VIII

33 10 0
                                    

Reijess baru saja selesai memakai gel rambut ketika seseorang mengetuk pintunya. Ia cepat-cepat turun kemudian. Apa itu Leonar? Padahal tadi pria itu mengatakan padanya bahwa akan langsung ke rumah Ezra. Rasa penasaran itu segera terobati ketika pintunya ia buka. Reijess terdiam. Ia tidak sedang menghadap cermin, kan?

"Hah, mau mencari apa lagi?" ketusnya.

Raegis.

"Mencarimu," jawab pria itu. Reijess mengernyit tak paham.

"Aku ... pulang."

Tangan Reijess jatuh dari pegangannya pada gagang pintu. Mereka saling tatap sesaat sebelum bogem mentah mendarat pada pipi Raegis.

Meledak.

Air matanya jatuh tanpa ia sangka. Ia terlalu sibuk menghajar Raegis sampai tanpa sengaja mendorongnya keluar rumah. Raegis tak membalas, namun ia menangkis kepalan tangan kakaknya itu.

"Rei!" serunya.

Reijess menarik kerah pria itu marah, lantas membentak, "Jangan permainkan aku, bangsat!!!"

"Mau apa lagi kau sekarang, hah?! Belum cukup membuatku merasa kehilanganmu juga?!"

"Tidak!" sela Raegis cepat. "Aku tidak mempermainkanmu! Dengarkan aku dulu!"

Reijess melepas tarikannya kasar. Ia mengusap pipinya sambil melangkah masuk mendahului Raegis. Raegis mengekor, menutup pintu kemudian duduk di seberang kakaknya di sofa ruang tamu.

"Dengar, aku pulang. Aku takkan kembali ke sana lagi, oke?" tutur Raegis yang membiarkan Reijess menatapnya tajam.

"Kalau kau main-main, aku bersumpah aku sendiri yang akan menggorok lehermu," desis Reijess sambil mengacungkan jarinya.

"Silakan, aku takkan melawan!" Raegis coba meyakinkan. "Aku bersungguh-sungguh, Rei. Kau tahu sendiri."

Reijess diam. Ia menghela satu napas berat.

"Andreas kabur. Biarkan aku membantumu dengan itu. Aku tahu sedikit banyak tentangnya."

Mendengar itu, Reijess terkesiap.

"Kau mau pergi?"

"Ke rumah Ezra."

"Boleh aku ikut?"

Mereka sama terkejutnya dengan Reijess ketika melihat figur Raegis di sana. Ezra sudah selangkah untuk menghajarnya, tetapi Leonar menahannya—Reijess tentu saja melindungi Raegis. Ia mengatakan seadanya supaya amarah Ezra setidaknya sedikit reda. Di ruang diskusi mereka sedikit menginterogasi Raegis yang dengan senang hati menjawab.

"Aku tidak tahu—"

"Katakan!!!" bentak Ezra untuk kesekian kalinya.

"Aku sungguh tidak tahu! Bukan aku yang membebaskan Andreas dan membunuh Theo! Dia mantan rekan timku, mana mungkin aku yang membunuhnya!"

"Ja, dengarkan dia dulu!" Ayldina menarik lengan Ezra.

Atmosfer ruangan itu mendadak tegang. Ezra menjauh selangkah dari Raegis yang duduk di hadapannya. Pria itu melanjutkan, "Aku memang ke rumah Rei malam itu, kalau Rei memberitahu kalian. Aku ke sana untuk mengambil sisa uang di tabunganku—aku ingat masih ada beberapa. Temanku meminjam padaku, jadi aku mentransferkan untuknya dari uang tabungan itu."

"Lalu kau ke mana sejak insiden hari itu?" tanya Ligia.

Raegis terdiam. Ia melirik ke arah Reijess yang duduk di tepi kasur bersama Dirga. "Di rumahku di Sourcost. Mana tega aku pulang setelah kejadian itu."

"Kenapa kau melakukannya?" celetuk Ayldina.

"Itu ... sudah terjadi, kan?"

"Katakan alasanmu, bodoh! Jangan play victim dengan memasang tampang sok melas!" bentak Ezra kesal.

"Kau takkan membantunya?" Dirga menyenggol lengan Reijess.

"Tahu apa aku tentang alasannya melakukan itu?" Reijess mengedik.

Kegiatan bentak-membentak itu sepertinya telah berakhir. Ezra meminta semuanya berkumpul mengelilingi meja.

"Rei, kau urusi Rae sendiri saja. Hajarkan dia untukku jika ketahuan mata-mata," tutur Ezra. Reijess mengiyakan.

"Aku memang akan melakukannya."

"Sekarang kita kembali pada rencana. Karena kita tidak tahu pergerakan Andreas, kita akan fokus ke Belascore. Junhui bilang semalam ia sudah mengirim wakil untuk pergi ke Moskow. Kita hanya perlu melacak posisi Andreas dan melumpuhkannya secepat mungkin."

"Raegis, tahu sesuatu tentang ini?" timpal Leonar.

Raegis menggeleng.

"Leo, kau urus CCTV kota. Cari keberadaan Andreas di manapun itu. Raegis, kau mau bergabung atau tidak?" Ezra menatap mereka bergilir.

"Kalau kalian tak keberatan. Aku sedikit banyak tahu tentang detail Rencana Rusia."

"Bisa kami percaya padamu?"

"Aku pun berhutang terima kasih pada Rei karena tak membunuhku hari itu."

***


Hingga sore menjelang kediaman Ezra masih ramai dengan canda teman-temannya. Raegis juga masih di sana, mulai lunak hubungannya dengan Reijess. Walau mereka nampak menerimanya, tak dapat dipungkiri rasa curiga terhadap Raegis tetap ada. Saat itu Raegis memisahkan diri karena menerima sebuah telepon. Ia pergi ke halaman belakang, baru menerima telepon tersebut.

"Halo?"

"Bagaimana kabarmu? Sehat? Lebam?" Suara Andreas terdengar girang.

"Tidak juga. Tapi nampaknya mereka oke saja."

"Mereka harus oke. Bagaimana reaksi Reijess?"

"Sama sepertiku."

"Ezra?"

"Kau tahu sendiri lah."

Andreas tertawa renyah. "Sampaikan salamku pada Ayldina. Aku rindu goyangannya."

"Hei, sialan." Raegis menahan tawa. "Oh ya, bagaimana Kalandra?"

"Aku dan Byan baru saja pulang dari menemui orang-orangnya. Aku sedikit meragukan pria itu."

"Tenang saja. Ia hanya perlu dibayar. Biar aku yang urus."

"Bagus."

"CIA sudah mengirim orang ke Moskow, fyi."

Tak ada jawaban dari seberang. Raegis memeriksa layar ponselnya, panggilan masih terhubung.

"Sudah kuduga," jawab Andreas akhirnya. "Aku juga sudah mengirim Messi ke sana, tidak perlu khawatir."

Raegis tersenyum lebar. "Baguslah. Apa ada yang kurang?"

"Belum ada kurasa. Aku akan menghubungimu jika perlu sesuatu."

"Siap."

***

The Expendables [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang