Oasis

471 103 71
                                    

(n) a fertile spot in a desert where water is found.    


.



Seingat Jihoon, mereka tiba di dorm hampir tengah malam. Setelah membersihkan diri, semuanya langsung istirahat, lelah sekali. Terakhir kali Jihoon mengecek smartphone-nya adalah pukul satu dini hari, kemudian gelap. Ia tertidur.


Ketika Jihoon membuka netra, yang ia lihat adalah hamparan gurun pasir sejauh mata memandang. Matahari tenggelam separuh di ufuk barat. Di bawah langit tak berawan, Jihoon merasa seperti sedang ada di dunia lain yang didominasi oranye.

Lalu matanya menangkap warna hijau samar di kejauhan. Jihoon menyipit, kemudian merasa lega telah menemukan sebuah oasis di tengah Sahara.

Jihoon mulai melangkah, hangat pasir menyapa telapak kakinya. Semakin dekat dengan oase, pohon-pohon palem nampak semakin besar dan jelas. Batangnya, daun-daunnya, semakin sejuk, semakin banyak warna hijau, dan semakin jelas ia melihat siluet seseorang duduk membelakanginya di pinggir kolam.

Jihoon berhenti melangkah, tercekat.

Sudah berbulan-bulan ia tidak melihat punggung itu, tapi Jihoon tidak akan lupa. Jihoon tidak mungkin lupa. Anak-anak rambut berantakan itu, postur tubuh itu, pose duduk itu, hanya dimiliki oleh—

"Woojin!"

Akhirnya.

Jihoon berlari kencang menuju oasis, penuh dengan harapan.

"WOOJIN-AH!"

Akhirnya,

Woojin berbalik, dan mata Jihoon mendadak panas.

"Jihoon?"

Aku menemukanmu.




Rasanya sudah lama sekali keduanya tidak berhadapan begini. 

Woojin tidak berubah, persis seperti yang Jihoon lihat terakhir kali dengan sekop kecil dan sekantung benih bunga. Satu-satunya perbedaan Woojin hanyalah tingkah berisiknya yang mendadak lenyap. Woojin jadi pendiam. Dunia mendadak senyap.

Jika saja suasanya berbeda, Jihoon pasti sudah melempari Woojin denga semua benda yang dapat ia temukan saking kesalnya bocah ini menghilang seenak jidat. Tapi belum sempat melakukan itu, Woojin lebih dulu menjelaskan keadaanya.

"Kalau kau menyentuhku, aku akan menghilang."

Kedua lengan Jihoon yang hendak memeluk Woojin terhenti di udara, pemiliknya melempar pandangan nanar. Ada jarak satu meter di antara kedua kaki mereka. Satu meter saja, dan Jihoon masih tidak bisa menggapai Woojin.

"Aku—" seperti ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokannya, suara Jihoon mendadak hilang.

"Ayo duduk. Kau sudah sampai di sini, pasti kau lelah." Woojin berucap datar.

Jihoon menurut. Ia duduk di atas pasir putih—apa di oasis pasirnya putih? Rasanya seperti pasir pantai kampung halamannya yang begitu lembut. 

"Jadi, kau mau bertanya apa?"

Kenapa begitu? Woojin tidak bertanya bagaimana kabar Jihoon, kabar member, atau apakah seseorang selain Jihoon ingat padanya. Woojin justru menginginkan Jihoon yang melempar tanya. Seolah-olah Woojin sengaja muncul hanya untuk menjawab semuanya, bukan untuk...

forget-me-notTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang