Dara tidak memiliki pilihan lain.
Dia ... Memang pantas mati.
Orang tolol macam apa yang tidak bisa mempercayai sahabatnya sendiri?
Orang bodoh mana yang tidak menyadari sahabatnya sedang dalam keadaan kritis?
Dara ... Benar-benar tidak pantas bahagia.
Sore ini, setelah dua malam menginap di rumah Eva, dia kembali ke kost-annya. Dengan wajah pucat, kantung mata besar, tubuh lemah seperti mayat hidup.
Sang Papa ternyata sudah pulang, mengetahui anaknya tidak ada di kost-annya. Tapi masa bodoh. Sekarang, walau dia akan dibenci Papanya sampai mati, Dara bahkan tidak peduli.
Dia benci siapa pun yang memaksa kehendaknya untuk mengatur Dara harus seperti apa?
Tadinya, dia hanya ingin mendapatkan kasih sayang seorang ayah yang tidak dia dapatkan semenjak sebelas tahun lalu. Biarkan dia menenggelamkan keinginan diri demi ego orangtuanya.
Tapi kalau sudah begini, Dara tidak akan meminta perhatian siapa pun lagi. Toh, selama ini dia hidup sendiri. Ditemani orang asing baik hati yang kini sudah meninggalkannya.
Dara berharap, Ridwan mempersilahkan cewek itu untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
Hidupnya tidak lagi berbentuk. Luka karena Fajar, karena Ridwan, muncul kembali ke permukaan menunjukkan luka yang semakin hari semakin lebar juga panjang.
Ditambah kehilangan paling menyakitkan karena ditinggal cewek paling baik di dunia ini. Ditinggal sahabat paling berjasa pada hidupnya.
Sekarang semua ini ... Hanya kepingan asa yang nyaris putus.
"Dara?!!"
Seseorang mendobrak pintu. Melotot bengis sambil melipat tangannya di dada. Jas hitam bermerk itu terlihat acak-acakan. Apa yang Papanya lakukan selama dua hari ini?
"Kemana kamu?!" Ridwan melangkah cepat. Derap langkahnya bahkan terdengar mengerikan. Dadanya bergemuruh menahan amarah.
Huh! Dasar Papa! Masih saja setempramen ini.
Dara bungkam. Dia menatap Ridwan nanar. Tidak bisakah berbicara sedikit lebih lembut? Tidak sadarkah kalau putrinya sedang terguncang hebat?
PLAK!
Dara ditampar sampai tubuhnya terlempar sedetik setelah Dara berdiri. Dia diam beberapa lama. merasakan panas yang menjalari pipinya kemudian ujung bibir yang terasa perih -robek.
Dara kembali berdiri, meluruskan pandangannya, menatap Ridwan hampa. Ridwan yang baru saja menamparnya masih memberikan sorot buas.
"Papa nampar Dara?" Dia tersenyum pahit. Kenapa pertemuan pertama mereka setelah beberapa tahun tidak bertemu berlangsung seburuk ini? "Papa nampar Dara?"
Napas Ridwan masih memburu, emosi di dalam dada masih bergolak. Dia menatap anaknya bengis, seakan masih ingin menghajarnya saja.
"Dasar anak gak tau diri! Papa bilang waktu itu Papa mau jemput kamu! Tapi kenapa malah sengaja ninggalin rumah biarin Papa nunggu di sini?!!!"
Dara tersenyum lebar, melupakan pedih di hatinya yang lebih terasa sakit daripada tamparan keras yang Ridwan layangkan. Dia mendekat, memeluk Ridwan erat.
"Kenapa Papa nampar Dara?" Senyumnya semakin lebar. Bohong kalau Dara bilang dia tidak merindukan sang Papa. Bagaimana pun, dia tetap seorang anak yang merasa kehilangan ayahnya selama beberapa tahun. "Papa nggak kangen, kah, sama Dara?"
"Mama kamu mati."
Dara terbelalak.
Apa maksudnya?
"Mama kamu mati di perjalanan mau ke sini jemput kamu. Pesawat yang dia tumpangi jatuh, mayatnya gak ada yang selamat. Mama kamu... Belum ditemukan sampai sekarang." Ridwan menyorot Dara dengan tatapan benci. "Dari dulu, kamu emang pembawa sial!"
Kenapa Papanya Setega itu? Sebenarnya apa kesalahan yang Dara perbuat sampai Ridwan membencinya seperti ini? Mengatai Dara pembawa sial, setelah luka yang Ridwan sampaikan, bukanlah rasa yang dapat dinikmati dengan perasaan biasa saja.
Lukanya semakin menganga. Tidak bisa diobati apalagi dihilangkan. Ridwan sudah sangat menyakiti Dara, merobek perasaannya, menguapkan kepercayaannya.
"KAMU EMANG PEMBAWA SIAAAAALLLLLL!!!!!"
Ridwan mendorong bahu Dara kasar. Matanya memerah, demi apa pun di dunia ini, dia membenci anak semata wayangnya ini.
Anaknya, hm?
Bukannya DNA-nya mengatakan kalau Dara bukan anak Ridwan?
Ridwan menyeringai sinis, dia melayangkan tamparan kedua dan ketiga. Dara meraung, merasakan sakit yang teramat menyiksa.
Dara mulai meragukan, untuk apa Tuhan memberikan kehidupan yang sama sekali tidak membahagiakan?
Luka-luka-luka.
Sampai kapan hidupnya harus seperti ini?
"CUKUUPPP!!!!!" Dara tidak tahan. Dia menutup telinganya ketika Ridwan tidak henti-hentinya mengatakan Dara adalah anak pelacur. Anak pembawa sial. "Kalo Papa emang gak sayang aku, seenggaknya jangan hina Mama kayak gitu."
Dara tersenyum ketika air matanya masih terus mengalir. "Kalau Papa emang pengen aku mati, gak perlu Papa paksa lagi, tinggal nunggu waktu sebelum aku mutusin bunuh diri."
Dara sudah tidak punya harapan lagi.
Pada akhirnya, semua hal yang dia usahakan untuk tetap bertahan, berakhir seburuk ini juga. Hancur, hidupnya kini semakin suram dan melebur.
Dara tidak tahan lagi.
💫💫💫
Maaf sedikit. Aku usahain banget buat lanjut.
Ada yang bisa nebak akhirnya bakal kayak apa?Sok dikomen.
Enjoy, ya.
Salam
Erika_G
20112018
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang kamu (√)
Ficción Generalingatkah satu hal? bahwa aku hanyalah perempuan biasa yang tak selamanya kuat. aku hanyalah perempuan biasa yang tak selamanya tangguh. aku hanya perempuan biasa, bahkan sangat biasa. ada satu waktu dimana aku akan merasakan rapuh. jatuh sejatuh j...