Mima baru saja keluar dari kamar mandi, seraya menggosok rambut dengan handuk dia berjalan keluar dari kamar menuju dapur. Senyum Remi menyambutnya ketika pandangan mereka bertemu.
"Sarapan yuk," ajak Remi mendorong kursi makan tepat berada di sampingnya untuk Mima.
"Thanks, Rem." Mima menyimpan handuk di pakainya di sandaran kursi makan. Remi menggerutu sembari menyendokkan nasi goreng buatannya ke dalam mulut, Mima yang menyadari itu lantas menoleh pada sahabatnya itu.
"Ada apa?" tanya Mima santai, mengangkat sebelah alisnya menunggu jawaban dari Remi.
Remi menyentak sendoknya lumayan keras hingga menimbulkan bunyi nyaring. "Udah gue bilang kan jangan panggil Remi."
"Nggak bisa, Rem." Mima kembali fokus pada nasi gorengnya di depannya, selalu enak. Sangat cocok dengan lidahnya yang kadang memilih soal makanan. Beruntung masakan Remi termasuk dalam kriterianya dalam memilih makanan.
"Buktinya semalam bisa!"
"Uhukk." Mima tersendak nasi goreng yang baru saja masuk ke mulutnya, wajahnya sudah memerah juga tenggorokannya sakit. Remi dengan sigap mengambilkan minum untuk Mima serta membantunya dengan mengelus punggungnya.
"Lo nggak papa, kan?" Rasa khawatirnya lebih besar daripada merajuknya.
"Jangan ingat tentang semalam, bisa nggak?" tanya Mima sinis.
"Nggak bisa!" Remi tersenyum menggoda. "Gue nggak akan bisa lupa tentang semalam seumur hidup gue, lo tahu kenapa?" Mima membuang muka ke arah lain, mengabaikan itu Remi kembali melanjutkan. "Karena kemarin malam pertama kalinya lo teriak-teriak manggil gue El."
"Remi, gue bilang diam!" Mima menyerang Remi dengan pukulan bertubi-tubi, bukannya menghindar Remi malah tetap memasang badannya lalu tergelak puas. Melihat bagaimana merahnya wajah Mima saat ini? Andai saja dia sedang memegang ponsel mungkin dia sudah merekamnya.
"Remiii, ih!"
"Oke oke, gue diam." Remi mengambil kedua tangan Mima agar menghentikan pukulannya, bukannya langsung dilepas Remi lantas mengeratkan pegangan tangannya.
Tatapan Remi berubah intens. "Apaan sih?!" Mima berusaha menyentak tangannya agar dilepaskan, sayangnya genggaman tangan Remi lebih kuat. "Lepas nggak?"
"Nggak akan! Gue nggak akan pernah lepasin lo." Remi berucap serius, ada makna lain di dalamnya. Sayangnya Mima tak peka akan hal itu, buktinya dia hanya memutar bola matanya malas.
"Terserah lo deh!" Mima kembali mencoba melepaskan tangannya. Kali ini berhasil sebab ponsel Mima berdering di atas meja makan.
"Siapa?" tanya Remi kepo.
"Ibu." Mima menunjukkan layar ponselnya pada Remi. "Gue angkat bentar ya." Dia bangkit berjalan menuju balkon, dari sini Remi masih bisa melihat Mima yang sedang serius berbicara dengan Ibunya melalui sambungan telepon. Dia menunggu sampai Mima mengakhiri panggilannya.
"Ibu sehat, kan?"
Mima mengangguk pelan. "Sehat kok, cuma kangen aja katanya." Dia melanjutkan sarapannya yang sempat tertunda akibat drama yang dibuat Remi.
"Seingat gue terakhir pulang ke Sukabumi tiga bulan yang lalu ya?" Mima kembali mengangguk. "Kalau gitu weekend ini kita jengukin Ibu ya, gue temenin, gimana?"
"Ntar deh, lihat waktunya juga." Mima tak menolak tapi tak juga mengiyakan.
"Ya udah, kabarin gue kalau lo mau ke Sukabumi ya?" Remi belum menyerah juga.
"Hmm," gumam Mima yang menelan suapan terakhirnya. Dia bergegas berdiri untuk mencuci piring, tentu saja Mima cukup tahu diri setelah dimasakkan sama Remi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Close Friend
Fiction généraleKatanya, ada tiga kemungkinan yang terjadi di antara persahabatan laki-laki dan perempuan. Pertama, kalau bukan si laki-lakinya yang diam-diam jatuh cinta. Kedua, atau bisa jadi si perempuan yang diam-diam jatuh cinta. Ketiga, keduanya saling cin...