(a) experiencing or characterized by severe physical or mental suffering.
.
Namun, semuanya terasa begitu berat.
Jihoon masih tidak terbiasa tanpa Woojin. Di negaranya, senioritas benar-benar hal yang tidak bisa dikesampingkan. Karena itu teman seumuran akan otomatis menjadi orang terdekat, yang bisa diperlakukan semena-mena tanpa embel-embel 'lebih tua' atau 'lebih muda'. Jihoon adalah anak yang kalem, Woojin kebalikannya. Bila dua kutub magnet yang berbeda bertemu, mereka akan saling menarik. Begitulah bagaimana dia dan Woojin menjadi kawan karib yang apa-apa dilakukan berdua.
Akibat dari seringnya bersama, jika salah satu hilang, maka yang satunya akan ikut berubah. Jihoon tidak lagi senang mengerjai member lain (yang biasa ia lakukan berdasarkan ide Woojin), jadi lebih suka malas-malasan (sebab ia biasa bermain bersama Woojin), jadi lebih tidak bersemangat.
"Jihoon-ie, mau ikut Mafia Game, tidak?"
Jihoon, setengah sadar, menggeliat di atas kasurnya sambil bergumam pelan, "Tidak, Woojin-ie..."
Tiga detik kemudian dia baru sadar akan ucapannya sendiri. Jihoon membuka mata dan menemukan Seongwu berdiri di daun pintu, tengah menatapnya dengan kikuk.
"Seongwu-hyung... ma-maaf."
"Tidak, tidak, tidur saja lagi. Maaf mengganggumu, ya."
Seongwu melempar tawa kaku sebelum kemudian menghilang dari sana. Jihoon menghela napas kasar. Ia masih belum terbiasa.
Tidak sekali-dua kali Jihoon begini. Bila sedang terburu-buru atau tidak sadar, ia selalu memanggil member lain dengan nama yang salah. Terutama saat ia melakukan hal-hal yang biasa ia lakukan bersama Woojin, ketika member lain menggantikan sosoknya, Jihoon sama sekali belum siap.
"Makanan ini... siapa yang pesan?"
Jihoon yang sedang membantu Sungwoon menata makanan di meja, mendongak memandang Jaehwan. "Aku, hyung. Kenapa?"
"Kelebihan porsi, ya? Kurasa ini untuk sebelas orang. Atau ada yang makan dua porsi?"
Damn.
Dia lupa.
Jihoon tertawa palsu, "Itu... aku pesan dua porsi. Ya. Begitu."
Jihoon merutuk dalam hati; Jaehwan-hyung tidak peka. Padahal dia dengan sengaja sering-sering menyinggung Woojin di depan semua member, supaya mereka segera ingat. Tapi tentu ada manusia macam Kim Jaehwan yang memanaskan air saja lupa sampai airnya menguap tanpa sisa.
"Woojin, ya?"
Sungwoon memberinya senyum simpul, dan Jihoon merasa sangat bersyukur masih ada yang mau menghargai usahanya. "Iya, hyung."
"Maaf, ya. Tapi aku benar-benar tidak ingat apa-apa."
Jihoon tahu, kok. Ia sudah kenyang dengan jawaban itu setiap saat, sepuluh hari lamanya. Dan anehnya, sesaknya masih saja sama.
"Hyung sakit? Akhir-akhir ini hyung kelihatan lesu sekali."
Dalam rentang hari-hari panjang itu, tentu saja ada yang menyadari perubahan pada Jihoon. Guanlin contohnya.
"Memang sebelumnya aku bagaimana?" balas Jihoon.
Guanlin berpikir. "Hmm... lebih senang bergerak? Kalau dipikir-pikir, hyung lebih banyak sendirian, sama saja seperti sekarang, tapi kenapa rasanya berbeda, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
forget-me-not
FanfictionHari itu, eksistensi Park Woojin menghilang dari ingatan semua orang. Kecuali Jihoon. ⚠ friendship ⚠ jihoon-centric ⚠ baku