VII

48 11 0
                                    

Wilayah Sourcost
pukul 11.23 a.m.


Sebotol wine telah berhasil dikuras isinya oleh Raegis dan Andreas. Siaran berita di teve yang sejak pagi tadi menemani mereka masih setia menampilkan berita-berita lokal. Andreas meletakkan gelasnya di meja, kemudian kembali menyandarkan punggung serta sikunya.

"Menurutmu mereka akan datang ke sini?" ujarnya. Raegis menggeleng.

"Bisa jadi."

"Kita harus menyiapkan hadiah, tapi aku sedang tak ada ide."

"Satu-satunya hadiah yang mereka inginkan adalah kepalamu yang berlubang dahinya."

Andreas menoleh, menatap netra hitam milik Raegis tajam seakan meminta pertanggungjawaban. Yang ditatap sekali lagi mengedik.

"Aku benar, kan?" katanya. "Kau tahu sendiri itu."

"Rasanya aku ingin berdrama singkat dulu sebelum masuk ke intinya." Andreas menoleh ke arah teve lagi, kini mengganti siaran beritanya.

"Drama ... singkat?"

"Seperti menculik Ayldina dan, yah, bermain sedikit dengannya." Andreas memberi penekanan pada kata 'sedikit'.

"Mau kau apakan dia?"

"Mungkin membuatnya mabuk lalu ... itu." Andreas melirik Raegis, tawa renyah mereka lepas.

Raegis menggelengkan kepala heran. Tiga tahun lalu Andreas hampir membunuh Ayldina, dan baru saja ia berkata demikian seakan tak ada yang pernah terjadi? Memang benar bahwa pria ini sedikit sinting. Ia bisa bersikap manis namun mengintimidasi pada saat yang bersamaan. Kadang kala ia bisa terlihat lemah, kemudian sebaliknya—seperti psikopat gila yang tak kenal ampun. Andreas adalah pria yang baik, jauh sebelum tiga tahun lalu. Ia membuat semua orang iri karena bisa mendapatkan seorang Ayldina Ferdinand yang jadi rebutan seantero CIA dalam semalam.

Ayldina ...

Raegis menundukkan wajahnya.

"Byan tiba pukul dua belas?" tanya Andreas.

Reijess ...

"Ya," sahut Raegis lirih.

Andreas beranjak entah ke mana. Raegis masih duduk di tempatnya. Ia menyandarkan kepalanya yang mendadak terasa berat. Pandangannya kosong walau tertuju pada layar teve. Pikirannya lari menyusuri memori dikala ia masih tinggal berdua dengan Reijess, yang setiap tengah malam selalu memesan makanan cepat saji. Mereka yang biasa bertengkar karena hal kecil, lalu suatu hari karena perkara besar yang membuat arahnya berbelok pada Andreas. Ia tak menyesali pilihannya. Tidak sama sekali. Walau ia sangat merindukan kakak bebalnya itu, ia tak pernah ingin kembali. Kembali ke sana hanya akan mengembalikan memori perih yang orang tuanya ciptakan.

"Mabuk, Tn. Kresna?" Muncul Andreas yang menenteng dua mantel beda warna. Ia menyerahkan yang berwarna biru dongker pada Raegis, sementara yang hitam ia kenakan.

"Hm," gumam Raegis acuh.

"Kau baik-baik saja?" Andreas menatap pria itu. "Kalau kau ingin berhenti silakan saja. Aku bisa lakukan dengan Abyan, atau sendiri."

"Tidak." Raegis bangkit. "Aku baik-baik saja."

Andreas tersenyum miring. "Rindu kakakmu?"

Raegis mengenakan mantelnya. Ia mengedik. Sialan. Andreas selalu bisa menebak pikiran dan situasi.

"Ingin menemuinya?" Andreas merangkul bahu Raegis, lalu mereka pergi. "Nanti, setelah kita menjemput Abyan."

Mobil melesat pergi dari kawasan elit tersebut menuju Cassa Airport. Lokasi bandara cukup jauh, ditambah jalanan macet—sehingga mereka menempuh hampir satu jam perjalanan. Masih ada waktu ketika mereka tiba di bandara. Rupanya pesawat yang Abyan tumpangi terkena delay satu jam. Alhasil mereka menunggu hingga pesawat pun tiba.

"Hei! Menunggu lama?" sapa Abyan begitu menghampiri Andreas dan Raegis. Mereka saling menjabat tangan dan berpelukan.

"Macet juga tadi di jalan. Kami baru sampai," jawab Andreas. Tak perlu berlama-lama di sana mereka segera pergi lagi.

Kali ini Raegis membelokkan mobil ke Smaradana berlabel 'MIST BAKERY'. Andreas dan Abyan hanya mengekor, sebab empunya rumah adalah seorang kenalan Raegis. Di depan toko seorang wanita menyambut mereka.

"Selamat siang, Tuan-tuan. Ada yang bisa saya bantu?"

Raegis menjawab, "Bisa kami bertemu Kalandra?"

Wanita itu memimpin jalan mereka ke dalam, menyilakan mereka menunggu di ruang tamu. Tak lama datang pria yang bernama Kalandra itu. Ia sempat terhenyak ketika menyadari bahwa tamunya adalah seorang teman lama.

"Raegis?" ujarnya. Ia menyalami Raegis dan dua temannya. "Rei tidak bersamamu?"

Raegis tersenyum getir. Wanita yang mengantar mereka tadi menyuguhkan mereka minuman dan beberapa toples camilan, kemudian kembali ke toko.

"Kakakku," katanya sambil menunjuk wanita yang punggungnya telah dilahap dinding itu.

"Tokonya laris, ya?" Raegis menyesap minumannya.

Kalandra tersenyum tipis. "Aku tidak tega mengajaknya ikut denganku."

"Oh ya," Raegis memperkenalkan mereka. "Ini temanku, Andreas dan Abyan."

"Kalandra, yang kuceritakan semalam."

Mereka mengangguk serempak.

"Maaf kalau kedatangan kami mendadak. Aku hendak menghubungimu semalam, tapi tak yakin apakah nomormu masih sama," tutur Raegis memulai.

"Tak apa. Aku juga sedang tak ada urusan kok. Langsung saja," sahut Kalandra.

"Kau masih bekerja pada Ganesha, kan?"

"Aku baru kembali dari Berlin."

"Ah, syukurlah. Kami ingin menawarimu sesuatu."

***

The Expendables [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang