Ayu... ayu...
Seraya panggilan mendayu
dari kulum antar bangunan bersejarah
Beribu-ribu pasang mata
ada di dalamnya
yang kulihat pelupuk matamu nan kumis tipis yang menjadi pelengkap induk rindu
Jiwaku meradang dengan lesung pipi merah
serta, lentik bibir diselimuti rona mawarKita berada di selingan bangunan ini
Kursi rotan tua yang berderetan
penyelah jua dan asaTentang gadis ayu
tentang sepercik tampanmu
Senyumku teduh
dan tentang blankon itu; tresno
Kita sampai sekarang berada di selingan bangunan ini
yang di saksikan cahya senja sebelum tenggelam
lalu menyisakan iringan gending JawaKain merah terurai persis di pinggangku
Orang-orang dipikat hari serasa nostalgia di ufuk penghujung langitMungkin kini engkau terbawa mantra jawa
Gerak gemulai tari-tari itu mengantarkanmu menuju celah ruang antar pasang-surut waktuEngkau terpejam dingin
dan hening
menyentuh dan bergelayut senja di pelupuk matamuSetelah pengembun terlena
mengejar jarum jam
perlahan mata beranjak alih
menuju lorong ujung pintuTinggal kini kau?
Masih saja duduk dengan batik poleng nan kumis tipis
dan masih saja aku berada di tengah
melihat asaku berkeliaran menatap lesung pipimuDuh hitungan pun hilang
meluruhkan tatapku yang meringkuk blankon di kepalamu
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Puisi
PoetryMembaca puisi adalah membaca diri. Menulis puisi adalah menuangkan isian hati. Sejauh ini, apakah kamu sudah siap menyelam luatan kata bersamaku? "Selamat menunaikan ibadah puisi". -Joko Pinurbo