(19) Ternyata Hamil

4.6K 530 1
                                    

"Hoeeekkk... Hoeekkk."

Mima menyeka bibir dan dagunya dengan tissue setelah berhasil mengeluarkan seluruh isi perutnya, dia baru saja habis makan siang dan belum setengah jam selesai makan, gado-gado yang dimakannya kembali keluar. Mima menatap lurus ke arah cermin yang di depannya, mata cengkung, pipi tirus, dan bibir kering pecah-pecah, tampilan bayangannya sungguh mengerikan. Sudah beberapa hari belakangan ini dia merasakan sakit pada seluruh badannya, belum lagi mual yang tak tertahankan. Setiap mencium bau menyengat dari makanan yang akan dia makan, baru tadi dia bisa menghabiskan gado-gado seporsi tanpa mual. Awalnya Mima merasa senang dan tenang tapi setelah makan dia malah muntah-muntah kembali.

"Mbak Mima nggak papa?"

Setya sedari tadi menatap khawatir pada Mima yang habis muntah, gadis itu masih setia di belakangnya dari jarak yang aman.

"Nggak papa kok, Set. Gue cuma masuk angin." Mima berbalik berniat keluar dari toilet perempuan.

"Mau gue bawakan minyak kayu putih, Mbak?" Rupanya Setya masih bertanya bahkan di saat Mima tidak mood untuk sekedar bersuara.

"Gue punya minyak kayu kok, Set. Gue duluan ya." Mima buru-buru keluar dari toilet setelah melihat Setya ingin membuka suaranya lagi.

"Mim, laporan anggaran keuangan untuk proyek di Batam sudah kamu periksa?"

Pak Kadir datang ke mejanya setelah pulang dari meeting bersama para bos di lantai dua puluh lima.

"Maaf, Pak. Saya baru mau periksa semuanya?" Mima meringis melupakan tugasnya saat Pak Kadir akan meeting bersama para bos.

"Kamu sakit?" Sepertinya Pak Kadir menyadari keadaan Mima yang kini tampak pucat.

"Nggak, Pak. Saya baik-baik saja."

Kening Pak Kadir terlipat. "Tapi muka kamu nggak menujukkan kalau kamu baik-baik saja. Kamu yakin bisa bekerja dengan baik?"

"Bisa, Pak. Saya akan segera periksa laporannya setelah itu saya akan menyerahkannya pada Bapak untuk ditandatangani." Jawaban Mima yang lugas membuat Pak Kadir mengalah.

"Mim, tolong minta Sardi bawakan saya kopi."

Sebelum Pak Kadir melangkah masuk ke ruangannya, perkataan Mima menghentikannya. "Maaf, Pak. Tapi Bu Seila melarang Bapak minum kopi lebih dari dua gelas sehari." Dia menyebut nama istri Pak Kadir.

Pak Kadir berbalik. "Ah, tapi saya lagi ngantuk banget, pekerjaan saya juga masih banyak. Saya butuh kopi untuk tetap sadar."

"Baik, Pak. Kalau begitu saya sarankan untuk membuatkan kopi yang punya kadar rendah kafeinnya." Mima mencoba menyarankan opsi lain.

"Terserah kamu saja." Pak Kadir mengibaskan tangannya.

Begitu Pak Kadir menghilang di balik pintu ruangannya, Mima segera memesankan kopi yang biasa dia minum. Dia juga punya kesukaan terhadap hanya saja akibat maag akut yang di deritanya, Mima harus membatasi atau bahkan tidak bisa meminum kopi. Beruntung setelah konsultasi sama dokter sewaktu dia periksa, dokter menyarankan jika ingin meminum kopi bisa hanya saja harus mencari kopi yang punya kadar kafein yang rendah.

Setelah memesan Mima segera membuka map yang berisi laporan keuangan untuk proyek Batam, dengan penuh ketelitian membaca setiap kata di atas kertas tanpa ada terlewat. Membuat laporan seperti ini harus melakukan beberapa kali double check-in agar tidak menimbulkan masalah untuk ke depannya apalagi ini menyangkut soal dana perusahaan.

Namun, entah mengapa semakin berusaha fokus pandangannya semakin buram bahkan tulisan di depannya semakin terbayang-bayang. Matanya beberapa kali mengerjab untuk memfokuskan pandangannya lagi malah kepalanya kian pusing seperti ada dihamtan batu besar. Sampai akhirnya dia tak kuat lagi menahannya, pandangan Mima menggelap dan dia seketika kehilangan kesadarannya.

***

Remi berlari sepanjang koridor rumah sakit sambil membawa kantung plastik Indomaret di tangannya, setelah mendapat kabar dari suster jika Mima telah sadar dari pingsannya. Dia lantas bergegas kembali ke rumah sakit.

Siang tadi saat dirinya tiba di kantor setelah meeting dengan klien, tiba-tiba rasa rindu ingin melihat Mima begitu sangat besar maka dari itu dia langsung ke ruangannya di divisi keuangan lantai lima belas. Ingin sekali cepat-cepat sampai untuk melihat sahabatnya itu. Tapi begitu sampai dia malah terkejut mendapati kepala Mima terhuyung ke depan menabrak meja hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras.

Saat sadar Mima pingsan, tanpa berpikir panjang Remi segera membawa sahabatnya itu ke rumah sakit terdekat guna mendapatkan perawatan. Rasa rindu yang tadinya dia rasakan kini berubah menjadi takut, panik, sedih, dan khawatir. Apalagi melihat wajah Mima yang pucat pasi seputih kapas.

Brak...

Pintu kamar inap milik Mima terbuka kasar dari luar, napas Remi yang ngos-ngosan sehabis lari tapi tampak dari raut wajahnya menampakkan kelegaan yang luar biasa. Bisa melihat Mima yang kini duduk di ranjang dengan infus tertancap di tangan kanannya, wajahnya sudah tak sepucat tadi tapi tak bisa dipungkiri jika mata indah itu tampak sayu.

Ketika mata keduanya bertemu, senyum lebar menghias wajah Remi. Lelaki itu mendekat lalu duduk di pinggir ranjang. "Gimana keadaan lo? Udah lebih baik, kan? Atau ada yang sakit?" Pertanyaan beruntun keluar dari bibir Remi, meski kian lega tapi tak bisa dia elakkan rasa cemas itu masih ada.

"Baik kok, tenang aja nggak ada yang sakit. Gue kayaknya hanya butuh istirahat aja." Mima tersenyum kecil, berusaha menenangkan sahabatnya itu.

"Oh iya, lo pasti lapar, kan? Ini gue bawakan roti buat lo, tadi gue dari Indomaret depan." Remi mengeluarkan seluruh belanjaan untuk diberikan pada Mima. "Pasti maag lo kambuh lagi, kan? Nih, makan ini dulu. Gue juga udah pesan bubur buat lo. Mungkin bentar lagi sampai."

"Makasih ya, Rem. Lo udah sigap bawa ke rumah sakit," ucap Mima tulus.

Remi menghentikan gerakannya mengambil susu ultra strawberry milik Mima, dia pun mendongak hingga pandangan keduanya bertemu. "Udah kewajiban gue menolong teman terbaik gue, kan?" Lelaki itu mengedipkan sebelah matanya. "Lagian ya, kenapa lo bisa pingsan sih? Maag lo kambuh lagi. Lo pasti melewatkan makan siang, kan?"

Mima menghembuskan napasnya. "Nggak tahu juga, beberapa hari ini gue sering mual bahkan muntah-muntah. Makanan yang masuk nggak pernah bertahan sampai lima menit dalam perut gue, pasti akan keluar. Mungkin saja gue masuk angin."

"Emang dokter bilang apa?"

Sebelum Mima membuka mulutnya, suara ketukan disusul pintu terbuka dari luar menghentikan Mima.

"Selamat sore, Pak, Bu," sapa seorang dokter perempuan yang berusia lima puluh tahun, di belakangnya tampak suster berjalan dengan membawa sebuah map di tangan kanannya.

"Sore, Dok," balas keduanya kompak.

"Saya izin periksa dulu ya, Bu."

Remi pun mengerti dengan sigap berdiri dari duduknya lalu mundur dua langkah, membiarkan dokter paruh baya itu memeriksa Mima.

"Tekanan darahnya cukup rendah, juga asam lambung Ibu juga naik. Apa Ibu punya riwayat penyakit maag?" tanya dokter itu membuat Mima mengangguk kecil. "Baiklah, saya akan kasih resep vitamin dan obat maag yang aman buat dikonsumsi oleh Ibu hamil. Ibu juga bisa langsung pulang hari ini juga, begitu cairan infus habis. Saya juga harap ke depannya Ibu jaga kesehatan ya, awal trimester memang rawan mual dan muntah tapi Ibu juga harus tetap makan. Kalau nggak bisa makan nasi, Ibu bisa makan buah atau minum susu hamil."

"Tunggu, Dok. Tadi Dokter bilang saya hamil?"

Dokter dan suster di belakangnya tersenyum lebar. "Iya, Bu. Ibu sedang hamil. Usia janinnya masih sangat kecil, sekitar enam minggu," jelasnya tenang.

Berbanding balik dengan Mima dan Remi yang mematung di tempatnya masing-masing, pernyataan dokter sungguh membuat keduanya shock bahkan tak bisa berkata-kata lagi. Wajah Mima yang tadinya sudah tak sepucat itu malah semakin pucat seolah tidak ada darah mengalir di sana. Begitupun dengan Remi.

Jadi selama ini Mima sering mual dan muntah bukan karena masuk angin ataupun maagnya kambuh, tapi karena dia sedang hamil. Tentunya anak dari sahabatnya sendiri, Elbizar Remi.

***

Close FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang