Chapter 14.

3.3K 238 20
                                    

"Melepaskan yang tidak benar benar ingin melepaskan.."

~_~

***

Menatap pantulan diriku di depan cermin setelah semuanya beres aku beranjak keluar kamar, namun yang ku temui hanya Mas Jay, berjalan ke arahnya dia sampai tersedak. "Gue gak mimpi, lo nyata kan?" aku mendengus, laki laki ini hidupnya selalu penuh drama, pantas jomlo.

"Mhas Jhay thau Mhas Aghung khe mhana?" Dia mengedikan bahu ke arahku.

"Gue gak tau Bill, udah cobak telfon." Aku menggeleng, mendekat ke arah jendel, hujan dan petir saling menyambar membuat tubuhku menggiggil, menekan 12 dijit angka di layar ponsel aku menghubunginya, namun hanya suara operator yang menjawab. Berkali kali aku mencoba namun hasilnya sama. Menatap Mas Jay yang tengah membawakan aku segelas susu coklat, aku mengucapkan terimakasih.

"Udah bisa." Aku menggeleng lemah. "Mungkin neduh, sabar aja ya! Soalnya tadi dia juga gak pamit kayak buru buru gitu." Aku mengangguk.

"Lo khawatir?" tanyanya, aku hanya diam. Mas Jay menghela nafas berat. "Lo tahu gak kalau Caya itu cinta banget sama lo," lagi lagi aku diam. Mas Jay menatapku dan tersenyum kecil. "Lo cantik banget sih Bill, makanya sahabat gue yang kayak kampret itu bisa jatuh cinta secepet itu sama Lo."

Menghela nafas untuk kesekian kalinya, kali ini Mas Jay menghadap layar lebar di hadapan kami yang tak menampilkan apa apa, "Beberapa bulan ini dia di jakarta, lebih tepatnya semenjak lo di bawa pergi tente Iyas, dia kayak bego banget. Kerja gak konsen, setelah kerjaan selesai dia pergi, dan gue tahu dia pergi buat nemuin lo. Caya itu biarpun begajulan dia itu penurut. Pas Tante bilang enggak dia bakalan enggak ngelakuin, pas tante nyuruh dia gak lihat lo dia nurut, tapi dia jagain lo dari jauh Bill, dia rela pulang pergi bogor~bandung demi lo. Satu hal yang baru gue tahu, dia selalu nyiumin baju lo pas lagi gak bisa ke jakarta, gue gak pernah liat dia sesayang ini sama cewek sebelum~sebelum ini, apalagi yang maaf gue gak maksud. Lo bahkan hamil di luar nikah." Aku mengangguk mengerti, "tapi kalau boleh jujur, Caya adalah sosok sahabat terbaik gue, dulunya gue bukan apa apa tanpa dia, bahkan saat dia nemuin gue di Aceh dalam keadaan mengenaskan karena orang tua serta keluarga gue harus jadi korban air laut itu. Dia yang nolong gue. Makanya saat dia terpuruk gue juga ikutan sakit. Gue bukan mau promosiin dia jadi baik, bukan! Gue mau lo sadar bahwa lo beruntung dapetin laki laki sebaik dia Billa." Ucap Mas Jay sambil menepuk pucuk kepalaku kemudian berlalu.

Memandang ke arah depan, aku menemukan wajahnya terpajang di figura kecil dengan raut bosan, Mas Agung itu narsis orangnya. Tapi kalau urusan di foto dia selalu berwajah datar, saat di tanya pasti jawabanya 'gue gak mau karena gue senyum dan nunjukin pipi kempot gue, cewek cewek makin banyak yang naksir, ntar lo cemburu.' Dan jawaban nyolotnya itu yang selalu aku rindukan. Meraba kembali hatiku, apakah ada dia di dalamnya, dan aku akan menjawab ada.

Mungkin tak sebesar rasaku pada Mas Fiyan dulu, tapi aku yakin lama kelamaam rasa ini akan tumbuh seiring berjalanya waktu, dobrakan pada pintu depan membuatku berjengkit kaget, di sana Mas Agung berdiri dengan baju yang sudah basah kuyup. Mendekatinya dia menatapku dengan raut tak terbaca, tangan dinginya menggenggam tanganku, membawaku kedalam pelukanya. "Gue takut." gumamnya.

"Gue takut, jangan pergi.."

"Gue takut, jangan pergi please."  Lirihnya dengan isakan yang membuat sebagian hatiku sakit. Mendongak aku menatapnya yang tengah terpejam dengan air mata yang sudah mengalir deras dari kedua matanya, mengurai pelukan kami, dia tak melepaskan genggamanku, maka ku putuskan membawanya duduk di sofa, setelah dia tenang aku bangkit ingin mengambilkan handuk dia tak mengijinkan. "Jangan pergi, gue takut." Aku mengrenyit, Mas Jay yang baru turun langsung ku mintai tolong untuk mengambilkan handuk,

Duka ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang