🎀Tiga Puluh Sembilan🎀

514 33 4
                                    

Dara menangis sepanjang malam. Ini sudah jam empat subuh, dia masih belum berhenti menangis. Paru-parunya terasa tersumbat, napasnya sesak, kenyataan ini sungguh memuakkan untuknya.

Mengapa Allah yang Rara bilang selalu ada di samping kita tiba-tiba tidak adil begini?

Ah, Rara ya?

Hatinya nyeri sekali mengingat nama itu. Sahabat yang Dara bangga-banggakan, orang yang sudah dia anggap Keluarga sendiri, gadis yang sudah menjadi bagian besar di hidupnya, ternyata tidak lebih baik dari seorang pengecut.

Dunia ini tidak adil sekali. Kenapa hidupnya selalu terhalang oleh batu-batu besar? Yang dirinya tidak bisa lewati sekali pun dia menggunakan mobil. Bentengnya terlalu besar, juga tinggi.

Matanya bengkak juga berkantung, hidungnya merah, badannya lemas, rasanya seluruh tubuhnya pun ikut remuk.

Padahal, walau Rara tidak ikut campur tangan menghancurkan hidupnya, Dara sudah hancur duluan. Cobaan hidupnya yang terdahulu masih membekas dan susah diobati. Terlalu sulit untuk gadis delapan belas tahun tanggung, menciptakan lubang menganga yang sampai saat ini masih terasa basah.

Dara itu sebenarnya gadis tangguh, yang masih mampu berdiri tegak di tengah ranting-ranting yang menjeratnya memaksa masuk ke dalam jurang tajam. Di kelilingi bisikan-bisikan setan yang menjerumuskan. Satu kali saja dia mendengarkan, dia tak akan bertahan lebih lama.

Dan penguatnya selama tiga tahun ini, Rara.

Tuhan, kenapa setiap kejadian ini selalu bersangkutan dengan gadis pengkhianat itu?

Dara memejamkan matanya rapat, jam masih terus berdetak. Sudah hampir subuh, tapi matanya sungguh berat. Dua menit kemudian, Dara sudah tertidur lelap.

💫💫💫

Pagi ini tidak ada sapa yang selalu terdengar. Tidak ada senyuman cantik dari salah satu gadis itu sambil menawarkan sarapan. Tidak ada lagi ocehan Dara yang kadang tidak nyambung. Tidak ada lagi putaran bola mata malas ketika Dara meminta tambah nasi goreng yang Rara buatkan.

Rumah ini terasa mencekam.

Rumah pagi ini hening, satu suasana yang seharusnya tidak ada karena dihuni oleh dua gadis cerewet.

Jika ditanya rindu atau tidak, keduanya pasti menjawab rindu dengan mantap. Walau bagaimana pun, mereka bersahabat lumayan lama. Tiga tahun juga tidak bisa disebut waktu yang sebentar.

Tapi Rara... Mengkhianati sahabatnya.

Dara bungkam, tidak bisa menolak luka baru yang ditorehkan sang sahabat. Walau bagaimana pun -lagi- luka itu bukanlah rasa yang bisa dinikmati dengan perasaan biasa saja.

Luka itu selalu membuat tidak nyaman. Membuat siapa pun tidak mau memiliki atau menerimanya. Tapi mau bagaimana, kan? Semua sudah terjadi. Dan harusnya Dara bersyukur, karena dia mengetahui hal ini dari sekarang.

Tidak ada yang keluar kamar. Keduanya larut dalam pikiran dan rasa masing-masing. Merasakan nasib baik yang lagi-lagi tidak memihak pada mereka.

Jika kalian berpikir, Rara tidak ikut sakit, berarti kalian salah. Gadis itu menerima luka yang sama besarnya. Gadis itu harus menerima takdir yang tidak orang lain tahu. Gadis yang nyaris selalu tampil sempurna itu, juga rapuh.

Bukan Rara tega pada sahabatnya, tapi dia yakin ini memang yang terbaik untuknya. Yang terbaik untuk Dara dan untuk semua orang yang menyayanginya.

Jam sembilan pagi, Dara terjaga. Keluar kamar bermaksud ingin tidur-tiduran santai di ruang tamu. Tetapi dia tertegun ketika melihat Rara sedang minum di depan tv.

Tentang kamu (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang