Chapter 10.

3.7K 270 22
                                    

"Satu kebohongan cukup untuk mempertanyakan semua kebenaran."

~_~

***

Keberangkatan Ibu, juga kepulangan Mbk Ambar tadi siang, membuat rumah ini yang tadinya ramai oleh ocehan Rafka, kini menjadi sepi senyap. Mas Agung sedang ada kunjungan bersama Mas Jay, aku...
Sendiri di rumah besar ini, menatap kesekeliling rumah. Tak ada yang bisa aku ajak ngobrol sedikit saja. Melihat hamparan rumput juga pemandangan para pekerja pemetik teh, membuatku ingin keluar rumah. Namun aku masih ingat perkataanya tadi pagi.

"Lo gak boleh kemana mana tanpa gue! Dan satu lagi, kalau ada apa apa telfon gue."

Yah begitulah ucapanya yang hanya aku balasi dengan anggukan kecil, bahkan belum seharian ini, dia sudah menelfonku lebih dari 10 kali. Dan lihat dia menelfon lagi, mematikan ponsel aku memilih melihat pemandangan di halaman depan. Begitu keluar dari rumah, hawa sejuk menyerap masuk kedalam pori pori kulitku, melihat ke arah jalanan aku melihat sekumpulan ibu ibu yang akan pergi ke perkebunan. Mereka berhenti sejenak saat melihatku..

"Wah, ini pasti istrinya A' Agung nyak...namina saha neng?" aku bingung harus menjawab apa, jujur saja aku tak mengerti bahasa mereka..

"Anjeunna teu ngartos bahasa kita.." ucap ibu berbadan gempal.

"Namanya siapa neng geulis?" tanya ibu tadi, aku tersenyum kaku. Bagaimana tidak mereka menatapku dengan penuh rasa ingin tahu, ingin menjawab aku takut mempermalukan Mas Agung karena keadaanku, tak menjawab di kira tak sopan.

"Bhilla Bhu.." ucapku dengan senyuman kecil, ibu ibu tadi memandangku dari atas hingga bawah. Aku bisa mendengar mereka berbisik bisik.

"Nengnya teh teu bisa ukur ngobrol."

"Sedengkeuen geulis.."

Selesai mereka berbisik bisik, ibu ibu tadi menatapku, lagi lagi berbicara sunda yang hanya bisa kuangguki.

"Lamun kitu ibu idin neng.."

Seharusnya kamu gak menikahi aku Mas, lihat. Pasti nama baik kamu tercoreng karena kamu menikahiku, aku tak tahu apa jadinya jika ibu ibu tadi mengetahui aku sedang hamil sekarang. Tak mau berlarut larut dalam kesedihan, aku memilih menelusuri jalanan setapak yang di lalui ibu ibu tadi, melihat hamparan perkebunan teh, aku merasakan kedamaian di sini.  Setidaknya aku tak terkurung di dalam rumah besar itu sendirian, di sini aku bisa melihat para ibu ibu sedang sarapan, ada juga yang sedang memetik teh. Entah berapa lama aku berjalan, hingga tak kutemukan bangunan dua lantai yang menjadi tempat tinggalku.

Berjalan ke arah pepohonan rindang di ujung jalan, semilir angin menerpa wajahku, meniupkan hawa sejuk pegunungan..mengeluarkan harmonica yang selalu ku bawa kemana mana, aku duduk di atas akar pohon, memejamkan mata. Aku meniupnya dengan perlahan. Tak ada lagi emosi dalam diriku, membayangkan sosok ibu yang sekarang sudah berada di tempat teman Mbk Ambar, membuatku mengingat senyum cantiknya sepuluh tahun yang lalu.

🎶'Melly_Bunda'🎶

Ibu Malaikatku

Ibu
Disini kutulis cerita tentangmu
Nafas yang tak pernah terjerat dusta
Tekad yang tak koyak oleh masa
Seberapapun sakitnya kau tetap penuh cinta..

Duka ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang