"Ra!" Wina memanggil. Dia duduk dengan santai di sebelah Rara. Menoleh pada gadis bermanik cokelat itu, lalu meneruskan "lusa try out, ya?"
Rara mengangguk. Dia sedang membaca buku -sebelum Wina datang. Dia sendirian, Dara tadi bilang ingin ke kamar kecil sebentar.
"Iya. Aku belum sempet baca-baca lagi." Rara mengeluh. Wina melirik ke buku yang sedang Rara pegang. Ternyata novel.
"Jangan 'aku' dong. 'Gue' aja biar gak kikuk." Wina nyengir.
"Oke."
"Kalo lo gak perlu baca-baca juga gue yakin pasti bisa bertahan sama posisi lo, Ra." Wina meluruskan pandangan menatap papan tulis yang sedang dicoret-coret oleh Willy. Dia menggeleng, ada ada saja.
Rara berdecak. "Gue juga manusia biasa, Win. Gue gak segenius itu."
"Tapi gue yakin kok."
"Yang seharusnya bilang gitu itu, gue."
Wina menggaruk pelipisnya. "Iya juga, ya."
Wina melirik lagi buku yang kini diletakkan di meja. "Suka Tere Liye?"
Rara mengangguk semangat. Dia memamerkan bukunya. "Keren banget. Belum abis sih bacanya, tapi ini keren banget pokoknya. Imajinasi penulis luar biasa."
Wina mengangguk setuju. "Gue ada sekuel dari buku yang lo pegang sekarang."
Mata Rara berbinar. "Bulan?"
"Iya. Matahari sama Bintang juga."
"Oh ya? Pengen banget punya semua koleksinya."
Wina tersenyum. Jarang sekali Rara se-ekspresif ini. Biasanya dia cuek luar biasa.
"Boleh kok kalo lo mau pinjem. Di rumah ada." Wina menawarkan.
"Mau banget. Bener, ya?"
"Iya." Wina mengangguk lagi.
Dia menatap Rara dari samping. Ternyata memang benar, Rara tak kalah cantik dari sahabatnya. Bulu matanya lentik. Matanya bulat cemerlang. Mata tajam itu memang kadang terlihat sinis. Padahal Wina yakin, tidak ada niat sedikitpun untuk Rara menatap seperti itu.
Matanya memang tajam dari sananya.
"Tapi, Ra. Gue pembaca setia lo, tau. Gue juga punya koleksi karya-karya lo." Wina tersenyum manis.
"Iya?" Rara berseru takjub. Dia kira, di sekolah ini tidak ada yang mengetahui hal itu. Hanya orang-orang terdekat saja.
"Hm." Wina tersenyum. "Gue selalu suka sama cerita lo, Ra. Keren."
"Biasa aja ah. Gue cuma--"
"Ra."
Obrolan Wina dan Rara terinterupsi. Rara menoleh ke sumber suara.
Rava.
Laki-laki itu mendekat. Tersenyum manis lalu meletakkan amplop berwarna biru langit yang ada gambar hati di tengahnya.
"Baca ya." Rava berlalu begitu saja.
Rara dan Wina saling pandang. Tidak mengerti.
☁☁☁
"Lo yakin?" Irfan bertanya tidak percaya. Dia memandang sang sahabat dari samping yang menyorotkan keyakinan.
Rava mengangguk. Dia berkedip dua kali lalu tersenyum kecil. "Yakin banget kok." senyumannya berubah semakin lebar. "Gue sayang banget sama dia, Fan."
Ya. Irfan tahu bahwa Rava sangat menyayangi perempuan itu. Tapi dia tidak habis pikir, Rava sampai mau melakukan hal sebesar itu.
"Setelah lulus gue bakal nerusin perusahaan bokap. Abang gue gak mau nerusin soalnya. Dia lebih milih jadi dokter." Rava menjelaskan. Matanya menerawang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang kamu (√)
General Fictioningatkah satu hal? bahwa aku hanyalah perempuan biasa yang tak selamanya kuat. aku hanyalah perempuan biasa yang tak selamanya tangguh. aku hanya perempuan biasa, bahkan sangat biasa. ada satu waktu dimana aku akan merasakan rapuh. jatuh sejatuh j...