Dara sedang mencuci muka di kamar mandi setelah hampir satu jam menangis. Kini Rara sudah sadar, tapi tetap menolak ketika dia menyarankan untuk ke dokter.
Kondisinya lemah, bibirnya semakin pucat. Hal itu semakin membuat Dara curiga bahwa Rara memiliki hal yang dia sembunyikan dari Dara. Dara semakin khawatir.
Dara tersentak ketika tiba-tiba ada yang menjambak rambutnya kuat. Dara mendongak -terpaksa- melihat siapa si penjambak.
Wanda.
Mau ngapain lagi dia?
Wanda melotot garang pada Dara. Wajahnya merah padam menahan amarah. Wanda semakin menguatkan jambakannya. Dara menjerit kesakitan.
Demi apapun, ini sakit sekali.
Wanda menyeringai ketika melihat sekepal rambut Dara berada di genggamannya. Rambut Dara rontok, banyak sekali.
"Lo... Nyari masalah sama gue lagi, ya?"
Dara meringis. Kepalanya sudah pitak. "Masalah apa? Lepasin, bego!"
"Elo yang bego!" Wanda menggeram marah. Tidak terima dirinya dikatai bego oleh mantan dari pacarnya. "Berani-beraninya Lo deketin Fajar lagi."
"Siapa yang deketin Fajar?!"
"Elo, lah! Dasar jalang! Pake nanya lagi!"
Kasar sekali. Wanda ini, mulutnya seperti dimiliki oleh orang yang belum pernah bertemu bangku sekolah. Busuk. Hobinya merebut pacar orang, kenapa malah Dara yang dikatai jalang?
Kondisi sekolah sudah sepi. Bel masuk sudah berbunyi sejak setengah jam yang lalu. Mungkin Wanda izin ke kamar kecil, dari kelas. Tapi ternyata malah menjambak anak orang seenaknya.
Wanda melepaskan tarikannya, menunjukkan segumpal rambut pada Dara. Wanda tertawa puas. Pasti ini rasanya sakit sekali.
Dara menyentuh kepalanya yang terasa panas juga perih. Ternyata memang berdarah. Asumsinya dikuatkan oleh rambut yang berada di genggaman Wanda.
Gila. Tenaga Wanda sudah seperti kuli saja.
Dara balas melotot. Sebenarnya dia memang tidak memiliki rasa takut untuk melawan Wanda. Tapi dia tidak bisa main tangan, tidak berpengalaman.
Dara hanya berharap ada orang lain yang tiba-tiba datang menolongnya. Membalas perbuatan Wanda tanpa harus mengotori tangannya.
"Lo kayak gini, nunjukkin banget ya kalo Lo emang manusia rendahan." Dara terkekeh sinis. Menyilangkan tangannya di dada, melupakan sejenak rasa perih di kepalanya. "Gak usah ditunjukkin juga semua orang udah tau sebenernya."
Tangan Wanda terayun, baru saja akan menampar Dara. Tapi sedetik sebelum menyentuh pipinya, Dara berhasil mencekal pergelangan tangan Wanda.
Maunya ini cewek apa, sih?!
"Gue males sebenernya kalo harus ribut sama cewek kayak lo. Gak level banget, apalagi Lo beruntung bisa nyentuh tangan gue pake tangan kotor lo."
Dara berbicara santai. Tatapannya menantang. Dia memang berniat menyulut emosi Wanda. "Kayaknya gue emang harus langsung mandi pas nanti sampe di rumah."
Wanda dilecehkan. Ucapan Dara begitu berani. Padahal awalnya Wanda pikir, cewek lembut macam Dara tidak akan melawan. Tapi ternyata salah, dia diejek habis-habisan seperti ini.
Dara menghempaskan tangan Wanda dengan kasar. Dagunya dia angkat tinggi-tinggi. Cewek sombong, harus dilawan sombong lagi. Jika Dara tetap diam, Wanda akan semakin menjadi-jadi.
Tangan Wanda mengepal, rahangnya mengeras. Dengan geram, dia mendorong kepala Dara ke dalam bak air. Kepala Dara kini sudah basah kuyup, dia tidak bisa bernapas karena terlalu lama di dalam air.
Fajar datang. Dia mendorong salah satu bilik toilet yang terdengar suara rintihan. Perasaannya memang sudah tidak enak saat Wanda meminta izin untuk ke toilet. Tidak biasanya. Fajar semakin curiga ketika Wanda tidak cepat-cepat balik ke kelas.
Mata Fajar membulat, "Wandaaa!" Dia melepaskan tangan Wanda dari kepala Dara. Menarik Dara yang terengah-engah, lalu menyorot Wanda tajam. Matanya merah, sepertinya dia marah sekali.
Plakk.
Fajar menampar Wanda tanpa kasihan. Yang ditampar langsung memegangi pipinya yang panas. Wanda menggeleng tidak percaya. Fajar... Menamparnya.
"KITA PUTUS!"
Fajar berlalu setelah mengatakan keputusan itu. Wanda tidak terima, dia mengejar Fajar yang membawa Dara pelan-pelan. Wajah Dara merah, kehabisan oksigen di dalam bak sekitar satu menit.
"Kamu gak bisa seenaknya, dong, Yang! Kita gak bisa putus gitu aja!"
"GUE GAK MAU PUNYA PACAR BAR-BAR KAYAK LO!" Fajar berteriak. Urat-uratnya sampai terlihat di bagian kening juga lehernya. Menatap Wanda jijik, lalu meludah sembarangan. "SUMPAH DEMI APAPUN GUE NYESEL PERNAH KENAL SAMA LO!"
Dara terkejut. Dia tidak menyangka Fajar akan bersikap sebegitu kasarnya. Walaupun Fajar memang cuek, tapi dia tidak pernah membentak Dara sampai sekasar itu.
Napasnya kini mulai normal. Bahkan Dara belum sadar kalau kini dia dirangkul oleh sang mantan yang memutuskan hubungannya dengan pacar barunya di depan matanya.
Fajar membelanya sampai seperti itu.
Dalam hati, Dara tersenyum. Entah kenapa, dia merasa senang? Fajarnya perduli.
Eh, bukan, Dara tidak berhak mengklaim Fajar sebagai miliknya lagi.
Wanda menangis. Masih shock karena ucapan Fajar begitu menusuk dadanya sampai ke tulang. Beberapa detik yang lalu, ada yang berkata 'menyesal' telah mengenalnya.
Dalam hati, dia bersumpah. Tidak akan pernah membiarkan Dara mendapatkan Fajar kembali. Kebencian di hatinya sudah terlalu besar. Sudah tidak bisa lagi dibendung oleh sesuatu yang terbesar sekalipun.
Wanda... Tidak akan pernah mengizinkan Dara bahagia.
🍀🍀🍀
Rara kaget saat melihat Dara masuk UKS dengan keadaan acak-acakan. Kepalanya basah, pakaian di bagian atas pun ikut kuyup. Berusaha mengabaikan kepalanya yang masih sangat pusing, Rara turun dari ranjang kemudian menggantikan Fajar memapah Dara.
Ya Allah, menyedihkan sekali.
"Ra, Lo kenapa, sih? Kok bisa sampe gini?!" Rara menyentuh rambut Dara yang ternyata memang basah sampai tetesan air mengenai lantai. Fajar mencari handuk, lalu memberikannya pada Rara.
Rara mengelap kepala sahabatnya hati-hati. Pasti rasanya pusing sekali. Apalagi kalau sampai airnya masuk ke dalam hidung. Apa -atau siapa- yang membuat Dara sampai seperti ini?
"Lo abis ngapain?" Rara kembali bertanya karena heran, bagian bawah Dara tidak basah. Hanya kaos kaki dan sepatu. Sedangkan rok dan bagian tengah seragamnya tidak basah.
Pasti ada sesuatu.
"Jar, Dara kenapa?"
Fajar gelagapan. Baru kali ini lagi Rara berbicara dengan intonasi yang normal. Biasanya kan, Rara selalu sinis padanya.
"Wanda. Tadi Wanda yang--"
"Itu cewek makin berani aja." Potong Rara. Emosinya sudah naik mencapai ubun-ubun. Tidak perlu dilanjutkan, Rara sudah tahu kalau Wanda itu benalu di hidup sahabatnya.
Tidak salah lagi.
Ini pasti perbuatan Wanda.
"Kalo gue ketemu dia, pasti gue--"
"Ra, udah lah. Tadi Fajar udah bales juga kok, gue gak pa-pa."
Rara menatap Fajar takjub. Jika benar kenyataannya seperti itu, Rara wajib berterimakasih pada mantan dari sahabatnya itu.
Tumben sekali, Fajar bisa membuat moodnya baik.
"Makasih."
Fajar mengangguk. "Lo.. cepet sembuh, ya, Ra."
"Hm."
🍀🍀🍀
Aku usahain update sekarang, soalnya tglnya lagi bagus wkwk
Happy, read ya!
Enjoy!Salam
Erika_G
28082018
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang kamu (√)
General Fictioningatkah satu hal? bahwa aku hanyalah perempuan biasa yang tak selamanya kuat. aku hanyalah perempuan biasa yang tak selamanya tangguh. aku hanya perempuan biasa, bahkan sangat biasa. ada satu waktu dimana aku akan merasakan rapuh. jatuh sejatuh j...