DT. 12

10.5K 510 2
                                    

Sekecil apapun benih yang kamu tanam, dia akan tetap tumbuh jua. Iyakah? Tentu. Karena semakin lama, benih yang kamu pendam itu akan memiliki akar, lalu hidup dan akhirnya berkembang. Sama, seperti saat kamu menyimpan benih rasa.

Ya, rasa.

Seperti perasaanku, yang susah payah aku kubur kini malah tumbuh semakin subur. Karena Zay yang selalu menyiraminya.

Ah, malu rasanya. Juga tak percaya. Sepasang suami istri yang awalnya mesra di depan semua orang, dan kaku di belakang umum. Kini, tak canggung lagi menampakkan kemesraan di semua tempat.

Sejak hari itu, dunia kami berubah.

***

"Cium." Zay mengulurkan tangannya padaku.

"Harus?"

"Istri yang baik harus cium tangan suaminya tiap beres salat," terangnya lagi.

Aku mengangguk, lalu meraih tangannya. Kemudian kucium selama beberapa detik.

"Bagus, itu baru namanya istri salihah," ucapnya. Lalu mencium keningku.

Aku hanya tersipu. Agak malu memang. Beberapa kali salat berjamaah, tapi baru kali ini mencium tangan suami.

Selesai salat, aku membereskan ranjang dan kamar yang berantakan. Lalu menyiapkan sarapan dan membantu Mama Hani mengerjakan pekerjaan rumah.

Tidak ada Alena yang pemalas ; bangun kesiangan atau tidur lagi di pagi hari.

Karena ternyata, menjadi istri sesungguhnya itu terlalu sayang untuk dilewatkan hanya demi tidur seharian.

***

Aku keluar dari kamar mandi, masih memakai piyama dan rambut yang tergerai basah. Berdiri di depan cermin rias.

"Hai ...." Terdengar bisikan di samping telinga. Tak lama kedua tangannya melingkar di pinggang.

"Hai, udah pulang ternyata?" sapaku kemudian.

"Mmm," sahutnya yang serupa geraman. Diikuti kepala menyelusup ke tengkuk leher, dan pelukannya yang semakin terasa erat.

Inilah kebiasaan barunya, menyiksaku secara fisik. Membuatku merasa sesak dan kesulitan bergerak. Aku diam saja, tak kuasa mau melawan juga. Hehehe.

"Kamu tau, berbulan-bulan aku berusaha bertahan dari godaan ini. Harum tubuhmu, yang selalu menari-nari di ujung hidung?" Wajahnya yang dia tumpukan di atas bahuku menatap lewat bayangan cermin.

"Oya?" Kuberi senyum mengejek.

"From the scent of your body, I can smell heaven," pungkasnya, diiringi kecupan di pipi. Lama. Hingga perlahan tangannya terlepas. Kemudian berlalu menuju kamar mandi.

Menyisakan debur rasa di dada ini. Selalu saja ada ucapannya yang membuatku bisa tersenyum sendiri, walau dia sudah tak ada di sampingku.

Selagi suamiku mandi, aku pun memilih baju yang pas dan cocok untuk sore ini. Dulu, piyama sekalipun tak pernah aku pedulikan. Kini, selalu ada rasa ingin tampil lebih di hadapannya. Termasuk memakai bedak juga lipstik.

Hei, lama-lama sepertinya aku tidak jauh beda dengan mahasiswi-mahasiswi itu!

Tidak masalah. Ini hakku untuk menggodanya, 'kan?

Saat sedang asyik menatap pantulan tubuh dari bayang cermin, terdengar ketukan.

"Mama," sapaku, sesudah membuka pintu.

"Len, ganggu, ya? Zay ada?" tanya Mama dengan raut yang terlihat sedikit gugup.

"Enggak, kok, Ma. Mas Zay ada lagi mandi." Aku tersenyum.

DOSENKU TENGIL (END @Webnovel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang