Aku berangkat dengan suasana tak menentu, kebetulan langit pagi ini mendung. Hiruk pikuk di sekitarku tidak juga berubah, dan desas-desus mengenaikupun masih belum berkurang. Dan Lan tetap tak menganggap semua itu masalahnya. Ia tak peduli dengan kegaduhan di sekitarnya.
"Lan, dimana lapangan dengan pohon besar?" Aku memulai, mengingat Lan tipe manusia gagu yang bisa tak berbicara seharian penuh. Aku sudah bertekad akan menghadiri undanganya, ancamanya, terornya atau apapun itu namanya. Sekarang lebih kepada aku yang ingin berbicara dengannya. Tepatnya ada banyak tuntutan, gugatan, dan dakwaan yang hendak kulayangkan padanya.
Lan mengetuk-ngetukan jari tanganya ke meja, alisnya mengernyit menatapku "Jadi kemarin itu adik kamu?"
Aku tersedak dan hampir menelan permen mentosku bulat-bulat. Diingatkan mengenai kejadian kemarin membuatku ingin menyiramnya sekali lagi dengan campuran jus alpukat dan pisang. Aku sebal setengah mati mengetahui manusia yang paling ingin kuhindari justru bersarang di sebelah kamarku, tanpa kuketahui.
Aku diam tak memberi jawaban. "Dimana lapangan pohon besar?" Aku tak mau pembicaraan ini dialihkan seenak jidatnya.
"Jadi rumahmu disitu sekarang?"
Ada yang aneh dengan pertanyaanya. Memangnya dia tahu rumahku yang dulu?
"Siapa nama adekmu?"
Mataku membesar, dia berbuat onar di rumah orang, bermain game seperti orang berjudi, tapi ia mengingat nama adikupun tidak. Mereka duduk bersebelahan dan bermain game bersama berjam-jam, tidak, itu pasti sudah berhari-hari.
"Dimana lapangan pohon besar, Lan?" Aku menarik nafas panjang menyabarkan diri.
"Harusnya aku nggak perlu terlalu kaget kalo ternyata temen adiku punya Kakak yang jadi teman satu sekolahku." Lan diam sesaat. "Tapi nyataanya aku kaget juga."
Sejujurnya aku sedikit terpana meihatnya berbicara sepanjang itu. Ini kalimat paling panjang yang pernah ia katakan. "Udah berapa lama kamu main di kamar adiku?"
"Lima hari, mungkin juga satu minggu. Entah."
"Dan kamu nggak tahu nama dia?!"
Lan terdiam, alisnya mengernyit, lalu menggeleng sambil mengedikan bahu. Aku menarik nafas dan menghembuskanya dengan sedikit kasar. Dasar sinting. "Rhu, adiku. Dan jangan kamu ajari dia untuk jadi kayak kamu. Adiku nakal, tapi aku nggak benci dia. Kalo kamu buat adiku terkontaminasi sama kamu, aku takut Rhu akan kulempar keluar rumah."
"Aku nggak tahu kamu punya masalah apa sama aku. Suaramu nggak pernah pelan kalo bicara sama aku." Kata Lan santai.
"Apa wajahku kurang jelas, apa kata-kataku sangat sulit dipahami, atau otakmu sulit untuk mencerna hal sederhana? Apa harus aku mencakarimu, berguling memukulmu dan membuatmu babak belur biar kamu paham?"
Lan menggeleng, ia mengetuk-ngetukan jarinya lagi di meja. "Rhyanti putri, betul?"
Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar dan menghangat di dadaku. Lan mengeja namaku, caranya mengucapkan sangat aneh, dan namaku menjadi berbeda dimulutnya.
"Namamu bagus."
Aku terdiam menatapnya, tak percaya. Apa yang dia katakan barusan?
"Tapi nggak begitu dengan orangnya." Lan mendesis.
Dan dengan secepat kilat aku menyaksikan kedua tangaku yang menjambak rambutnya. Adegan sadis ini tak mendapatkan sensor karena aku tak lagi peduli apa kata semua orang, tapi semuanya berakhir dengan cukup gaduh. Aris meloncat dari bangkunya dan menyerbu bangkuku untuk menghentikanku, ia menarik tanganku agar menjauhi kepala Lan. Sedang Tara berlari sambil berteriak memakiku, ia menarik tubuhku ke belakang. Entah bagaiman seisi kelas menjadi sangat ribut, karena anak perempuan menjerit tak perlu.
YOU ARE READING
nice to see you
Novela JuvenilRhyanti Putri atau Rhy, tidak pernah terobsesi apapun selama 17 tahun hidupnya, hingga ia masuk SMA dan bertemu dengan Danar. Danar laki-laki yang baik, pintar, dan yang paling penting dia adalah penolongnya melewati kejadian paling memalukan dalam...