I

150 23 0
                                    

Pulau Cassa
1.638,93 km di utara Rusia
pukul 3 a.m.


Sebuah ponsel di atas meja kecil terus saja berbunyi, sudah dua kali, namun sang empunya belum juga memeriksanya. Sebuah nama terpampang di layar ketika sekali lagi ponsel berdering untuk ketiga kalinya. Sang pemilik akhirnya tiba, lalu mengernyitkan dahi yang tertutup poni ketika membaca nama di sana.

"Halo," ujarnya kemudian, pelan namun jelas meskipun beradu dengan gerimis di luar.

"Ja," panggil si penelepon. Suaranya gemetar dan terdengar terancam.

"Hei, kenapa?"

"I'm—sorry ... I'm so sorry ... "

Kerutan di dahi yang ditelepon semakin dalam.

"Ja," panggilnya lagi.

"Aku di sini. Kau kenapa? Maaf untuk apa?"

"Maaf ... aku tak tahu dia di sini."

"Dia siapa?"

Gerimis turun semakin deras—hujan. Sepasang netra melirik keluar jendela dari tempatnya, sambil tanpa ia sadari jantungnya berdegup tak biasa dengan perasaan mengganjal.

"Help me ... "

"Apa?" Ia memicingkan mata, tak sempat mendengar bisikan yang terlontar dari seberang.

"Jangan biarkan dia lolos dari sini ... Rusia ... dia membawa senjata Jerman ... "

Ia terdiam dengan ponsel yang semakin kuat digenggamnya—hampir meremasnya dan membuat telapak tangannya berubah putih.

"Dia bersamaku."

Deg.

Suara itu ...

"Andreas," desisnya yang kini benar-benar meremas ponsel.

"Aku akan bersenang-senang di Belascore sebentar, sebelum berjalan-jalan ke Moskow. Mau ikut?" jawab sebuah suara yang disebut Andreas.

"Apa yang kau lakukan padanya?"

Pertanyaan itu tak diindahkan, "Kau mau ikut atau tidak?"

"Bangsat."

DOR

Hening.

DOR DOR

"Sayonara, Ferdinand." Panggilan dimatikan.

"Sialan!" maki pria itu begitu panggilan berakhir.

Ia berlari tak sabaran, pergi ke lantai atas dan menuju salah satu kamar. Niat awalnya bukanlah untuk membangunkan wanita yang tidur di sana, memang bukan. Ia mengurungkan niat dan hanya diam di sana sambil meremas gagang pintu.

Jangan bangunkan.

Ia masuk lalu menutup pintu perlahan. Kasur di hadapannya masih cukup untuk dua orang, tetapi ia tak tertarik. Langkah beratnya membawa amarah itu ke sofa di ujung kamar, duduk di sana sambil memandangi layar ponselnya. Tanpa ia sadari matanya berair, lalu jatuh. Wajah rupawannya ia benamkan ke lipatan tangan demi menahan sesak tertahan.

Jangan bangunkan.

"Ja?" panggil sebuah suara. Pria itu mengangkat wajah, mendapati wanita pemilik kamar rupanya terbangun.

Wanita itu melambaikan tangannya meminta si tamu datang. Ia pun menghampirinya, langsung berbaring memunggunginya tanpa ba-bi-bu lagi. Wanita di belakangnya mengusap rambut pria itu sekali, kemudian kembali terlelap dimanjakan petrikor yang menyeruak masuk.

Pagi menjelang, namun wanita itu tak mendapati apapun di sebelahnya. Rabaan tangannya nihil, membuatnya terpaksa membuka mata dan mengangkat tubuhnya malas. Pria yang dicarinya tengah duduk di sofa, menggigit ujung kukunya dengan mata sembab dan kantung mata yang membesar. Sudah dua hari pria itu tak tidur, dan menjadi tiga jika ditambah semalam. Tetapi mengapa matanya sembab?

"Theo tewas," ujarnya. Wanita di seberangnya nampak biasa.

"Andreas membunuhnya," namun tak lagi ketika ia melanjutkan demikian.

Hening.

Detik jam dinding terasa begitu menulikan.

"You fucking kidding me?" sahut wanita itu.

Pria di seberangnya diam, memilih menenggelamkan wajah dalam lipatan kedua lututnya.

"Andreas?!" pekik wanita itu sambil beranjak. Langkahnya tergesa menghampiri pria itu, mendorongnya dan mencengkeram kerahnya.

"Katakan bahwa kau berbohong," desisnya, tenang tetapi amarah berkobar di manik coklatnya.

"Kita harus kembali—"

"Tidak! Tidak akan!"

Belum sempat si pria selesai berujar, ucapannya disela. Wanita itu melepasnya, melenggang pergi dengan amarah yang tersimpan dalam kepalan tangan.

"Ay!" panggilnya.

Ayldina tak mengindahkan. Ia merasakan perasaan campur aduk yang aneh sehingga dahinya mengkerut. Ia pergi ke dapur untuk menyegarkan dirinya yang mendadak tak waras setelah mendengar penuturan pria itu, lalu pergi ke kamar mandi setelah segelas air habis.

Ia mengisi bath tub sambil menanggalkan pakaiannya. Rambut coklat panjangnya ia ikat ke atas, lalu masuk ke bath tub tanpa menuangkan sabun. Jantungnya berdegup semakin kencang ketika mengingat nama tersebut.

Andreas Mahendra.

Ia melipat lutut lantas memeluknya. Fokusnya mendadak tersita oleh figur mantan kekasihnya tersebut.

"Fuck!" makinya kesal. Ia memukulkan tangannya ke air, menyebabkan beberapa cipratan membasahi wajah dan rambutnya.

Pria tadi masuk. Ia menghampiri Ayldina dan duduk di samping bath tub. "Aku bisa gila rasanya," akunya.

"Aku tahu," jawab Ayldina. Ia menoleh ke arah pria itu.

"Sekarang aku tambah menyesali tiga tahunku dengannya. Bajingan," lanjutnya.

"Kita harus kembali."

"Setelah kehilangan semuanya? Tidak!" Ayldina membentak. "Belum cukup kau kehilangan ayah dan ibu? Mau mati juga sekarang? Silakan! Aku tunggu di sini, kakak."

Jeda. Pria itu pun diam.

"Mana katanya seorang Ezra Ferdinand tidak pernah gegabah? Omong kosong," wanita itu kembali berujar.

Pria bernama Ezra itu membalas, "Dia membunuh Theo!"

"Lalu kenapa?!" Ayldina tak kalah meninggikan nadanya.

"Kau boleh sesakit itu ketika sahabatmu habis di tangan yang sama dengan yang hampir membunuh keluargamu sendiri! Bajingan itu juga hampir membunuhku, tidakkah kau ingat?!"

Ezra mengalah. Ia berlalu pergi meninggalkan adiknya sendiri dengan air matanya yang mulai menggenang. Ia pergi ke dapur, menarik salah satu kursi di meja makan lalu duduk. Harus bagaimana sekarang? Salahkah ia mempertahankan Theo? Ayldina boleh bilang begitu. Ia paham bagaimana perasaan wanita itu. Theo sudah mati sekarang, dan haruskah ia berdiam diri lagi? Ia diam ketika Andreas dan cecunguknya menghabisi orang tuanya, mereka diam. Mereka diam ketika CIA memerintahkan. Mereka diam, diam, dan diam.

Jangan biarkan dia lolos dari sini ...

Kedua netra Ezra membulat. Ia ingat sesuatu.

Rusia.

"Ay—" panggilannya ia tahan. Akankah adiknya itu peduli?

Tidak.

Persetan dengan itu semua.

Ia harus mengumpulkan mereka. Ya, mengumpulkan teman-temannya dan kembali ke CIA. Seorang Ezra Ferdinand tidak akan menyerah begitu saja. Seorang Ezra Ferdinand akan membuktikan ucapannya menjadi nyata.

***

The Expendables [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang