Meskipun hari ini libur, Renjun tetep bangun pagi. Di kamus Renjun itu nggak ada yang namanya bangun siang ketika libur. Duh, idaman banget, kan?
Ini masih jam tujuh lewat sepuluh menit dan Renjun udah wangi, lengkap dengan baju rumahannya. Sekarang malah lagi siram kebun mawar punya Bunda. Bunda sendiri lagi di dapur, bikin sarapan. Terus Ayah? Ayah kayaknya sih lagi ngopi.
Ngopi di rumah istri barunya, mungkin.
Kalau kalian tanya alasan apa yang bikin Renjun memegang prinsip nggak mau pacaran sama orang yang lebih muda, maka Ayah adalah jawabannya.
Ayah itu usianya lebih muda dua tahun dari Bunda. Ayah dan Bunda nikah muda. Waktu nikah sama Ayah, umur Bunda masih dua puluh lima tahun dan umur ayah masih dua puluh tiga tahun. Tiga bulan setelah nikah, Bunda langsung isi. Tokcer juga kan Ayah. Sembilan bulan kemudian Renjun lahir. Awalnya keluarga kecil mereka bahagia, sebelum akhirnya usaha Ayah bangkrut.
Ayah depresi dan jadi suka marah-marah. Suka mukulin Bunda buat jadi pelampiasan. Renjun juga kadang kena omel, tapi nggak sampai dipukul. Waktu itu umur Renjun masih sembilan tahun. Masih terlalu muda buat ngerti apa yang terjadi. Dengan pikiran anak kecilnya, Renjun menyimpulkan bahwa Ayah nggak cukup dewasa untuk bisa paham kalau suami nggak boleh kasar sama istri. Sampai akhirnya Bunda minta cerai karena nggak kuat.
Dari sanalah prinsip Renjun timbul. Dan kebawa sampai sekarang.
"Jun, yuk sarapan. Masakannya udah mateng," Bunda tiba-tiba udah ada di samping Renjun, ngusap kepala Renjun penuh cinta.
Renjun ngangguk. "Renjun matiin keran dulu, Bun," kata Renjun sambil bawa selangnya ke sudut dekat gerbang. Setelah kerannya dimatiin, selangnya Renjun cabut lalu digulung, terus cuci tangan.
"Yuk," Bunda ngulurin tangan ke arah Renjun.
"Yuk," kata Renjun sambil menyambut uluran tangan Bunda. Sepasang Bunda dan anak itu kemudian pergi menuju ruang makan sambil bergandengan. Sesekali diayun.
"Kemarin itu siapa, Jun?" tanya Bunda setelah mereka duduk di meja makan.
Renjun melipat tangan di meja sambil natap Bundanya dengan dahi berkerut. "Yang mana?"
"Yang nganterin kamu pulang," kata Bunda sambil menyodorkan sepiring nasi goreng telur mata sapi kesukaan Renjun.
"Makasih, Bun," Renjun tersenyum sebelum melanjutkan, "Oh, itu Jaemin."
"Siapa kamu?"
Renjun diam, memperhatikan Bundanya yang udah nyangga dagu pake dua tangan. Siap nunggu cerita Renjun.
Renjun mengulum senyum. "Ih Bunda kepo, ya?" ledek Renjun sambil muter-muter telunjuknya jahil.
"Ih, Bunda kan cuma tanya. Kamu kan, nggak pernah dianterin pulang. Sekalinya dianterin sama yang bening gitu," Bunda terkikik.
Kebetulan, kemarin Bunda pulang lebih cepat . Jadi sempat liat Renjun dan Jaemin di depan gerbang. Bunda sebenernya mau tanya-tanya kemarin, tapi pas liat Renjun kayaknya capek banget dan langsung masuk kamar setelah makan malam, Bunda urung.
Renjun ketawa. "Sering sih, Bun, sebenernya. Bunda aja yang nggak tau. Kan Renjun selalu pulang lebih awal dari Bunda."
Setelah perceraian orangtuanya, hidup Renjun dan Bunda dulu nggak sebaik sekarang. Bunda harus luntang-lantung cari uang untuk hidup. Waktu itu Bunda udah punya gelar sarjana ekonomi. Tapi lowongan kerja nggak semudah itu dicari. Sampai akhirnya sekarang Bunda kerja di perusahaan keluarganya Jeno, jadi manajer keuangan paling dicintai di perusahaan besar itu.
Senyum Bunda luntur perlahan, bikin Renjun langsung merasa bersalah. Aduh gimana dong? Renjun bikin Bunda sedih ya?
"Maaf ya, Sayang. Bunda jarang ada waktu buat kamu," kata Bunda, nadanya terdengar sedih.