12. rabu realistis

5K 920 165
                                    

Malam sebelumnya, Jeno mengatakan sesuatu yang sempat membuat Mark mengerjapkan mata dua kali.

"Haechan? Dia jago ya?" Mark yang tengah merapikan bajunya itu jadi berhenti sejenak untuk mendengar apa yang Jeno rasa butuh diceritakan.

Jeno mengangguk mantap dari tempat tidurnya di sebelah atas. "Catatan waktu lari 40 yard kak Mark berapa sih? Aku lupa. 4,9 detik bukan?" Mark mengiyakan seadanya. "Nah, dia 4,7. Gila, bukan?"

"Bukannya Jisung bahkan 4,5?"

"Iya sih, tapi... entahlah. Maksudku, beda dengan Jisung, dia kan jurusan ganda. Jujur saja, aku tidak berharap banyak padanya soal kemampuan olahraga," ujarnya sambil membenahi posisi tidurnya supaya lebih nyaman. "Tapi rupanya dia bahkan sepertinya lebih bagus dari kita, kak. Aku malu."

Mark terkekeh pelan mendengar Jeno yang tiba-tiba saja jadi sangat terbuka padanya. Semalu itukah dia? "Makanya, jangan suka meremehkan orang. Kemampuan kan tidak ada yang tahu."

Jeno mengerutkan kening. Iya, dia tahu itu, tapi tetap saja dia merasa tidak puas ketika dia mulai lebih memikirkan soal Haechan, yang telah diyakininya hanya berfungsi maksimal saat bercanda dan membual, malah sebenarnya sepertinya sangat menjanjikan.

"Oh, iya kak. Aku tadi cerita soal latihan pagi padanya," tambah Jeno. Kali ini, dia repot-repot melongokkan kepala supaya bisa melihat langsung lawan bicaranya. "Katanya, dia mau ikut latihan besok."

"Besok?"

"Iya. Kamu yang bangunkan dia ya, kak. Aku sepertinya mau bangun rada siang."

"Hei, tuan Jupiter. Jangan merencanakan kesiangan dengan sengaja dong."

"Bukan rencana, kak. Ini antisipasi. Sedia payung sebelum hujan kan?"

Hanya itu yang dikatakan Jeno pada Mark, sebelum akhirnya Jeno mulai menyelimuti diri dengan selimut tebalnya. Jeno tidak kuat dingin, dan kalian harus tahu kalau selimutnya itu adalah selimut yang secara khusus dibawanya dari rumah. Padahal sebenarnya di sana juga tidak sedingin itu.

Paginya, yang pertama terlintas dalam pikiran Mark adalah membangunkan orang di ranjang sebelahnya. Ada Haechan yang masih tidur dengan mulut sedikit terbuka. Sudah bisa ditebak kalau ada sungai mengalir indah di sana.

Mark meregangkan tubuhnya sebelum memanggili Haechan. "Chan. Haechan. Bangun." Dia memanggil dengan suara yang tidak besar, tidak ingin membangunkan yang lain. Tapi itu tidak cukup untuk membangunkan Haechan. "Hoi. Latihan pagi."

Merasa Haechan tidak akan bangun juga, Mark akhirnya menghampiri langsung setelah sebelumnya sempat membasahi tangannya dengan air wastafel. "Bangun!"

Haechan sontak loncat terduduk dengan panik begitu merasa ada yang membasahi mukanya -Mark mencipratkan air tepat di muka. "Hah? Hah? Ada apa sih!" dia celingukan.

"Cepat bangun. Katanya mau ikut latihan pagi?"

Haechan memejamkan mata kembali, dengan kening berkerut. Dia seperti sedang mengumpulkan nyawa. "Oh... iya, iya." Dia mengecek jam. Pukul setengah 6. "Latihan paginya ternyata benar-benar pagi ya... hoahm."

"Nanti keburu sarapan. Bisa terlambat masuk kelas nanti. Sana, siap-siap. Tidak usah mandi ya."

"Siapa juga yang bakal mandi jam segini sih!"

Mark mengendikkan bahu sebelum masuk ke kamar mandi untuk bersih-bersih sekadarnya, meninggalkan Haechan yang sempat kepikiran untuk kembali melanjutkan tidur untuk setidaknya... yah... lima menit. Tapi....

"Heh. Jangan tidur lagi."

Mark ternyata juga kepikiran untuk mengintip lagi ke dalam kamar. Dia yakin 120% Haechan pasti akan melakukan sesuatu yang akan membuatnya menyesal kemudian -kembali tidur.

Akademi Onct ¦¦ Noren, Markmin, SungleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang