Chapter 5

372 63 4
                                    


****
Rumah mewah tersebut telah ramai oleh kedatangan tamu undangan. Gaun-gaun indah yang menghiasi tubuh gadis-gadis begitu terlihat anggun. Tak hanya itu, banyak laki-laki yang datang dengan berbagai setelan rapi. Keluarga besar pun ikut memasuki rumah itu. Mereka semua berkumpul di ruang tengah.

Di atas meja panjang terdapat alat makan. Aneka makanan serta minuman pun juga tersedia. Kado-kado dari para undangan dikumpulkan di pojok ruangan dekat pintu masuk.

Sedangkan di dekat pintu kaca pembatas antara ruangan itu dengan kolam renang terdapat sebuah panggung, dengan meja kecil yang diatasnya sudah tersedia kue Tart yang besar lengkap dengan lilinnya.

Lampu berwarna merah yang berbentuk tulisan 'HAPPY BIRTHDAY' terlihat menghiasi di pinggir kolam renang. Suasana sudah cukup ramai. Beberapa dari mereka mengagumi rumah itu. Ada juga yang menantikan pemilik acara tersebut cepat keluar menampakkan dirinya.

Sedangkan di teras seorang gadis berjalan memasuki rumah tersebut. Suara High Heels putihnya teredam dengan suara musik yang mengalun indah di ruangan tengah. Mata indahnya menatap sekeliling.

Para undangan yang tak sengaja melihat kedatangan gadis itu terpana. Gadis itu terlihat cantik dengan gaun putih selutut dengan kedua pundaknya yang telanjang tak tertutup kain. Walaupun gaun itu terlihat sederhana dan simpel dan disertai polesan make up tipis tapi aura keindahan tetap terpancar darinya. Beberapa dari mereka ada yang mengenal sosok itu.





Lee Jieun. Mereka berbisik-bisik tentang penampilan gadis itu. Bahkan ada yang memandang iri dengan kecantikannya. Jieun memberikan kado yang ada ditangannya pada seorang pelayan. Gelang putih itu berayun mengikuti pergerakan tangnnya.
"Jieun."
Sebuah suara yang tak asing memangilnya dari dekat. Jieun yang baru saja menyingkir dari tempat kumpulnya kado itu segera menoleh. Ia bisa melihat Sujin dengan senyuman yang mengembang.
"Kau sangat cantik."
Jieun melihat penampilan Sujin dengan gaun berwarna merah mawar. Rambutnya yang bergelombang di gerai.
"Terimakasih. Kau sendiri juga cantik dengan gaun itu. Lihat banyak undangan yang memperhatikan penampilanmu."
Sujin menunjuk arah yang di maksud. Dan Jieun mengikuti arah yang di tunjuk. Entah mengapa yang di tunjuk Sujin seperti mengarah pada sekelompok laki-laki yang memang sedang memandang takjub Jieun. Jieun menarik Sujin untuk menutupi dirinya dari pandangan para lelaki itu. Tubuh Jieun yang lebih mungil dari Sujin pun sudah terhalangi. Sujin yang awalnya terkejut dengan tindakan Jieun mulai mengerti. Sujin menggelengkan kepalanya.
"Kau ini benar-benar."
Jieun dengan tampang lugunya memelas pada Sujin.
"Apa kau baru saja datang?"
Pertanyaan Jieun membuat raut wajah Sujin berubah. Wajahnya kini mulai serius membuat Jieun melunturkan senyumannya.
Sujin menarik tangan Jieun mencari tempat yang nyaman untuk berbicara. Mereka berjalan pada deretan kursi yang tersedia. Sujin dan Jieun duduk di kursi yang berada paling pojok belakang.
"Sebenarnya aku sudah datang 30 menit yang lalu. Tapi aku bersembunyi di dalam mobilku."
Jawaban Sujin membuat Jieun bingung. Bersembunyi terdengar seperti candaan belaka. Namun melihat tatapan serius Sujin membuatnya percaya.
"Kenapa kau bersembunyi? Apa ada sesuatu?"
Jieun akui ia penasaran dengan ucapan Sujin. Terdengar aneh bila seseorang seperti Sujin ini bersembunyi dari seseorang. Padahal Jieun tahu betul bahwa temannya ini suka mendapatkan perhatian banyak orang. Hal itu sangat berkebalikan dengan dirinya.
"Akhir-akhir ini aku merasa tak nyaman dengan laki-laki itu."
Jawaban Sujin tak terlalu jelas karena musik yang di setel. Tapi Jieun masih mendengar dengan baik kalimat itu. Ia sedikit mengkerutkan dahi karena ia tidak tahu siapa yang dimaksud Sujin dengan laki-laki itu. Ia tahu betul bahwa Sujin mempunyai banyak teman laki-laki.
"Siapa maksudmu?"
"Percuma saja aku mengatakannya. Kau tak akan mengenalnya."
Memang benar. Ia tak pernah mengenal teman laki-laki Sujin.
"Kalau begitu ceritakan apa hubunganmu dengannya?"
Mata Sujin sedikit membulat dan terlihat ragu untuk menjawabnya. Jieun yang mengetahui hal itu langsung memegang tangan Sujin dengan lembut.
"Tak apa. Kau bisa mengatakan padaku yang sebenarnya. Tapi kalau memang kau keberatan lebih baik tak usah."
Jieun harus mengerti tentang keadaan temannya. Apapun yang terjadi pada temannya ia akan membantunya. Tapi bagaimanapun juga Sujin berhak untuk menolak, ia tidak boleh memaksakan Sujin menceritakan sesuatu yang mungkin hal itu cukup privasi.
"Dia adalah satu-satunya laki-laki yang aku tolak saat memintaku berkencan."
Jieun terdiam. Jujur saja, Jieun buta dalam hal seperti yang berkaitan dengan masalah kencan atau sejenisnya seperti itu. Ia tidak tahu apakah ia perlu menanyakan lebih dalam atau tidak. Karena lebih dari 50% ia pasti hanya sebagai pendengar yang baik tidak yakin bisa menjadi pembicara yang baik untuk temannya ini.
Dan ia tak mau Sujin akan kecewa dengan dirinya yang tak bisa memberi bantuan seperti saran. Ini merupakan salah satu kekurangannya. Tapi melihat wajah Sujin seperti itu membuatnya ingin mencoba untuk mengetahui lebih dalam.
"Bisakah kau katakan padaku apa yang dia lakukan padamu?"
Sujin sedikit mengambil nafas dan membunganya secara perlahan, kemudian ia lebih mendekatkan dirinya pada Jieun.
"Aku jadi lebih sering bertemu dengannya, entah itu tak sengaja atau memang ia sendiri yang sengaja mengikutiku. Sebenarnya aku tak yakin bila itu tak sengaja."
"Kenapa begitu?"
"Dia selalu menatapku dengan tatapan yang menakutkan. Aku jadi teringat dulu saat dia marah padaku karena aku menolaknya. Untung saat itu aku berhasil kabur darinya. Karena itu aku selalu waspada setelah beberapa kali bertemu dengannya."
"Bahkan saat di pesta Seulgi pun kau merasa takut bila dia ada disini?"
Sujin terdiam. Sujin berpikir. Mengatakan semuanya pada Jieun pasti aman. Gadis lugu sepertinya tak akan macam-macam padanya. Sujin tahu Jieun adalah sosok yang dapat dipercaya.
"Sebenarnya, aku, Seulgi dan dia adalah teman lama jadi.."
"Dia diundang pada acara pesta ini?"
Sujin terkejut dengan kecepatan kerj otak Jieun. Lalu ia mengangguk. Jieun mulai mengerti. Tapi ia masih tak tahu apa yang harus ia berikan solusinya pada Sujin untuk membantu temannya itu. Lagi pula ketakutan Sujin belum pasti sesutu yang cukup benar. Bisa jadi Sujin terlalu berlebihan.
"Tenanglah. Semoga saja itu bukan apa-apa."
"Tapi Ji. Aku sangat terganggu."
"Mungkin kau harus berbicara padanya dengan baik-baik. Kalau dirimu tidak nyaman."
"Itu tidak mungkin. Aku takut padanya."
"Sebegitu takutnya dirimu padanya?"
Sujin menatap Jieun. Dan Jieun menyadari. Tak seharusnya ia bertanya seperti itu. Itu seperti dirinya sedang merendahkan Sujin yang penakut. Jieun menyesalinya.
"Maaf. Aku tidak bermaksud seperti itu."
Terlihat buruk bila ia diam saja tanpa meminta maaf.
"Iya tak apa Ji. Satu pertanyaan terakhir untuk masalah itu."
Jieun menunggu Sujin bersiap untuk mendengar pertanyaan yang akan dilontarkan Sujin.
"Apa yang akan kau lakukan bila kau berada di posisiku?"
Pertanyaan itu terdengar begitu jelas. Dan itu adalah pertanyaan yang sulit untuk di jawab. Tapi Jieun tetap berpikir. Membayangkan apa bagaiman bila dirinya di posisi Sujin.
"Aku akan menghindarinya dan bersembunyi."
Raut wajah Sujin menjadi muram. Ia tak suka dengan jawaban itu karena ia tak bisa bersembunyi terus. Padahal jawabam Jieun sebelumnya adalah mengajam berkomunikasi. Tangan Jieun yang masih menggenggam tangan Sujin kini terlepas oleh tarikan Sujin sendiri.
Jieun yang menyadari genggamannya yang terlepas mulai melanjutkan ucapannya.
"Tapi... Hal itu akan membuat hati menjadi tak tenang. Karena terus dihantui ketakutan itu. Karena itu aku baru saja menyadari bahwa pentingnya berkomunikasi dengan orang yang bersangkutan."
"......"
Sujin terdiam. Mengingat jawaban Jieun yang pertama.
"Intinya, saat kau bertemu dengannya komunikasilah secara baik-baik. Tetapi jangan terlalu serius dan jangan langsung masuk inti masalah. Tanyakan seperti 'mengapa akhir-akhir ini aku sering bertemu denganmu?' Seperti itu."
Sujin mengangguk mengerti. Sebenarnya ungkapan ketakutan Sujin mengingatkan Jieun pada laki-laki berkulit pucat itu. Laki-laki yang membuatnya selalu menghindarinya dengan alasan takut karena melihat apa yang dilakukan laki-laki itu pada seseorang yang juga tak dikenalnya, ditambah dengan ucapan kasar yang dilontarkan dan tatapan tajam seperti ingin membunuh dirinya. Tapi kini ia sudah bisa tenang setelah ia berkomunikasi secara baik-baik dengan laki-laki itu.
"Semoga aku tidak bertemu dengan laki-laki itu. "
Sujin sedikit bergumam.
Sebuah suara membuat para undangan tak terkecuali Sujin dan Jieun berhenti dengan aktifitasnya dan mulai memperhatikan seorang pembawa acar yang telah berada di atas panggung. Beberapa serangkai kalimat sebagai pembuka acara di ucapakan oleh sang pembawa acara itu. Dan tak lama ia memanggil Kang Seulgi yang merupakan si pemilik acara. Sujin dan Jieun yang melihat Seulgi naik ke panggung membuat keduanya melambaikan tangannya ke atas karena ia melihat Seulgi sedang mencari sesuatu. Dengan lambaian tangan itu, Seulgi telah menemukan dua orang yang sedang dicarinya. Mereka saling tersenyum. Dan Sujin memberikan kode untuk semangat pada Seulgi.
***
Yoongi memandang teman-temannya. Ternyata semua temannya sudah berkumpul. Ada Taehyung yang sedang bercanda dengan Jimin. Namjoon yang sedang makan camilan. Sedangkan Jin tengah mengeluarkan botol-botol soju yang dibantu Jungkook. Saat matanya mengarah pada Heoseok yang sedang sibuk dengan ponselnya ia jadi mengingat saat di parkiran kampus. Ada sesuatu yang sedang di sembunyikan oleh temannya itu. Yoongi membuka hodie dan maskernya. Lalu melangkah mendekati mereka. Yang pertama kali menyadari kedatangannya adalah Namjoon. Laki-laki paling jangkung itu mengangkat tangannya.
"Hai hyung."
Semua orang yang tadinya sibuk sendiri-sendiri menatap Namjoon dan kemudian kearah Yoongi. Yoongi menghentikan langkahnya.
"Kenapa kau terlambat hyung? Aku pikir kau tidak datang."
Jimin bertanya namun Yoongi tak menjawabnya. Ia malah memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya. Ia melihat meja sudah penuh dengan makanan berat dan ringan. Ia bisa melihat Seokjin tersenyum tipis. Tapi Yoongi tak membalasnya. Ia tak tahu apa yang dia lakukan sudah tepat. Setiap melihat Seokjin pasti ia mengingat ucapan Song Minho. Ia tidak bisa mengkhianati Seokjin. Tapi sikap dinginnya ini juga karena Seokjin dan Heoseok yang sama sekali terbuka padanya
"Ada apa denganmu hyung? Duduklah disana."
Jungkook sang maknae menunjuk sofa kosong di samping Heoseok. Ada keengganan untuk duduk disana tapi untuk membuat teman-temannya tak semakin merasa dirinya bersikap aneh ia pun menurutinya. Duduk di samping Heoseok yang sekilas tersenyum padanya. Kini mereka duduk dengan tenang.
"Apa yang kalian tunggu? Ayo kita makan."
Taehyung sudah hampir mengambil ayam goreng. Tapi Seokjin berhasil menahan tangan Taehyung. Taehyung yang melihat tangannya di tahan menatap Seokjin bertanya-tanya.
"Jangan dulu."
"Kenapa?"
Pertanyaan Taehyung tak dijawab  tapi Seokjin malah menatap Yoongi yang tepat berada di depannya.
"Kenapa kau tidak meminta tumpangan dariku? Kau jadi terlambat kan. Mereka semua sudah menunggumu."
Yoongi menyandarkan punggungnya di sofa dan menatap tajam Seokjin.
"Aku bisa datang kemari sendiri. Aku terlambat karena itu keinginanku sendiri."
Jawaban Yoongi membuat semua orang di tempat itu terkejut.
"Apa? Kenapa begitu?"
Jimin tidak mengerti mengapa Yoongi melakukan dengan sengaja.
Yoongi tak menjawabnya. Ia diam larut pada pikirannya.
"Kau ada masalah?"
Namjoon tak tahan melihat suasana seperti ini. Terlalu kaku, padahal hari ini mereka berkumpul untuk bersenang-senang. Tapi Yoongi sama sekali tak terlihat bersemangat dan tak bahagia. Wajahnya lesu.
"Kita bisa membantumu bila kau ada masalah. Ceritakan pada kami."
"A.... aku tahu. Kau sedang memikirkan seorang gadis ya hyung."
Sebuah pukulan di lengan kanan Taehyung di dapat dari Jimin.
"Jangan asal bicara."
Yoongi melirik Taehyung dan Jimin.
"Tidak. Aku hanya kurang tidur saja."
Mereka mengangguk mengerti. Walaupun beberapa dari mereka tak yakin dengan jawaban itu.
"Baiklah mari kita rayakan pertemuan kita."
Ucapan Namjoom membuat beberapa dari mereka mengambil botol soju dan menuangkan benda cair itu kedalam gelas. Jimin dan Taehyung kembali dengan candaan mereka karena mereka masih di bawah umur. Dan disusul dengan Heoseok yang ikut meramaikan suasana dengan sesikit meminum sojunya. Sedangkan Jungkook yang masih sekolah sama seperti jimin dan Taehyung hanya minum soda dan menyimak candaan mereka. Soju yang ada di gelas Yoongi masih utuh di tangannya. Yoongi menatap minuman itu. Ia baru saja minum tadi sore dan sekarang ia akan meminumnya. Tapi entah mengapa seperti ada bisikan dari hatinya untuk tak meminum cairan itu. Dan itu sukses membuatnya meletakkan kembali gelas itu. Seokjin yang melihat itu mengkerutkan dahinya. Ia melirik Yoongi yang kini juga menatapnya.
Seokjin sedikit memajukan tubuhnya untuk lebih dekat dengan Yoongi.
"Ada apa? Aku tidak mencampurkan sesuatu di botol sojumu. Jadi miumlah."
"Kau pikir aku akan berpikir seperti itu?"
Tidak suka dengan pemikiran Seokjin membuat Yoongi kesal. Bukan masalah ada campuran bahan berbahaya atau tidak. Ia hanya mendengarkan kata hatinya.
Seokjin sedikit terkejut dengan reaksi Yoongi yang cukup serius padahal ia hanya sedang bercanda.
"Lalu?"
Seokjin memberikan senyumannya. Tapi Yoongi sama sekali tak ingin membalsanya.
"Aku sedang tak ingin minum."
Heoseok yang tadinya bercanda ria dengan Jimin dan Taehyung kini melirik pada Yoongi kemudian mengambil gelas Yoongi yang masih penuh dengan Soju.
"Kalau begitu biarkan aku saja yang meminumnya. Bagaimana?"
Heoseok sudah mengambil gelas Yoongi. Tapi belum ia minum karena ia menunggu jawaban Yoongi. Tapi Yoongi kembali tak ingin menjawab. Tatapannya masih pada Seokjin. Seojin mengerti akan tatapan itu.
Laki-laki tampan itu beranjak dari duduknya dan berbisik pada Yoongi.
"Ikut aku."
Dengan cepat Yoongi berdiri dan mengikuti Seokjin. Heoseok melihat keduanya pergi meninggalkan mereka. Sedangkan yang lain bertanya-tanya melihat keduanya pergi begitu saja.
"Mereka pergi kemana?"
Tanya Namjoon pada yang lain. Tak ada yang menjawab. Tapi kemudian Heoseok yang akhirnya menjawab dengan asal.
"Mereka kan satu fakultas. Mungkin saja mereka bicara tentang kuliah."
Jimin, Taehyung dan Jungkook mengangguk mengerti tapi. Tapi untuk Namjoon tidak. Dia memiliki otak cerdas. Ia yakin bukan karena masalah studi mereka. Pasti ada sesuatu yang terjadi diantara mereka karena sejak tadi ia telah menyadari sesuatu. Yoongi tak berbicara banyak. Bahkan senyuman tipis saja tak ia tunjukkan pada mereka. Seokjin pun juga, biasanya ia akan datang bersama Yoongi tapi kali ini tidak. Seokjin datang sendiri. Tapi ia hanya diam saja tak berniat untuk mengatakan keganjilan keduanya pada teman-teman lainnya.
Sedangkan kedua laki-laki itu sudah keluar dari gudang bawah tanah. Malam ini begitu dingin. Hingga membuat hembusan nafas hangat kedua laki-laki itu terlihat.
Keduanya saling memalingkan muka. Seperti tak ingin saling memandang
"Katakan apa? Aku tidak ingin berlama-lama."
"Jangan kekanakan. Sikapmu tadi terlalu kekanakan."
Cukup menyebalkan bagi Yoongi dirinya telah di cap kekanakan.
"Kau yang berlebihan. Aku sudah bilang aku hanya kurang tidur."
Memang benar dirinya kurang tidur sejak si Minho yang mengganggu hidupnya.
"Baiklah. Aku percaya padamu. Tapi tolong katakan padaku dengan jujur apa yang membuatmu kini menjaga jarak padaku?"
Seokjin sama sekali tak ingin tali pertemanannya putus. Ia ingin tetap menjaganya selamanya. Cukup dengan satu kejadian yang dialami kedua keluarga mereka dan hampir membuat keduanya saling membenci. Itu sudah menyakitkan bagi dirinya dan Yoongi.
"Tidakkah kau sedang menutupi sesuatu dariku?"
Seokjin berpikir sebentar tentang maksud perkataan Yoongi. Ia memcoba menerka.
"Maksudmu tentang keputusan ayah...."
"Bukan itu. Tapi sesuatu yang kau sembunyikan dengan Heoseok."
Yoongi memotong ucapan Seokjin dengan cepat karena telinganya merasa panas mendengar kata 'ayah'.
Sedangkan Seokjin terdiam. Kini ia menjadi semakin berhati-hati pada Yoongi. Dilihat dari wajahnya saja terlihat sedang menahan amarah.
"Kau tak ingin menjawab?"
"Aku tidak tahu yang mana maksudmu itu?"
"Jangan berlagak tak tahu."
Memori otak Seokjin bekerja. Ia mengingat kapan Yoongi bersikap acuh padanya pertama kalinya. Ia mulai mengingat. Ternyata tentang hal itu. Hal yang dikatakan Heoseok padanya dan tanpa sepengetahuan Yoongi. Memang sudah seharusnya ia dan Yoongi saling terbuka.
"Aku ingat. Kau pasti penasaran dengan apa yang dikatakan Heoseok kepadaku saat di parkiran kan?"
"Aku tidak akan penasaran bila hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan aku."
Jawaban Yoongi cukup tegas dan itu membuat Seokjin menjadi bersemangat karena ia juga ingin bertanya sesuatu yang berkaitan dengan ucapan Heoseok.
"Baiklah. Heoseok mengatakan padaku bahwa dia melihat dirimu dengan Song Minho di taman. Kau memukulnya."
Yoongi terpaku. Jantungnya seakan berhenti dengan nafasnya yang tercekik. Ini buruk. Ia tidak tahu ternyata ada sosok yang telah memergokinya selain gadis itu.
Apa yang harus ia lakukan. Song Minho bukanlah orang yang mudah.
"Aku sudah terbuka padamu. Sekarang kau harus terbuka padaku."
Yoongi masih diam.
"Apa yang kalian bicarakan? Bagaimana kau bisa sampai semarah itu hingga memukulnya?"
Perasaan Yoongi tak karuan. Ia tak bisa mengatakannya. Kalau ia mengatakan sejujurnya padanya, Seokjin akan merasa terluka kembali dan laki-laki itu akan pasrah dan tak membiarkan dirinya sendiri menahan Minho. Karena Seokjin selalu dihantui rasa bersalah padanya. Rasa bersalah atas kasus pembunuhan kakak kandungnya. Rasanya ia ingin marah meratapi nasib dirinya dan Seokjin. Ia tak bisa.
"Bukan apa-apa. Aku marah karena ia tak bisa menjaga mulutnya. Ia mengatakan asal-asalan tanpa berpikir dahulu."
Yoongi tersenyum sedikit untuk memberikan kesungguhan. Padahal dirinya sudah berbohong pada temannya sendiri. Tapi ini harus ia lakukan untuk menyelamatkan keluarga Seokjin. Berbohong untuk kebaikan. Itu tak masalah.
Seokjin memberikan tatapan menyelidik pada Yoongi. Tapi untung saja Yoongi bisa mengatasi hal itu. Raut wajahnya ia buat seperti wajah yang benar-benar meyakinkan.
***
Ketiga orang gadis itu berada di teras rumah mewah Seulgi. Acara memang sudah selesai. Hanya tinggal beberapa keluarga dekat.
"Aku sangat berterimakasih pada kalian yang telah datang di acara ulang tahunku."
"Tak masalah teman."
Sujin dan Jieun berpamitan pulang setelah mereka memeluk Seulgi.
Seulgi melambaikan kedua tangannya pada kedua temannya. Dan Jieun masuk kedalam mobilnya. Ia mulai menjalankan mobilnya keluar dari halaman. Ia sedikit menengok pada jam mobilnya. Sudah pukul jam 22.26 pm. Sudah cukup malam. Ia harus cepat sampai rumahnya. Ia melewati jalan sepi. Jujur saja. Ia merasa takjub dengan dirinya yang berani mengemudikan mobil sendiri di malam hari. Senyumannya melebar mengingat ayahnya yang mengijinkannya.
Namun tiba-tiba sebuah motor melintas di depannya. Jieun segera menginjak rem dengan kuat. Hingga membuat tubuhnya condong kedepan. Mobilnya memang tak sampai menabrak pemgendara itu tapi pengendara itu terjatuh. Jieun menganga tak percaya. Ia segera keluar dari mobilnya. Ia menghampiri pengendara yang terjatuh itu tapi secara tiba-tiba dua orang dari arah belakang mencekal tangan Jieun. Jieun terkejut melihat dua orang pria tengah menahannya.
Jieun berteriak
"Tidak. Lepaskan."
"Lee Jieun."
Jieun terkejut melihat seorang laki-laki yang tadi hampir di tabraknya bagkit dan sudah melepas helmnya. Ia tak bisa melihat jelas siapa itu. Karena laki-laki itu memakai jaket hitam dengan hodie dan masker. Ia berjalan mendekati Jieun. Mata tajamnya menatap Jieun. Otak Jieun bekerja.
"Siapa kau?"
Jieun ketakutan ia sudah mencoba untuk melepaskan dirinya dari dua orang yang sedang menahannya.
"Menurutmu siapa aku?"
Laki-laki itu menyentuh wajah Jieun dengan lembut.
****
Halo readers
Saya kembali dengan chapter baru. Terimakasih yang sudah membaca cerita saya. Terimakasih juga yang sudah memberi vote dan atau komen. Serta terimakasih juga pada pembaca yang sudah memasukkan karya saya pada reading list-nya.
Mau cerita sedikit nih.
Selama minggu ini saya gk tenang gara" bom. Perkuliahan diliburkan. mau pergi selalu ketakutan Saya salalu berdo'a agar semua orang dimanapun berada dilindingi oleh Tuhan.

Auditory HallucinationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang