2

4 0 0
                                    


"Siap buat ujian sejarah hari ini?" Ujarnya dengan susah payah menggerakan mulut.

Aku terkekeh melihat pipi Winar menggembung penuh bakwan. "Cetek."

"Semoga sikap kurang ajarmu sama guru sejarah itu nggak bikin kamu kualat Rhy." Winar mencibir "Peninggalan purbakala yang masih dapat kau lihat hingga sekarang, itu kan julukanmu buat bu Tiur? Dan entah bagaimana kata-kata sembronomu itu justru jadi latah, sekarang semua anak menjuluki dia dengan sebutan itu. Sakit kamu Rhy." Winar menggigit bakwan di tanganya dengan ukuran besar. Seperti ia hendak memakanku juga.

Aku meringis mengaduk-aduk jus jeruk di depanku, aku tak merasa itu salahku. Siapapun yang pernah menjadi murid pasti pernah minimal sekali dalam hidupnya membuat julukan untuk guru yang tak disukai. "Itu semua karena mulut Dewa yang susah diatur. "

"Tapi kamu yang nyalain api Rhy." Winar melet.

Aku mengedikan bahu. Pembicaraan ini kuanggap selesai. Bel berbunyi dan sudah saatnya aku harus memeras otak dengan ujian sejarah hari ini. Aku tak butuh kata kualat karena kualat tak pernah bisa mengalahkan usahaku belajar semalaman. Kualat tak akan mempengaruhi nilai ujianku. Aku dalam sebuah misi berat dan penting. Tidak Bu Tiur, tidak siapapun. Tak ada yang boleh menghalangiku.

"Kamu yakin dia bakal ngasih respon atas semua usahamu?"

Aku mendengus "Ayolah, aku bikin namaku selalu dibawah namanya bahkan kadang menggantikan posisinya, apa dia nggak penasaran, maksudku paling nggak inget namaku?"

Winar berdehem "Aku rasa bener juga , siapa yang nggak penasaran?"

"Kan?" Aku menjentikan jari.

"Oke, selamat berjuang. Walapun caramu menarik perhatianya sangat purbakala. bikin dia suka kamu dengan belajar mati-matian, biar namamu selalu muncul dibawahnya atau diatasnya saat rekap nilai di ditempel di papan pengumuman. Yah, tapi aku mendukung." Winar menepuk bahuku, mendekatkan wajahnya ke wajahku, ia menatap mataku lekat-lekat "Walau kupikir harusnya kamu cari yang lebih oke. Macam Lando, teman sekelasmu. Semua perempuan suka dia." Mata Winar berbinar.

"Termasuk kamu?"

Winar mengangguk semangat. "Ayolah, kamu harus bersyukur satu kelas bareng dia."

"Mm-hem, Aku nggak tahu harus bersyukur untuk apa." Aku memeletkan lidah, menjitak kepalanya dan berlari kembali kekelas.

Winar, temanku. Dia tak satu kelas denganku, yang artinya tak satu kelas dengan Lando. Baginya itu sebuah kemalangan. Teman dekatku juga penyuka Lando, ia hampir sama histerisnya jika bercerita soal Lando, hanya mungkin kabar baiknya Winar berbeda dengan Tara dan pengikutnya yang membabibuta, Winar benar-benar menjadi kaku walau hanya untuk berpapasan. Jadi ia tidak mungkin berbuat tidak pantas seperti berbicara dengan nada manja dan bergelayut menjijikan di sekeliling Lando.

Aku tak pernah bermasalah dengan Winar yang menyukai Lando meskipun aku sangat ingin menyadarkanya dari perasaan konyolnya, dia menyukai orang yang salah. Lando dengan wajah tampannya (aku tidak termasuk yang setuju) hanya tipe laki-laki aneh yang begitu bangga digandrungi oleh banyak perempuan, sedangkan otak nol, perilaku nol, kekanak-kanakan, dan sering berbuat konyol. Dia pesolek dan sangat membanggakan kekayaanya, dia bertingkah berlebihan dan sebagai laki-laki ia terlalu banyak berbicara. Ia tak lebih dari badut. Tapi hingga sekarang urung kalimat sadis itu kuutarakan, aku hanya tak tega mengandaskan bayangan konyolnya. Lando tidak baik hati, ia terlalu murah untuk memberikan senyumnya dan rayuanya pada semua perempuan. Kupikir untuk memilih orang yang disukai aku lebih pintar dari semua perempuan.

Soal ulangan harian sejarah 30 nomor pilihan ganda dan esai aku tandaskan dengan perasaan puas, tak sulit bagiku untuk menyelesaikanya. Sembilan puluh lima persen aku merasa yakin benar, kali ini pun jika ia berusaha lebih keras dariku aku tetap akan dibawah namanya dengan perolehan nilai yang tak akan berjarak, tapi bisa jadi posisi nomer satu aku yang akan mengambilnya. Dua tahun aku melakukan ini, aku yakin akan segera tiba waktunya ia mulai merasakan keberadaanku.

nice to see youWhere stories live. Discover now