🎀Tiga Puluh Tujuh🎀

533 30 7
                                    

"Ra."

"Paan?"

"Lo kenapa sih sama gue?"

"Gak ada."

Dara mendesah, kecewa. Setiap ditanya kenapa, pasti jawaban Rara seperti itu. Mana mungkin Dara bisa percaya kalau akhir-akhir ini sikap sahabatnya memang berbanding terbalik?

"Ra, kalo gue ada salah, lo bilang sama gue, lah." Dara memohon, dia menatap Rara yang sedang menulis -tanpa memperdulikannya. "Lo bikin gue bingung tau, gak? Lo--"

"Gak usah ganggu gue, bisa?" Rara menyahut dingin. Nada suaranya sama sekali tidak bersahabat. Dia menoleh, menatap Dara tajam. "Gue lagi sibuk. Lo gak liat? Kebiasaan banget, deh, dari dulu suka ganggu gue nulis."

Oh.

Jadi dari dulu Rara menganggap dirinya pengganggu? Dara tahu, kalau sedang menulis Rara tidak bisa diganggu. Tapi yang dulu-dulu, tidak pernah semarah ini. Dia tetap mendengarkan Dara kalau bicara, tidak pernah mengatakan kalau selama ini Dara mengganggunya.

Dia... Menganggu, heh?

"Ra, lo--"

Rara mengangkat laptopnya, beranjak dari kursi belajar, lalu keluar kamar. Meninggalkan Dara yang sedang bicara. Dara menganga, tidak menyangka akan ditinggalkan seperti ini.

Itu Rara, ya?

Sejak kapan Rara seperti itu?

Tuhan, rasanya Dara ingin menangis saja. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa Raranya akan bersikap seperti ini. Kalau sampai begini, kesalahan yang Dara perbuat berarti sangat fatal.

Dara menghela napas pasrah.

Semoga ini hanya sementara.

💫💫💫

"Masih galau, ya?"

Fajar duduk di ayunan yang ada di taman. Mendekati Dara yang hanya sendirian. Dara menatap kosong, sampai terlonjak kaget ketika Fajar duduk di depannya.

Dara mengalihkan pandangan kembali. Bertopang dagu, dia menghela napas panjang. Ternyata, diabaikan sahabat sebaik Rara rasanya sekosong ini. Hatinya yang biasa ceria, kini murung.

Memang, pedulinya orang-orang terdekat menjadi yang paling penting. Kita bisa hidup tanpa teman, tapi kita tidak bisa hidup tanpa keluarga. Dan menurut Dara, Rara adalah salah satu anggota keluarga terbaiknya.

Dari kemarin dia berpikir, apa kesalahannya sampai membuat Rara semarah itu padanya? Tapi hasilnya tetap sama, Dara tidak mengingat apa pun.

Atau mungkin kata orang benar ya? Kesalahan diri sendiri memang mudah dilupakan.

Uh.

Pusing sekali.

"Aku dicuekkin lagi."

"Berisik!" Dara menjawab sinis. Di ingatannya malah kini mereka belum berbaikan. Pikirannya yang kalut hampir saja melupakan keadaan Fajar dan Dara yang sudah membaik. "Gue lagi mikir."

Fajar bungkam. Dulu, mungkin Fajar yang bersikap seperti ini pada gadis di depannya. Hukum timbal balik memang berlaku, ya? Sampai akhirnya sekarang dia merasakan seperti apa rasanya diacuhkan.

"Saran aku, ya, Ra. Mending kamu diskusiin dulu sama temen-temen kamu, kali aja yang buat salah bukan cuma kamu, tapi mereka juga."

"Udah."

"Iya? Hm, kalo gitu, kamu aja ngomong sama Rara baik-baik."

"Udah."

"Minta maaf?"

Tentang kamu (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang