Alternative Ending #2

376 75 19
                                    

Jihoon memasuki van dan duduk di sebelah Jinyoung. Mobil itu pun melaju pelan, meninggalkan dorm yang penuh kenangan. Meninggalkan Woojin dan pot bunganya di halaman belakang. Jihoon menarik napas panjang, ia mau tidur.

Sesaat sebelum ia menutup mata, sebuah truk tiba-tiba melintas di depan mobil mereka. Manajer-hyung mengerem, membuat semuanya kaget dan panik. Jisung berteriak, van mereka masih tetap melaju hingga






"TIDAK!"

Jihoon terduduk dengan napas terengah. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat, jantungnya bertalu-talu sampai rasanya Jihoon bisa mendengar detaknya. Ia meremas selimut yang menyelimuti tubuh. Tangannya sungguh kebas. Mata Jihoon segera mengamati sekeliling. 

Ini kamarnya. Ia masih berada di dorm.

Ruangan ini gelap, pertanda hari sudah malam. Satu-satunya cahaya berasal dari ruang tengah, yang untungnya cukup terang untuk menyoroti seisi kamar. Jihoon terkesiap, reflek mengucek mata untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Masih belum percaya, Jihoon kembali mengucek matanya dan melihat sekali lagi.

Pelan-pelan, Jihoon menyeringai lebar.

"Barang-barang Woojin!"

Jihoon melompat dari ranjang, hampir terjungkal karena tak sengaja menginjak selimutnya sendiri. Jihoon berlari ke ruang tengah dengan hati penuh harap. Ada Daehwi yang berbaring di sofa, tengah men-scroll smartphone-nya. Ada Minhyun yang baru datang dari dapur dengan sekaleng soda di tangan. Ada Daniel yang bermain game konsol, bersama dengan—

Sesuatu di dada Jihoon rasanya naik ke tenggorokan, membuatnya tercekat. Jihoon tersenyum lebar hingga pipinya sakit. Matanya panas, lagi.

"Daniel-hyung kenapa jago, sih?!"


Rasanya sudah lama, lama sekali Jihoon tidak mendengar suara itu.


Jihoon mendekat, suara tembakan dari game perang yang mereka mainkan semakin keras. Semakin jelas pula Jihoon melihat sosok sahabatnya. Anak-anak rambut berantakan itu, postur tubuh itu, pose duduk itu, hanya dimiliki oleh—

"WOOJIN!"

Jihoon menerjang Woojin hingga keduanya ambruk menimpa Daniel. Daehwi berteriak kaget, Minhyun hampir menjatuhkan kaleng sodanya, Daniel mengaduh sakit, Woojin protes.

"Apa-apaan ini?!"

Jihoon tertawa keras. Ah, benar Woojin. Ternyata dia cuma bermimpi. Mimpi yang sangat, sangat panjang. Mimpi aneh dimana semua orang melupakan eksistensi Park Woojin.

Kecuali dirinya.

"Aku masih tidak percaya, mimpiku benar-benar seperti nyata."

"Masa bodoh. Cepat menyingkir! Kau itu berat, tahu!" Woojin merespon dengan kejamnya. 

Jihoon berdiri, sebagai gantinya dia gantian menerjang Daniel yang masih mengusap-usap kakinya akibat ditimpa dua manusia pendek.

Jihoon bertanya bertubi-tubi, "Daniel-hyung, ini Woojin, 'kan? Hyung bisa melihatnya, 'kan?"

"Hoi, memangnya aku makhluk astral?!" Woojin tersinggung.

Jihoon pura-pura tidak dengar. Matanya fokus pada Daniel, meminta jawaban. Dipandangi seperti itu, Daniel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Err... iya, tentu saja ini Woojin. Memangnya siapa lagi?"

Jihoon kembali tertawa. Ternyata benar cuma mimpi!

Masih tidak puas, Jihoon menanyai member (yang jadi berkumpul di ruang tengah akibat kegaduhan tadi) satu-persatu, memastikan bahwa Woojin benar nyata. Semuanya jadi bingung dengan tingkah Jihoon.

"Orang ini sudah gila. Kau mimpi apa, sih?" tanya Woojin, masih cemberut karena berkat terjangan Jihoon, karakter game-nya mati ditembak karakter milik Daniel.

"Aku juga jadi penasaran." tambah Seongwu.

"Woojin-hyung jadi hantu, ya, hyung?" tanya Jinyoung polos, yang langsung terkena lemparan keripik kentang oleh Woojin.

Jihoon menggeleng, "Lebih parah. Woojin hilang, benar-benar hilang. Bahkan kalian semua tidak ingat padanya. Tidak ada yang ingat, orang tuanya juga tidak ingat. Cuma aku yang ingat."

"Mengerikan." ujar Jisung.

"Sepertinya suram, ya, mimpimu itu." tambah Minhyun.

"Keren, hyung! Bagaimana bisa? Woojin-hyung diculik alien, ya?" Jinyoung terkena lemparan keripik kentang lagi. Kali ini satu bungkus.

"Lalu akhirnya bagaimana?" Woojin juga jadi penasaran.

Jihoon mengingat-ingat. "Pokoknya kau hilang sampai Januari—tunggu, sekarang bulan apa?!"

"Agustus, Jihoon-ie. Kau sudah benar-benar bangun dari mimpi, kok." jawab Sungwoon, yang membuat Jihoon membuang napas lega. 

Lima detik kemudian, dia kembali memasang ekspresi tidak percaya. "Tapi bisa saja sekarang ini aku masih bermimpi, 'kan, hyung? Harus dibuktikan."

Didekatinya Woojin, kemudian ditamparnya pipi Woojin pelan.

Woojin mengaduh, "Apa salahku?!"

Member lain tertawa keras, begitu pula dengan Jihoon. "Ternyata bukan mimpi."

"Kenapa tidak kau tampar saja dirimu sendiri?!"

Sementara para member sibuk mengerjai Woojin, Jihoon beranjak menuju dapur. Dibukanya pintu halaman belakang, udara malam menyapa pori-pori kulitnya. Langit sedang cerah. Jihoon mendekat ke pagar, untuk menemukan satu pot ukuran sedang teronggok manis dihujani cahaya bulan.

"Hari ini kau benar-benar aneh."

Pundak Jihoon ditepuk, ada Woojin yang masih cemberut dengan alis bertaut.

"Oi, oi, pot bungaku mau kau apakan?!" dia mendadak histeris saat Jihoon mengangkat pot kesayangannya.

"Berisik. Aku cuma penasaran akan jadi apa dia saat mekar nanti."

"Tentu saja jadi bunga."

Perut Woojin disikut. Si empunya perut mengaduh keras, "Sakit, hoi!"

Jihoon meletakkan lagi pot bunga itu, lalu masuk kembali ke dorm. Woojin mengekorinya sambil mengoceh seperti biasa.

"Oooh, kau pasti penasaran itu bunga apa, ya? Tidak akan kuberitahu."

"Sudah tahu, kok."

Woojin mendengus tidak percaya. "Oh, ya? Bunga apa memangnya?"

"Forget-me-not, 'kan?"

Woojin berhenti melangkah. Wajahnya syok. "TAHU DARIMANA?!"

Jihoon terkekeh, mengedipkan sebelah matanya.

"Rahasia."

forget-me-notTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang