Gift

532 110 21
                                    

(n) a thing given willingly to someone without payment; a present.

.

Sepanjang perjalanan pulang ke dorm, Jihoon mengasingkan dirinya di kursi paling belakang, bersandar di kaca mobil, menyumpal telinga dengan earphone, mogok bicara.

Setelah menangis di acara LIVE, Jihoon beralasan matanya kelilipan dan staff memberinya tisu. Jisung dan Seongwu segera membuat lelucon agar penonton tidak terfokus ke Jihoon. Untunglah ia mengingat perkataan Jisung, sehingga Jihoon bisa kembali bersikap profesional. Meski dalam hati, ia kalut setengah mati.

Tidak ada.

Dada Jihoon terasa begitu sesak. Matanya panas lagi.

Woojin tidak ada dimana-mana.

Jihoon telah mencari di bermacam-macam search engine, mengetik kata kunci 'Wanna One Park Woojin', 'Chamsae Woojin', 'Brand New Music Woojin', 'Produce 101 Woojin', bahkan 'Wanna One Pink Sausage' di kolom pencarian, dan hasil yang muncul adalah Woojin yang lain. Ia juga telah menelusuri semua group chat, bahkan fancafe dan SNS, tapi semua percakapannya dengan Woojin telah lenyap. Tidak ada artikel, foto, video, Park Woojin menghilang ditelan bumi.

"Apa jangan-jangan... mimpi?"

Jihoon menepuk pipinya cukup keras hingga ia mengaduh sendiri. Bukan mimpi.

Mereka telah sampai di dorm pukul satu pagi. Jihoon segera berlari ke kamarnya, membongkar barang-barang yang ada di sana seperti orang kesurupan. Tidak ada. Jihoon mencari tanda-tanda keberadaan barang-barang yang hanya Woojin yang memilikinya. Tidak ada sama sekali.

"Jihoon-ah..."

Jihoon menoleh dengan wajah bercucuran air mata. Ada Jisung yang bersandar di daun pintu, menatapnya khawatir. "Ada apa? Ayo cerita pada hyung, jangan memendamnya seorang diri."

Jihoon menarik Jisung ke ranjangnya. Mereka duduk berhadapan, Jihoon mengusap wajahnya dengan lengan kemeja sebelum bertanya, "Apa hyung... benar-benar tidak pernah mengenal seseorang bernama Park Woojin?"

Jisung mengerjap-erjap, terlihat jujur sekali. "Woojin... Kalau Lee Woojin aku kenal, atau Kim Woojin. Park Woojin ada, tapi teman SD-ku."

"Bukan..." Jihoon mulai pusing, "... Woojin yang kumaksud, tingginya sama sepertiku—oke, dia lebih tinggi satu sentimeter. Dia memiliki gingsul di taring kiri, dan alis yang menukik tajam seperti Angry Bird." Jihoon menggambar alis imajiner dengan telunjuk, Jisung mengangguk-angguk.

"Kulitnya tan, pipinya agak chubby, logat Busannya kentara sekali, dan bicaranya cepat mirip burung pipit—jadi fans menjulukinya chamsae. Apa... hyung mengingat sesuatu?"

Jisung terlihat berpikir sejenak, kemudian menggeleng. Jihoon menggigit bibir bawahnya, melihat ke sekeliling kamar.

"Oh!" ia melompat ke ranjang milik Woojin, "dia tidur di sini! Sebelumnya ada satu ranjang biasa di sana," Jihoon menunjuk tempat kosong yang seharusnya diisi oleh ranjang Guanlin, "tapi aku tidak tahu kenapa benda itu bisa menghilang... begitu pula dengan barang-barang milik Woojin."

"Err... begini, Jihoon-ah," Jisung menggaruk tengkuknya, "dari awal memang tidak ada apa-apa di sana. Kurasa karena kita sepakat untuk membuat ruang kosong untuk duduk-duduk dan semacamnya."

Mustahil.

Jihoon masih ingat dengan jelas. Beberapa jam yang lalu, siang tadi (sebelum ia memutuskan untuk tidur pukul lima sore), ranjang itu masih ada di sana. Begitu pula dengan barang-barang Woojin, dan Woojin sendiri...

forget-me-notTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang