Chapter 3.

4.2K 307 8
                                    

"Tidak perlu menjadi sempurna untuk menjadi Bahagia."
~_~

***

Melihat keterdiamanku laki laki jangkung di hadapanku ini menjentikan jarinya berkali kali, aku menunduk malu. Lagi lagi dia terkekeh. "Lo gak perlu takut sama gue. Gue baik kog, dan ganteng pasti." ucapnya dengan percaya diri, aku mengangguk kaku.

"Mbhak Ambhar bhilang khallau Mas...nyah mahu ahnter shaya." Di lihatnya aku dari ujung kepala hingga mata kaki, mengetukan jemarinya di dahi dia tersenyum lebar.

"Lo boleh juga di jadiin model." Jengah dengan sikapnya yang tidak serius aku menatapnya lekat lekat dia pun balik menatapku lamat, jika Mas Fiyan memiliki mata coklat terang, laki laki ini memiliki bola mata berwarna hitam setajam elang, rahangnya tegas alisnya tebal dan bibir penuhnya yang banyak bicara itu pasti sudah banyak memakan korban. Menggeleng dengan tegas aku memutus kontak mata denganya.

"Terpesona hemm.." gelengan tegasku membuatnya tertawa. "Becanda kali, lagian Ambar juga udah kasih tau gue kalau lo mau ketemu cowok lo yang kabur kan gara gara udah buntingin lo." Astaga laki laki ini benar benar tidak punya aturan kalau berbicara, dengan sekali hentakan aku menyumpel mulutnya dengan tisu yang sudah aku lumat lumat dalam genggamanku sejak tadi di dalam kereta karena tak tahan akan dinginya Ac. Biar saja tak tahu sopan santun yang jelas mulut songongnya bisa tersumpal untuk sementara, ku lihat dia terbatuk batuk membuatku melewatinya, memasuki Taxi yang laki laki ini bawa.

Masih bisa ku lihat dia misuh misuh di depan Taxi, sang supir Taxi pun hanya cekikikan bersamaku melihatnya masih mendumel, laki laki kog mulutnya lemes banget kayak perempuan. Gimana bangsa ini bisa maju kalau anak mudanya saja sudah kebanyakan mecin dan suka nyinyirin kehidupan pribadi orang lain, memberengut dia memasuki mobil dengan bantingan keras pada pintu membuatku menoleh pada pak sopir yang mengangguk memaklumi.

Blak..

"Lo udah di tolongin juga gak tau terimakasih. Kalau bukan karena masih sayang Ambar, gue ogah bantu Lo kurcaci bunting." Menghela nafas pendek, aku mengusap perut rataku. Dia memicingkan mata ke arahku. "Ngapain ngusap perut gitu hah?" sengitnya, aku mendengus.

"Bhhiarr..ahnak shaya ghak khayak khamu. Lahki lahki khog shuka nyhinyhir, panthesan Mbk Ambhar ndhak mahuuu sahma khamu....khamunya mhulut wedhok ( perempuan )." Dia mendelik, aku tak peduli, ku alihkan pandangan darinya beralie menatap jalanan yang padat merayap di pagi hari yang sedikit mendung ini.

Terjadi keheningan selama perjalanan menuju rumah Mas Fiyan, hingga laki laki di sampingku ini mulai nyerocos lagi, "Rumah laki lo di mana?" tanyanya malas, ku ulurkan secarik kertas dengan alamat yang tak ku pahami sama sekali, karena baru kali ini aku menapakkan kaki di ibu kota dan rasanya kota ini tak akan pernah cocok denganku, aku yang sudah terbiasa hidup di pedesaan yang hijau nan asri harus pindah ke kota padat kendaraan dan asap motor serta debu debu proyek bangunan rasanya membuatku sesak nafas saja.

"Deket ini mah, gue kemarin sempet kesini. Tapi cuman beda blok aja sih." Mengulurkan kertas itu pada pak sopir aku kembali termenung, memilin tali tas ku, aku berdo'a semoga kedatanganku kali ini membuahkan hasil, semoga mereka mau menerimaku dan tak perlu ada penolakan lagi.

"Ceileeeh, mau ketemu calon suami aja geroginya sampek kek gitu. Nih!" Aku menatap sapu tangan merah jambu yang ia keluarkan untukku, "ck, malah di lihatin. Muka lo pucet keringet lo juga udah segede biji jagung, nih lap, daripada ni taxi kebanjiran air asin." sindirnya, mengusap keningku dengan tangan aku lantas mengeluarkan tisu dari dalam tas, bisa ku dengar seseorang menggeram di sampingku.

Duka ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang