(24) Nangis Kejer

4.4K 441 6
                                    

Sabtu pagi begitu cerah, secerah perasaan Remi. Hari ini mereka akan melakukan USG untuk pertama kalinya. Dia sudah tak sabar bertemu langsung dengan anak yang ada di dalam kandungan sahabat sekaligus istrinya. Saking semangatnya dia telah siap dengan kemeja polos warna hitam yang lengannya di gulung sampai siku dipadu celana cargo warna khaki, bahkan Mima saja belum mandi masih dengan daster rumahan yang tampak nyaman di tubuhnya.

"Mau ke mana, Rem?"

Kening Remi mengerut. "Kan mau ke rumah sakit, Yang. Kamu kok belum siap-siap?"

Sebenarnya Mima tampak risih dengan panggilan sayang dari Remi, tapi mau bagaimanapun dia protes tetap saja sahabatnya itu keras kepala. "Ke rumah sakitnya kan entar siang, Rem. Janjian sama dokternya memang sehabis makan siang."

"Lho, bukannya pagi ya?" tanya Remi tampak berpikir keras, seingatnya mereka janjian ke rumah sakit pagi.

Mima menggeleng polos. "Dokter Harlan prakteknya mulai setelah makan siang, Rem. Karena beliau ada jadwal operasi pagi ini."

"Dokter Harlan?" Mata membulat seketika. "Dokternya laki-laki, Mim?"

"Ya namanya aja Dokter Harlan, Rem. Masa iya perempuan," kata Mima jengah.

"NGGAK BOLEH!" Tiba-tiba saja Remi berteriak keras sampai membuat Mima terlonjak kaget.

"Apaan sih, Rem?"

"Aku nggak rela ya kamu disentuh sama laki-laki lain! Pokoknya jangan dokter Harlan deh!" tolak Remi mentah-mentah.

Bukan Mima namanya kalau keras kepala. "Gue maunya dokter Harlan, titik! Kalau lo keberatan ya gue bisa pergi sendiri nanti."

Remi membulatkan matanya. "Kok gitu?"

"Bodoh amatlah! Gue malas berantem, terserah lo mau terima atau nggak. Yang jelas gue nggak akan berubah pikiran, gue maunya dokter Harlan yang periksa anak ini."

"Anak kita," ralat Remi cepat, meski dongkol setengah mati tetap saja dia akan kalah dengan keras kepalanya Mima. Siapa yang bisa melawan keras kepalanya anak pertama+perempuan pula. Kalau ada yang berani itu sama saja cari mati.

Dan di sinilah mereka dalam ruangan dokter kandungan bernama dr. Mahmudi Harlan SpOG yang ternyata masih sangat muda, berusia sekitar awal 30an. Tentu saja hal itu membuat Remi sejak tadi menatap tajam ke arah dokter muda itu yang saat ini mengoleskan gel pada perut Mima. Bukan tidak sadar, dokter Harlan tahu jika tatapan tajam dan menusuk ditunjukkan padanya, dia memcoba mengerti jika suami dari pasiennya sedang terbakar cemburu. Bukan satu dua kali dia mengalami hal ini maka meski tatapan itu seakan ingin membunuhnya dia tetap melakukan pekerjaannya dengan santai.

Harlan dengan singkat menjelaskan setiap detail tentang janin yang berkembang dalam perut Mima, perempuan itu mendengarkan dengan seksama seraya menatap datar ke layar di depannya berbanding balik dengan Remi yang jelas sangat antusias menatap pergerakan di layar sana.

"Nah sekarang kita dengarkan detak jantungnya ya." Dokter Harlan kemudian menekan tombol di dekatnya lalu tak lama suara detak jantung anaknya. "Bisa Bapak dan Ibu dengar kan? Semuanya sehat ya, detak jantungnya juga normal."

Remi tersenyum haru seraya mengenggam tangan Mima erat.

Setelah selesai melakukan USG dan mendapat vitamin serta beberapa resep obat yang aman untuk ibu hamil. Barulah mereka pulang, sebelumnya mampir ke apotek terlebih dahulu untuk menebus obat. Karena Mima punya riwayat maag jadi dia harus mengonsumsi obat untuk lambung yang aman, sejak hamil makanan yang masuk hampir bisa dihitung jari, kadang Mima harus merasakan perih pada lambungnya. Biasanya dia akan minum obat maag yang dikonsumsinya tapi karena lagi hamil dia tak berani minum obat sembarangan.

***

"Huwaaaa..."

"Brengsek tuh Om Om tua! Nggak tahu diri banget! Udah tua, keriput, bau tanah tapi masih aja selingkuh. Sialan!! Arghhhh!"

Teriakan membahana sejak tadi menggema di ruangan Enzy dan Duta, namun karena Duta tak ada di tempat, Enzy dengan leluasa berteriak seraya menangis di sana. Sementara salah satu bosnya menangis histeris di dalam sana, Mei dan Popi yang berdiri depan pintu meringis kecil tanpa ada satupun yang berani masuk bahkan untuk mengetuk pintu mereka takut.

Apalagi bos perempuannya itu dalam keadaan kacau di dalam, Duta saja yang notabene sahabatnya pun tak cukup berani menghadapi Enzy dengan mood seperti ini.

"Mas Bos udah bisa dihubungi nggak?" Popi menggeleng lemah. Meski tahu Duta tak banyak membantu tapi setidaknya jika Mas Bos ada di sini mereka tidak mungkin secemas ini.

"Hapenya masih nggak aktif," jawab Popi lirih seolah takut suaranya akan didengar oleh Enzy.

"Duh, jadi gimana dong? Mbak Bos terus aja teriak kayak gitu, belum lagi...." Belum sempat meneruskan kalimatnya sebuah benda yang dilempar hingga menimbulkan suara yang cukup keras.

Brak...

"Mbak Bos lempar apaan tuh?" tanya Mei panik.

"Sebaiknya kita tunggu sampai Mbak Enzy tenang aja deh, karena menurut pengalaman gue kalau Mbak Enzy dalam mood berantakan kayak gini biasanya Mas Duta biarin dulu sampai tenang baru deh diajak ngobrol. Jadi percuma juga kalau kita telepon Mas Duta sekarang, lagian kan doi lagi urus pembukaan outlet mini bar di daerah Bekasi."

"Gitu ya?" Popi mengangguk yakin. "Oh iya, kok gue nggak lihat Mail sih?"

Popi tersenyum menggoda seraya mencolek dagu Mei. "Kenapa sih? Kangen ya?"

Mei menunduk malu, wajahnya sontak memerah. "Paan sih, Kak Pop. Gue kan cuma nanya aja."

Popi spontan tergelak melihat Mei malu-malu kucing begini, jadi gemes kan.

"Yuk ah, kembali kerja lagi."

Mereka kembali ke depan untuk melayani pelanggan, semuanya tampak sibuk pada kerjaan masing-masing. Hanya saja sejak tadi Mei menatap tangga menuju lantai dua dengan hati yang gelisah, cemas dengan keadaan Mbak Bos di ruangannya.

Sementara di lantai atas Enzy sudah mulai tenang, namun air matanya tak berhenti keluar. Ingatannya kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu saat dirinya dengan percaya diri ingin memberikan kejutan membawakan makan siang untuk Hadi, tapi apa yang didapat setelahnya. Di depan matanya lelaki tua yang mengaku mencintainya malah asyik berpelukan dengan perempuan lain.

"Bangsat! Entah gue sedang sial atau malah harus bersyukur karena tahu kelakuan Om hidung belang itu di belakang gue." Enzy kembali berteriak. "Argghh sialan! Awas aja tuh Om Om gue akan jadikan dia perkedel lalu gue makan sampai habis!"

Tak lama kemudian perutnya spontan berbunyi, dia memegang perutnya lalu berdecak. "Lapar banget."

Galau boleh tapi harus tetap makan!

Maka dia lantas masuk ke kamar mandi mencuci muka kemudian memperbaiki makeup-nya, setelah siap dia berjalan keluar ruangan dan turun ke bawah. Jam makan siang seperti ini mini bar cukup banyak pelanggan, walau tak menjual makan berat seperti nasi tapi pelanggannya rata-rata pencinta kopi itu tak pernah absen datang berkunjung.

Matanya menyapu ke sekeliling mini bar sampai matanya membulat ketika pandangannya bertemu dengan sosok yang membuatnya menangis.

"LO! MAU APA LO KE SINI?" teriakan membahana milik Enzy membuat pengunjung serta pegawai menatap ke arahnya.

***

Close FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang