Bagian #14 Putus asa

2.2K 62 1
                                    


Aku terbangun di ruangan asing. Dindingnya bercat putih, dengan gordeng jendela yang terbuka lebar membiarkan cahaya pagi menerobos masuk.
.
"Dimana aku ?" tanyaku.
.
Kepalaku sedikit pening, Aku bangun untuk duduk.
Aku lihat tangan kananku terhujam oleh selang kecil berisi cairan bening yang terhubung oleh benda seperti kantung plastik yang tertambat di tongkat besi.
.
Ekor mataku memandang sekeliling ruangan, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 09.20 pagi.
.
Lamat lamat Aku mulai mengingat kejadian malam itu.
.
"Natasha? ... Dia dimana ?" kekawatiran itu muncul bersamaan dengan rasa panikku.
.
Aku turun dari ranjang, sembari tertatih tatih berpegangan pada tembok untuk keluar dari ruangan ini. Selang infusku tercabut.
.
Pintu di depanku tiba tiba terbuka, seorang wanita muda berpakain putih masuk. Di tangannya ada papan kertas.
Wajahnya terkejut saat melihat diriku.
.
"Pak Angga, Anda baiknya jangan bergerak dulu, anda masih belum sembuh betul," katanya sembari menggiringku kembali ke tempat tidur.
.
"Dimana istriku Dok ?" tanyaku.
.
"Maaf saya ini perawat bukan dokter," ralat wanita itu, sembari membenahi selang infusku yang tadi terlepas.
.
"Dimana istriku Sus ?" tanyaku lagi.
.
"Anda jangan banyak bicara dulu, silahkan istirahat dulu untuk mempercepat proses penyembuhannya." ujarnya.
.
Seorang pria berjas putih panjang masuk kedalam.
.
"Dia sudah sadar ?" ucap Pria itu.
.
"Iya Dokter, baru saja," jawab Suster.
.
Sang dokter melakukan pemeriksaan pada tubuhku.
.
"Istriku ada di mana, Dok?" tanyaku.

.
"Dia ada. Anda baiknya istirahat dulu," ucapnya sembari tersenyum ramah.
.
Mereka pergi 5 menit kemudian. Setelah itu Aku mendapat satu nampan berisi makanan. Di sana ada semangkuk nasi dengan lauk telor kukus, irisan tomat, timun, potongan wortel  serta segelas susu sebagai pelengkap.
.
Aku menyantapnya, dengan fikiran tak tenang memikirkan Natasha.
.
Hampir lima jam aku berada di atas tempat tidur sambil mengisi rasa bosanku dengan membaca koran dan majalah yang tergeletak di atas meja yang ada di sampingku.
.
Dokter itu muncul lagi bersama suster.
.
"Gimana keadaan Anda ?" tanya Dokter.
.
"Mendingan," jawabku singkat.
.
"Syukurlah,"
.
"Sudah Berapa lama aku tak sadarkan diri ?" tanyaku.
.
"3 hari anda tak sadarkan diri,"
.
Aku tercengengang mendengarnya, jadi selama itu aku tak sadarkan diri.
.
"Lalu di mana istriku sekarang ?" tanyaku sambil memandang wajahnya.
.
Dokter itu menghela nafas berat, dia memegang pundakku.
.
"Maaf Pak Angga, Sebelum aku mengatakannya. Aku ingin agar kau Menguatkan hatimu. Istri Anda bersama bayi di kandungannya tak bisa di selamatkan, Aku benar benar minta maaf," kata Sang Dokter.
.
Seketika Dunia serasa berputar di sekitarku, bersamaan dengan rasa sakit di dada. Nafasku  tercekat. Aku memegang dadaku. Kesedihanku tak bisa lagi ku bendung ... Tangisku pecah.
.
Natasha adalah teman baikku sejak di jalanan dan selama 6 bulan ini dia selalu ada buat membahagiakanku. Dan terakhir kali aku bersamanya. Aku malah menyakiti perasaannya.
.
Aku sudah kehilangan dia, bersama anakku yang belum sempat terlahir di dunia.
Entah apakah aku bisa bertahan menghadapi cobaan ini.
.
Paman Natasha, bernama Om Santoso datang bersama istrinya Tante ling-ling.
.
Mereka menjengukku dan memberiku dukungan moral agar aku tetap tegar dan tabah menghadapi cobaan ini.
Dia juga bilang, kalo Istriku Natasha beserta anakku sudah di semayamkan di tempat yang layak. Aku bisa mendatangi mereka jika aku sudah baikan
.
Menjelang sore hari mereka pamit pergi.
.
"Baik baik yah, Jangan terlalu larut dalam Duka. Tuhan selalu punya sesuatu yang baik buat kamu, Karna Dia adalah perencana terbaik," ucapnya bijak.
.
Aku tersenyum, sepertinya aku pernah mendengar kata kata mutiaranya.
Oh iya, dari khotbah pendeta.
.
"Trimakasih banyak Om, aku akan mengingatnya." balasku.
.
"Semoga Kasih Tuhan selalu menyertaimu," lanjut Om Santoso.
.
"Amin," kataku.
.
Mereka memelukku.
.
"Yang sabar ya Angga," ucap Tante Ling ling sembari mengusap punggungku saat berpelukan.
.
"Iya tante,"
.
"Kami pamit pulang," kata paman Natasha.
.
"Iya, hati hati di jalan," balasku.
.
Mereka pergi meninggalku sendiri.
.
Dulu sebelum Aku menikahi Natasha ada kendala karna Urusan Kepercayaan.
.
Natasha  beragama Kristen Protestan sedang aku adalah Muslim.
.
Aku katakan padanya.
Aku mau menikahinya asal dia mau mengikuti Agamaku.
Dan sepertinya Natasha langsung setuju tanpa adanya penolakan. Dan
Akhirnya Kami bisa menikah sesuai tradisi islam.
.
*****
.
Gedung Rumah sakit umum kota memang besar, ia mempunyai 3 Lantai dengan ratusan ruangan, serta mempunyai fasilitas lengkap untuk  menunjang pengobatan para pasien.
.
Aku berjalan pelan di koridor bangsal pasien. Beberapa orang lalu lalang di ruangan  panjang itu. Ada beberapa Suster yang keluar masuk dari bangsal pasien.
.
Aku terus berjalan melewati mereka. Hingga akhirnya aku sampe di ruangan Luas tanpa atap.
Di sana aku melihat Taman kecil yang asri.
Beberapa orang pengunjung dan pasien sedang duduk di di halaman rumputnya.
.
Dan tak di sangka sangka, di taman itu aku malah bertemu dengan  Amanda.
Gadis berhijab itu sedang duduk di kursi roda.
Di sebelahnya ada seorang bapak bapak yang menjaganya.
.
Aku mengenalnya, dia adalah Ayahnya Amanda, Pak Wrekudoro.
.
"Assalamualaikum," sapaku.
.
"Wa alaikum salam," jawab Pak Reku.
.
Manda mengusap matanya dengan cepat, "Wa alaikum salam," jawabnya pelan.
.
Mereka kaget saat  melihat diriku.
.
"Angga," kata Manda, kedua matanya melebar. Seandainya dia tak memakai cadar mungkin aku bisa melihat ekspresi kagetnya dengan jelas.
.
"Gimana kabarnya Angga ?" sapa Pak reku sembari mengulurkan sebelah tangannya.
.
"Alhamdulilah Pak masih di beri hidup saya," jawabku sambil menjabat tangannya. Aku melanjutkan, "Sebelumnya Maaf, kenapa Om sama Amanda bisa ada di sini ?" tanyaku.
.
Aku melihat kesedihan di wajah pak Wreku, "Amanda, dia baru saja mengalami kecelakaan,"
.
Amanda menangis, Pak wreku mencoba menenangkannya.
.
"Yang sabar ya Amanda, Pak Reku ...  Mmm   Baiknya aku pamit pergi," kataku tak enak.
.
"Jangan pergi," kata Manda, "Temenin aku sebentar," katanya.
.
"Iya,"
.
Gadis itu menatapku, binar di matanya terlihat redup.
.
"Azmi Angga," ucapnya sembari terisak.
.
"Kenapa dengan Azmi?" tanyaku.
.
"Dia sudah tiada," jawab manda pilu, tangisnya berderai.
.
Aku terhenyak mendengarnya.
.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, sabar Amanda," kataku.
.
"Ini salahku Angga, seandai aku lebih perhatian lagi sama dia ... Seandainya aku lebih menyanginya, lebih mencintainya mungkin ... Musibah ini tak akan pernah terjadi," ucap manda, dia terlihat putus asa.
.
Aku menggelengkan kepalaku, "Kenapa kamu ngomong kaya gitu? Kemana ucapanmu tentang keimanan Qodo dan Qodar Allah? Apa kamu itu cuman pintar berbicara saja?" balasku tajam.
.
Manda menyembunyikan wajahnya, tubuhnya bergetar karna tangis. Aku bisa mendengar dia sedang beristigfar. Astagfirullah hal adzhim.
.
"Terimakasih Angga," kata Amanda. tangisnya sedikit mereda. Kedua matanya sembab.
.
"Apa ada hal lain yang bisa kubantu ?" tawarku.
.
Manda menggelengkan kepalanya. "Aku cuman ingin kamu ada di sini, menemaniku."
.
Dan selama sore hari itu aku menghabiskan waktuku menemaninya bersama Pak Wrekudoro.
.
Aku harap aku bisa jadi pelipur laranya, walau kadang sakit jika dia sedang membicarakan  Azmi saat mengobrol.

Di Balik Hijab Mu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang