DT. 4

14.8K 719 12
                                    

Aku duduk di atas kasur, menatap langit Bandung sore hari dari balik jendela kamar. Awan biru yang berarak, burung-burung terbang bergerombol. Cerah sekali. Sayang, tak secerah hatiku.
Pikiranku masih kalut, memikirkan ucapan Pak Zay tadi siang.

"Menikahlah denganku, Alena!"

"Nanti malam aku ke rumahmu. Tunggu aku."

"Jangan menolakku, itu tak akan bisa."

Deg!

Hah, lemas badanku.

Kuraih bantal, menutup wajah. Baru beberapa detik, yang ada malah pengap terasa. Akhirnya kupukuli saja itu bantal. Membantingnya ke lantai, lalu bangkit untuk menginjaknya. Berkali-kali. Demi melampiaskan amarah yang tak bisa kuluapkan pada si dosen sok keren itu.

"Dasar! Belagu! Mentang-mentang ganteng! Jangan karena hampir separuh mahasiswi kampus suka ama lo, lo seenaknya sama gue! Lo pikir gue cewek apaan, hah?!"

"Neng Alena?"

"Bibi? Ketuk pintu dulu, dong!" Aku merapikan rambut yang tergerai acak-acakan.

"Maaf, urujen, Neng." Bi Munah meringis.

"Urgent, Bi. Urgent! Ada apa?" Aku merunduk, mengambil kembali bantal berbentuk kepala Panda itu.

"Mama sama Papa suruh Neng turun."

"Mau apa? Belum waktunya makan malam, 'kan?" tanyaku tak acuh sambil menepuk-nepuk bekas injakan kaki.

"Ada keluarga Tuan Arsyad--"

"Apa?!" Aku melempar bantal ke arah Bi Munah.

"Astagfirullah, Neng!"

Tak kupedulikan teriakannya, kedua kakiku terus berlari. Di balik tembok ruang tengah, aku berdiri memperhatikan mereka.

"Menikah?!" Terdengar Papa bertanya dengan nada terkejut.

"Iya, Angga. Kami mau melamar Alena untuk menjadi istri Zay. Kami pikir, umur Zay sudah cukup untuk membangun rumah tangga." Om Arsyad menepuk pundak Pak Zay.

"Kamu yakin, Zay? Secepat ini? Bukannya bulan lalu kamu mengatakan akan menunggu Alena lulus kuliah dulu?" Mama bertanya ragu.

Pak Zay terdiam, seperti berpikir. Lalu menyunggingkan seulas senyum. "Zay serius, Tante. Zay rasa, lebih cepat lebih baik. Zay tidak mau menundanya lagi," ucapnya dengan raut tenang tapi menyiratkan keseriusan.

OMG hellow! Apa itu benar? Apa itu kata-kata yang diucapkan oleh si dosen tengil itu. Lelaki yang selalu menatapku sinis, dingin dan berkata dengan nada membentak.

Dia benar-benar ingin menikahiku! Seperti ucapannya tadi siang, yang terang-terangan memintaku menikah dengannya di hadapan orang banyak.

Rasanya masih belum percaya sepenuhnya. Aku mempertajam pendengaranku. Obrolan apalagi yang akan mereka lontarkan.

"Neng Alena, kok, berdiri di sini?"

"Sompret!"

"Aduh, hampura, Neng. Enggak sengaja!" Bi Munah membantuku berdiri. Aku hanya menggeram sambil mengusap bagian bawah tubuh.

Hasilnya, aku meringis malu. Menyadari kelima pasang mata itu menatapku.

"Ini yang Om khawatirkan. Lihat dia, usianya sudah dua puluh satu, tapi pikirannya itu belum sebanding dengan umurnya." Papa menatapku, dengan sorot yang bisa kuartikan sebagai rasa ... entah khawatir atau kecewa.

"Tidak apa, Zay memaklumi. Lagi pula, kedewasaan bukan dinilai dari umur, 'kan?"

Aku yang masih berdiri di pintu penghubung ruang tamu dan ruang tengah, hanya bisa menatap kedua lelaki yang sedang saling berargumen itu.

DOSENKU TENGIL (END @Webnovel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang