(21) Status Suami Istri

4.6K 501 1
                                    

Mima menatap pantulannya di cermin, kebaya putih tulang masih membungkus tubuh mungilnya dipadu rok batik berwarna silver. Sudah sejam yang lalu acara akad nikah dilaksanakan di Sukabumi, acara berjalan lancar dan sekarang dia sedang berada di kamarnya. Duduk diam dengan pandangan kosong.

Masih jelas dalam ingatannya saat dirinya jatuh pingsan dan di larikan ke rumah sakit. Ketika sadar Remi langsung mengatakan kalimat yang membuat tubuhnya menegang di tempat.

"Ayo kita menikah, Mim."

"Kamu gila!" pekik Mima saat itu, meski tubuhnya masih lemah dia tetap bisa berteriak pada Remi.

"Gue akan tanggung jawab, jadi ayo nikah, Mim. Demi anak itu."

"Nggak!" Mata Mima memajam, suara terdengar tegas dan tak ingin dibantah sama sekali. "Jangan jadikan anak ini alasan, lagian gue udah membuat keputusan. Anak ini nggak akan gue lahirkan di dunia, titik. Masalah selesai."

"Mimaa!!" Napas Remi memburu, menahan segala emosi yang siap keluar. "Jangan bicara sembarangan lo! Anak itu nggak bersalah!"

"Karena anak ini nggak bersalah makanya sebaiknya dia digugurkan saja, dia lahir pun akan menjadi aib dan akan dia bawa seumur hidupnya."

Remi spontan berjongkok di hadapan Mima, seraya menggengam tangannya. "Mim, apa lo tega bunuh dia? Dia nggak berdosa, kita yang berdosa. Dia pantas merasakan hidup di dunia."

Mima menghempaskan tangannya. "Lo sengaja, kan? Ini udah lo rencanakan, kan? Lo ngejebak gue melalui anak ini? Iya, ngaku lo?!"

Remi menggelengkan kepalanya, tak percaya dengan tuduhan yang dilayangkan Mima padanya. "Terserah lo mau percaya atau nggak, gue emang sayang sama lo tapi gue nggak pernah sekali pun berpikir sepicik itu. Gue juga kaget, shock, bingung. Hanya saja gue berusaha menerima kenyataan, mungkin ini jalan dari Tuhan agar gue berhenti melakukan dosa. Mungkin melalui anak itu gue bisa menebus segala dosa gue di masa lalu."

Mima menundukkan kepalanya, rambutnya yang biasanya rapi kini terlihat lepek akibat keringat.

"Mim," panggil Remi masih dengan posisi berjongkok. "Kalau lo berniat menggugurkan anak ini, itu sama kita melakukan dosa kembali karena selain kita membunuhnya, kita juga sudah merampas haknya untuk hidup."

"Mbak, aku boleh masuk nggak?" Jeni menyembulkan kepalanya dari balik pintu, meminta izin untuk masuk ke kamar kakaknya.

Mima menoleh lalu tersenyum kecil. "Masuk aja, Jen."

Setelah mendapatkan izin Jeni melangkah masuk dan duduk di pinggir ranjang, jangan harapkan kamar Mima akan didekor layaknya kamar pengantin pada umumnya. Pernikahannya saja dilakukan dengan sederhana, hanya mengundang tetangga dekat rumahnya di Sukabumi. Mima yang meminta pada Ibu untuk menyiapkan pernikahan yang sederhana saja. Awalnya Ibu terkejut mendengar kabar anak pertamanya ingin menikah, tidak ada angin tidak ada hujan Mima pulang ke Sukabumi memberitahu Ibu jika ingin menikah dengan sahabatnya yang tidak lain tidak bukan adalah Remi.

Tentu Mima tak menjelaskan secara detail apalagi menceritakan jika dirinya sedang mengandung saat ini, dia hanya mengatakan ingin menikah dengan Remi karena selama ini mereka menjalin kasih selama setahun, saling jatuh cinta lalu akhirnya memutuskan untuk menikah, itu saja.

Ibu yang tak curiga sama sekali pun merestui dan segera menyiapkan pernikahan untuk anak perempuannya itu. Apalagi beliau sudah sangat mengenal baik Remi, tentunya Ibu percaya Remi bisa membahagiakan dan menjaga Mima dengan baik.

"Mbak, aku boleh tanya sesuatu nggak?"

Mima membalikkan badannya menghadap Jeni menganggukkan kepala. "Boleh, mau tanya apa?"

Meski terlihat ragu Jeni tetap teguh pada pendiriannya karena rasa penasarannya lebih besar. "Kok Mbak Enzy, Mas Abadi, dan Mas Duta nggak hadir akadnya Mbak sama Mas Remi?"

"Mbak udah bilang kan kalau mereka lagi sibuk, Abadi baru bisa bebas kembali ke kantor akibat skandal mantannya, Duta dan Enzy sibuk di mini bar karena mau buka cabang."

Alasan yang dipikirkan Mima beberapa hari ini, cukup masuk akal di telinga keluarganya. Karena sebenarnya tidak ada satupun dari sahabatnya yang tahu tentang pernikahannya keduanya.

***

"Kita akan tinggal di apartemen untuk sementara ya, aku udah coba cari rumah yang dekat dengan kantor. Tapi belum dapat, semoga secepatnya kita bisa dapat rumah yang nyaman ditinggali ya."

Gerakan tangan Mima membuka koper terhenti, matanya menoleh sekilas ke arah Remi sebelum mengangguk kecil. "Terserah, gue ikut lo aja."

"Mim, yang sopan dong. Aku kan sekarang suami kamu."

Mima mendengus. "Lo tahu kita menikah demi anak ini, gue harap nggak ada berubah diantara kita. Selain kita tinggal satu atap dan status kita yang suami istri."

Remi menghembuskan napas kasar, terlalu lelah menyetir dari Sukabumi akhirnya dia mengalah. "Besok aku antar ambil barang kamu di kontrakan, malam ini kita istirahat aja."

"Hmm." Respon Mima hanya berdehem kecil.

Setelah membersihkan diri, Remi naik ke atas ranjangnya untuk istirahat. Mima yang masih fokus sama kopernya hanya melirik sekilas sebelum mengambil baju dasternya yang biasa dipakai tidur. Tanpa canggung dia pun berbaring di samping Remi, matanya menatap langit-langit kamar, kamar yang sering dia tempati ketika menginap di apartemen sahabatnya itu atau bisa dia sebut sebagai suami mulai hari ini.

Mima masih tidak percaya dia akan berada di posisi sejauh ini bersama Remi, padahal rencana masa depannya bukan menikah apalagi dengan sahabatnya itu. Tapi apa mau dikata, takdir mereka ternyata saling terikat satu sama lain. Dia mengusap lembut perutnya yang terasa mulai menojol di telapak tangannya. Anak ini akan segera hadir dalam hidupnya dengan Remi. Entah apa yang akan terjadi ke depannya, Mima hanya berharap jalannya ke depan berjalan mulus.

Rasa kantuk mulai menyerangnya, matanya pun perlahan menutup seiring pikirannya melalang buana masuk ke alam mimpi. Yang dia ingat terakhir kalinya aroma Remi yang begitu dekat dengan serta sebuah pelukannya di perutnya setelah itu dia hilang kesadaran.

Pagi menjelang matahari pun mulai menampakkan sinarnya, rasa hangat menjalar masuk melalui sela gorden yang terbuka. Mima menggeliat pelan sebelum akhirnya membuka matanya, menghalau sinar dengan mengerjabkan beberapa kali seraya mengumpulkan nyawa.

Mima menoleh merasakan napas di telinganya, wajah Remi yang berjarak lima senti dari wajahnya masih terlelap. Wajah yang biasanya tampak konyol kini menampakkan wajah polos khas anak kecil. Rupa Remi bisa dikatakan cukup sempurna, dengan alis yang tebal, mata yang tajam, rahang yang tegas, dagu yang runcing, serta bibir tipis yang merah yang alami. Remi memang diciptakan lebih dari segalanya, sayangnya tak ada manusia sempurna di dunia ini. Meski terlihat sempurna Remi pun punya kekurangan yang tak banyak orang yang tahu.

Remi yang terlihat bersih dan rapi ketika berada di luar, berbanding balik ketika lelaki itu berada di rumah. Selain jarang mandi jika tidak ada kepentingan di luar, Remi juga sering buang angin sembarangan, suka upil dan membuangnya ke tempat di mana tangannya bisa menjangkau, suka ileran saat tidur, dan segala macam kejorokkan lainnya.

"Mim," Sebuah panggilan menyadarkan Mima dari lamunannya. Sebuah usapan lembut pada perutnya membuat Mima merasa hangat seketika. "Selamat pagi," sapa Remi dengan suara serak seraya mengecup pipi kanannya. Kemudian lelaki itu bangkit menundukkan kepalanya ke arah perutnya. "Selamat pagi juga, Baby duck." Tak lupa Remi membubuhkan ciuman di sekitar perutnya.

Mima mendorong kepala Remi menjauh dari perutnya. "Sana! Gue mau mandi."

Remi segera menahannya. "Emang mau ke mana? Kamu kan masih cuti."

"Terus kalau gue cuti nggak boleh mandi gitu? Emang gue itu lo!" Mima menghempaskan tangan Remi yang masih berada di perutnya.

"Aku ikut." Remi segera melompat dari ranjang berlari ke kamar mandi, sayangnya gerekannya kalah cepat dengan Mima karena sedetik dia mencapai kamar mandi pintu sudah di tutup oleh Mima disusul teriakan dari dalam.

"Lo mandi di luar!"

***

Yuhuuu update lagi🥳🥳😎

Close FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang