"Dia tidak terlihat senang."
Ayldina tersenyum miring.
"Ingin sekali sejujurnya kuledakkan kepala anak Tionghoa itu."
"Kenapa begitu?"
"Dialah yang sejujurnya mempersulit. Dasar anak baru. Ayahnya tidak semenyebalkan itu."
"Anak angkat."
Ezra memutar mata kesal. Ayldina nampak menahan tawa. Ia mendekati Ezra, membiarkan tubuhnya yang basah tergelitik udara dingin. Ia membalikkan badan, duduk memunggungi kakaknya itu, lalu mundur agar lebih dekat.
"Kau memang selalu cari mati, Ja." Ayldina menyandarkan punggungnya pada tubuh Ezra perlahan.
"Namanya juga hidup," sahut Ezra. Tangannya menggenggam tepi bak mandi. "Kau hidup untuk mati, kan? Lagipula, aku tidak benar-benar cari mati. Kematianlah yang selalu datang padaku."
Hal itu benar. Lebih tepatnya, kematian senantiasa di balik punggungnya sejak Ezra—dan Ayldina diterima sebagai agen CIA. Awalnya mereka hanya iseng, tanpa memberitahu orang tuanya. Ternyata mereka mendapat telepon yang mengatakan bahwa mereka diterima. Ezra sungguh ingin mengumpat hari itu karena ia sama sekali tak tahu menahu tentang agen. Dan di sinilah ia sekarang. Pensiunan agen yang merangkak masuk kembali.
Ayldina membasahi pundak dengan air di telapak tangannya. Di sana masih berbekas luka akibat peluru Andreas tiga tahun lalu, ketika ia hampir jatuh dari gedung.
"Bagaimana rasanya?" Ezra mengusap bekas luka tersebut.
"Lebih sakit saat melihat mobil ayah meledak." Ayldina tertawa getir. Tangan Ezra turun, merangkul pinggang Ayldina dan memeluknya. Ia menopang dagunya pada bahu kanan wanita itu.
"Bagaimana sekarang?" tanya Ayldina, mengusap punggung tangan Ezra di dalam air.
"Tadi pagi Junhui meneleponku, memintaku datang nanti siang."
"Kau akan datang?"
"Tentu saja."
"Sendiri?"
"Kau mau menemaniku?"
"Tidak."
"Ya sudah."
Ayldina diam. Bukannya ia tak ingin membantu Ezra. Tiga tahun lalu saat insiden itu, mereka baru saja mengakhiri hubungan—Ayldina dan Andreas. Luka yang mengendap seakan bertumpuk dan berlapis, muncul satu muncul yang lain. Ia juga ingat, saat tahun kedua, Ezra menghajar Andreas habis-habisan karena ketahuan tidur dengan wanita lain. Mengingat hal itu membuat Ayldina sekali lagi tertawa. Ia membasuh wajahnya dengan air, lalu ekspresinya kembali muram.
"Kenapa kau tertawa?" tutur Ezra sambil melirik dari ekor matanya.
"Entahlah. Mungkin aku bipolar." Ayldina mengedik.
"Dasar gundik," sahut Ezra. Ia melepaskan pelukannya lantas beranjak dari bak mandi. Ditinggalkannya Ayldina seorang diri di sana untuk meraih handuk, mengeringkan tubuhnya lalu pergi.
Pukul satu siang mereka mengatur janji. Ezra pergi sendiri saat itu, sempat memeriksa Ayldina yang tengah mengunyah snack sambil menonton teve sebelumnya. Jalanan tak begitu panas meskipun Ezra mengenakan jaket hitam. Ia segera tiba dan masuk ke ruangan Junhui, kembali beradu pandang dengan pria menyebalkan yang berusia tiga tahun di bawahnya itu.
"Kami sudah membicarakan perihal laporanmu kemarin," mulai pria bersurai hitam itu. "Tetapi perihal kematian Kinnaird, itu bukan tanggung jawab CIA. Kinnaird sudah bukan anggota kami—"
"Tidak ada pengupacaraan resmi terkait kebebastugasannya," sela Ezra.
"Kau, dan teman-temanmu, juga tak diupacarai. Kalian mengundurkan diri—dalam kasus ini, Kinnaird dilengserkan. Kalian bukan pensiun secara usia atau cacat fisik, jadi jangan harap ada pengupacaraan semacam itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Expendables [FINISHED]
ActionUsaha Ezra untuk mengumpulkan kembali teman-temannya demi menangkap pembunuh Theodore tak berjalan semulus itu. Ia harus mengumpulkan kelima temannya yang memutuskan pensiun, lalu mau tak mau kembali ke markas utama CIA untuk meminta bantuan dan per...