Tears.

20 1 0
                                    

Larut malam, tetapi mata masih belum bisa beristirahat. Matanya pun sembab terlalu banyak menangis. Ara tidak bisa menerima kenyataan yang ada, ralat, tetapi belum bisa menerima.

Pikirannya kacau, hanya satu yang ia pikirkan, Dion, Dion, dan Dion.

Dirinya seketika mengingat akan suatu hal. Kejadian akhir sebelum mereka berpisah.

•~•~•~•~•~•~•~•

Kala itu, gadis yang tengah memakan es krim itu dikejutkan oleh gambar yang amat mengerikan. Normalnya, gadis itu berteriak takut dan langsung memukul orang yang mengejutkannya.

Orang yang dipukul hanya bisa tertawa puas sambil duduk di rerumputan akibat tawa yang membuat ia lemas dan tidak bisa berdiri.

"Bangun! Tidak lucu, kau tahu? Kau ingin buat aku jantungan, hah?" Berang gadis itu. "A-aku minta hahahaha maaf, ahahaha sungguh wajahmu sangatlah lucu hahaha!"

Gadis itu membuang muka, dan langsung membuang stik es krim ke dalam tempat sampah. "Sudah lama menunggu, eh?"

Ia melirik lelaki yang di sampingnya ini, lalu memutar bolamata dengan jengah. "Tentu saja sudah lama, sangat lama, tetapi aku kuat menunggu!"

Lelaki itu tersenyum, "kuat menunggu? Apa yakin? Aku ke toilet sebentar saat kita ingin pergi jalan saja kamu sudah berteriak layaknya tarzan."

"Tapi kan sekarang aku sudah berubah, sudah menjadi lebih sabar. Seperti apa yang kamu ajarkan dan lakukan padaku, Di."

Lelaki itu tersenyum, dan mengusap kepala gadis itu. "Are yang pintar!"

"Kamu mengajakku ke sini, ada apa?" Tanya Ara. Lelaki yang bernama Dion itu diam sejenak, menetralkan detak jantung yang membuncah.

"Jika kamu menungguku hingga matahari terbenam, kamu siap?"

Ara mengerutkan dahinya, bingung dengan apa yang dibicarakan oleh Dion. "Ah, jangan dipikirkan-,"

"Siap! Aku akan menunggumu hingga kamu datang! Dan sekarang kamu sudah datang, 'kan?"

Dion tersenyum dan memegang tangan mungil gadis itu, "kalau saat kamu sedang menungguku, tetapi aku tak kunjung datang?"

"Kapanpun aku akan tetap menunggu hingga kamu datang, ada apa sih? Kok jadi aneh pertanyaanmu?"

Dion menggeleng, "bukan apa-apa. Hanya saja aku takut kamu belum siap."

Sungguh, teori Dion lebih berat dari teori pelajaran di kelasnya menurut Ara.

Mereka kembali diam, Dion menarik napas dalam-dalam. "Aku mau ke London."

"Untuk apa ke sana?" Tanya Ara yang sudah mulai khawatir. "Aku akan menjalankan terapi dan operasi di sana-,"

"Kamu tidak pernah bilang apapun padaku sebelumnya! Kamu kenapa? Apa yang terluka? Kenapa aku tidak tahu?!"

Dion memegang kedua bahu Ara, "tenang, aku tidak lama di sana, hanya beberapa pekan dan aku akan kembali. Kamu siap menungguku?"

Airmata tak dapat dibendung lagi, Ara menangis pada saat itu juga. Dion yang tak sanggup melihat gadisnya itu menangis, lantas ia memeluk gadis itu.

"Ku harap kamu mengerti, dan siap menungguku kapanpun."

Dalam dekapan, Ara menganggukinya, "aku siap. Kamu baik-baik disana."

•~•~•~•~•~•~•~•

Saat itu, ia benar-benar tidak mengetahui apa yang diderita oleh Dion. Yang ia tahu hanyalah Dion pergi ke London, untuk menjalani terapi dan operasi.

Tetapi, akhirnya selama ini ia tahu, berkat berkas surat dokter yang tersimpan di dalam laci tempat tidur dion.

Dion mengalami Leukimia serta Hemofilia.

Leukemia atau yang biasa disebut kanker darah adalah penyakit dalam klasifikasi kanker (istilah medis: neoplasma) pada darah atau sumsum tulang yang ditandai oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid, umumnya terjadi pada leukosit (sel darah putih).

Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal. Sel tak normal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia memengaruhi hematopoiesis atau proses pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh penderita.

Sedangkan Hemofilia, penyakit satu ini dikarenakan kelainan genetik pada darah yang disebabkan adanya kekurangan faktor pembekuan darah.

Memang disaat Dion terluka dan mengeluarkan darah, sulit sekali untuk berhenti, dan tak tahu berhenti kapan, hal itu membuat Ara panik dan selalu menjaga Dion untuk tetap menjaga jarak pada benda yang dapat melukai diri Dion.

Ara menutup lembaran kertas yang memusingkan itu, dan duduk diam di kasurnya. Ia sempat marah karena tak ada yang mau memberitahukan dirinya mengenai penyakit yang dialami Dion.

Mereka berkata bahwa mereka menyimpan rahasia ini agar tidak membuat dirinya khawatir, tetapi tetap saja Ara sangat khawatir.

Dan mengenai penyakit Dion, ia sempat mencari tahu sendiri, namun mereka semua mencegahnya, dan lebih baik disampaikan langsung.

Hidup memang terkadang seperti itu, kita hanya dapat menerima dan menjalankan apa yang harus kita jalani.

Mungkin untuk sekarang ini, ia masih seperti kehilangan, tetapi, dirinya harus tetap maju bagaimanapun juga. Tidak boleh diam di halaman itu saja.

Menaruh berkas-berkas di atas laci, dan menarik selimut. Dirinya membaca doa sebelum tidur, dan memejamkan mata.

Sesaat, ingin dirinya bertemu dengan Dion walau hanya sebentar. Ingin.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?"

THE END.

<•>•<•>•<•>

Author's Note

Haaii! Akhirnya aku bisa menyelesaikan No Caller ID juga akwokwokwok. Sebenarnya, aku agak ragu untuk post ini sih, tapi makasih banyak yang udah setia dari awal hingga akhir! Aku yakin kalian ini orang yang setia ya hahaha.

Terimakasih banyak yang udah vote serta comment di cerita ini, vomments kalian itu moodbooster banget! Bikin aku jadi semakin semangat untuk terus mengembangkan cerita-cerita yang baru lagi!

Thank youu yang udah baca No Caller ID! Love yaa! ❤️

【✔️】 No Caller IDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang