi juga kesulitan karena dia tak bisa berteman dengan siapa saja sebab Hadi takut jika orang itu merupakan musuh dan akan mencelakai anak lelakinya.

Ismail Rahardjo atau biasa dipanggil Mail, nama yang sebenarnya tak disukanya karena terlalu kampungan alias tidak keren sama sekali. Ini semua gara-gara oma yang mengusulkan nama Ismail untuknya, lihat kan sekarang nama itu malah ejekan dari bosnya sekarang.

"Ada barang aku ketinggalan lagi, mau aku ambil abis itu pergi lagi." Mail mengabaikan Hadi lalu berjalan cepat ke lantai atas di mana kamarnya berada.

Tanpa disadari Mail, Hadi mengikutinya sampai kamar.

"Papi mau ngomong sama kamu," kata Hadi bersekedap depan pintu. Mail melirik sekilas lalu mengambil laptop di atas meja belajar lalu dia masukkan ke dalam tas.

"Aku nggak ada waktu, Pi. Lain kali aja." Mail berjalan melewati Hadi yang langsung membuka suara.

"Papi bilang sekarang ya sekarang. Ayo, ikut ke ruang kerja Papi." Hadi berjalan mendahului Mail yang mematung di tempatnya, dia menghela napas kasar lalu mengikuti langkah Hadi menuju ruang kerjanya yang berada di lantai satu.

"Kemarin Papi ke kedai kopi tempat kamu bekerja, kenapa malah lari?" tanya Hadi tanpa basa basi.

Mail kegelapan di tempat duduknya. "Nggh, aku sakit perut, Pi. Bukannya kabur," elaknya cepat.

Wajah datar Hadi masih menatapnya tajam sebelum akhirnya mengulum senyum kecil, mata Mail bahkan mengerjab beberapa kali untuk memastikan jika dirinya tak sedang halusinasi. Seorang Hadi bisa tersenyum juga, dua puluh tahun hidup bersama yang Mail tahu Papinya merupakan manusia robot. Jangkan tertawa atau sekedar bercanda bersama, Papinya tersenyum saja tidak pernah.

Namun, ketakutan Mail semakin meningkat, lebih baik melihat wajah datar Papinya ketimbang senyum berjuta makna tersirat di dalamnya.

"Ada apa? Ngapain Papi senyum gitu?" tanyanya curiga.

Hadi mendekatkan diri hingga dadanya menyentuh meja kerjanya, kedua tangannya saling bertaut di atas meja sedang sikunya menjadi penyangga. Masih dengan senyum kecil menghiasi wajah tampannya Hadi pun membuka suara. "Papi mau berterima kasih sama kamu, berkat kamu Papi bisa bertemu lagi dengan gadis itu?"

"Gadis?" Kening Mail berkerut dalam. "Apa maksud Papi? Aku nggak ngerti."

"Kamu masih mau buka distro dengan jualan baju brand kamu, kan?" Bukannya menjawab rasa penasaran anaknya, Hadi malah bertanya balik.

Di luar dugaan Mail malah semakin curiga. "Maulah, tapi Papi jawab dulu apa maksud Papi tadi. Gadis siapa sih?"

Hadi mengibaskan sebelah tangannya. "Papi akan memberikan kamu modal untuk buka distro dengan brand nama kamu, tapi dengan satu syarat."

"Hah? Gimana gimana?" Mail semakin bingung dong karena pertanyaannya tidak dijawab-jawab, dia mengabaikan itu. Fokusnya sekarang ingin memastikan apa yang dikatakan Hadi bukan hanya kebohongan semata. "Papi nggak lagi ngerjain aku, kan?"

Hadi menggeleng santai, badannya dia tegakkan lalu tautan tangannya terlepas. "Nggaklah, kamu akan mendapat kebebasan seperti yang kamu minta dulu. Bisa buka distro dengan brand nama kamu, Papi nggak akan larang atau menentang lagi. Asal kamu mau ngelakuin sesuatu buat Papi."

"Apa?" tanya Mail cepat, tidak mau Hadi tiba-tiba berubah pikiran.

"Kamu hanya perlu menyakinkan Enzy buat mau jadi istri Papi."

"What?!" Mata Mail melotot seketika.

***

"Hei, temannya Upin Ipin sini bentar." Enzy melambaikan tangannya ke arah Mail yang berjalan di depannya.

Mail spontan tersenyum manis. "Iya, Mbak Bos yang paling cantik." Berjalan cepat dan berhenti di depan meja kasir.

"Gue mau minta tolong dong," pinta Enzy mengedipkan matanya, Mail diam-diam bergidik ngeri. Bosnya yang satu ini seperti punya kepribadian ganda. Kadang galaknya melebihi harder milik tetangganya, kadang juga manis seperti kucing persia milik teman sekolahnya dulu.

"Apa yang bisa gue bantu, Mbak Bos?"

"Beliin gue rujak di daerah Pondok Indah dong," ucapnya memelas.

Mail mengerutkan keningnya. "Lho, kalau mau rujak kan bisa di dekat-dekat sini juga banyak, Mbak Bos. Kalau ke Menteng kan jauh benget."

Wajah manis itu kian memelas. "Tapi kan gue ngidamnya yang di Pondok Indah aja, Il."

"Mbak Bos nggak lagi hamil, kan?" Mail menyipitkan matanya curiga. Bagaimana bisa perempuan yang akan menjadi calon Maminya sudah hamil di luar nikah.

"Hei! Jangan sembarangan ngomong lo ya. Siapa yang bilang kalau gue lagi hamil, hah?" teriak Enzy membuat lelaki itu menutup kedua telinganya.

"Tuh Mbak Bos kan bilang lagi ngidam."

Enzy memukul kepala Mail memakai sendok kayu miliknya. "Gue emang ngidam tapi nggak lagi hamil, Bego! Udah ah, lo mau tolongin gue nggak nih?"

Mail menelan ludahnya susah payah, pasalnya Pondok Indah dari sini sangat jauh belum lagi macetnya. Lihat jam bahkan sudah menunjukkan pukul lima sore yang artinya jalanan akan ramai oleh pengendara yang hendak pulang dari kantor.

Pertanyaan Enzy pun membuatnya semakin tertekan, mau menolak takut di gebukin sama perempuan itu tapi kalau jika mengiyakan harus rela menahan gondok karena kemacetan di mana-mana.

Mail jadi bimbang.

Tapi sepertinya Tuhan masih sayang padanya, di tengah kegalauannya tiba-tiba saja pesan masuk dari ponselnya nama Papi terpampang jelas di layar. Otak pintarnya dengan cepat mencerna sebuah ide yang sangat brilian.

"Mau dong, Mbak Bos. Gue jalan sekarang," pamitnya pada Enzy.

"Mail, duitnya ketinggilan, Bego!" teriak Enzy menghentikan langkah Mail yang sudah siap membuka pintu kedai.

"Nggak usah, Mbak Bos. Gue traktir." Tanpa menunggu jawaban dari Enzy, dia segera berlari ke parkiran di mana motornya berada. Motor Aerox miliknya melaju cepat ke jalan raya, baru beberapa meter dia membelokkan ke parkiran Indomaret Fresh. Setelah membuka helmnya dia masuk ke dalam Indomaret itu mengambil pop mie dan sosis so nice serta keju. Tak lupa dia mengambil kopi kenangan rasa mantancino dan air mineral.

Selagi dia menunggu pop mie di panaskan di dalam microwave, dia mengambil ponselnya dan membuka pesan untuk membalas pesan Papinya. Lalu tersenyum lebar begitu pesannya terkirim.

Tak lama balasan dari Papinya dengan cepat masuk ke ponselnya.

Mail mendengus geli membaca balasan chat dari Papinya, selama mengenal manusia robot macam Papinya baru kali ini balasan chatnya sangat menggelikan hingga membuatnya bergidik ngeri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Mail mendengus geli membaca balasan chat dari Papinya, selama mengenal manusia robot macam Papinya baru kali ini balasan chatnya sangat menggelikan hingga membuatnya bergidik ngeri.

"Orang jatuh cinta memang kelihatan begonya. Cih! Papi auto jadi bucin banget ini," ejek Mail menyeringai. Tapi begitu tak bisa dipungkiri jika dia senang melihat perubahan Papinya, lebih terlihat manusiawi.

***

Close FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang